‘Gerakan Pentakosta itu ibarat aliran musik Jazz”, demikian tutur Prof. William Kay saat menjadi pembicara di Wednesday Forum CRCS-ICRS 11 April 2012 lalu. Gerakan Pentakosta merupakan gerakan revitalisasi Kristen yang menguat di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini. Diumpamakan seperti musik jazz yang penuh improvisasi, Pentakosta memberikan keleluasaan kepada umat untuk ambil bagian dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan peribadatan agama.
Prof. William Kay merupakan seorang pendeta sekaligus professor teologi dengan spesifikasi studi gerakan Pentakosta dan Kharismatik di Glynd?r University, Wales. Saat ini, ia tengah menyelesaikan penelitian mengenai gerakan Pentakosta di Hong Kong, Singapura dan Malaysia.
Melalui presentasi berjudul “Cultural flows in Global Pentecostalism”, Prof. William mengungkapkan, meskipun gerakan Pentakosta (dalam bahasa Indonesia disebut juga gerakan Pantekosta) berkembang di abad 20, namun teologinya bisa dirunut dan dikaitkan dengan ajaran teologi John Wesley yang hidup di Inggris pada abad 18. Ajaran ini antara lain menekankan konsep keselamatan (salvation) yang merupakan kuasa Tuhan dan terkait dengan iman, bukan perbuatan serta konsep pengudusan (sanctification).
Gerakan Pentakosta berkembang pesat di abad 20 melalui aktivitas penyembuhan dengan metode spiritual. Hampir semua gereja Pentakosta melakukan aktivitas ini dengan mengangkat semangat mukjizat kontemporer melalui pembacaan doa untuk kesembuhan orang-orang yang sakit. Tersebutlah nama-nama penting di bidang penyembuhan semisal Charles Cullis dan Oral Roberts.
Lebih lanjut Prof. William yang juga penulis “Pentecostalism” (2009) dan “Pentecostalism: A Very Short Introduction” (2010) melanjutkan, gerakan Pentakosta tak bisa kemudian disebut denominasi atau jaringan tertentu, karena gerakan ini memayungi ratusan denominasi dan ribuan jaringan. Gerakan Pentakosta bukanlah gerakan seragam baik secara doktrinal maupun politis, karena para pengikutnya kadang berseberangan secara politis atau berbeda metode interpretasi teks agama. Namun demikian, gereja-gereja seluruh dunia di bawah naungan gerakan Pentakosta memiliki beberapa lagu pujian yang sama juga cenderung memiliki gaya bangunan gereja dan busana jemaat yang mirip.
Gereja Pentakosta menghelat peribadatan lebih longgar dan beberapa momen seperti gelaran konser musik. Bagi Prof. William, improvisasi dalam peribadatan boleh saja berbeda karena memang lahir dari dinamika sejarah.
Gerakan Pentakosta kini aktif terlibat dalam aktivitas sosial dan humanitarian serta membuka diri dengan konsep kesetaraan gender, seperti mangakui adanya kependetaan perempuan.
Pada sesi diskusi muncul pertanyaan dari audiens tentang bagaimana ketidakseragaman bisa muncul dalam gerakan Pentakosta serta mengapa presentasi kali ini mengangkat tema perkembangan budaya (cultural flow). Prof. William menjelaskan, ketidakseragaman merupakan hal yang wajar, mengingat gerakan Pentakosta masih berusia relatif muda, tak sebanding ajaran agama lain yang telah mapan dan eksis selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Sementara istilah “cultural flows” dimaksudkan untuk mendekati pembahasan gerakan Pentakosta melalui sudut antropologis, bagaimana gerakan ini akhirnya membentuk sebuah gaya peribadatan yang khas.
Muncul juga pertanyaan tentang bagaimana ide pengobatan dalam gerakan Pentakosta dikaitkan dengan ajaran Alkitab. Menurut Prof. William, begitu banyak aktivitas yang dilakukan oleh figur-figur dalam Alkitab terkait pengobatan. Ketika obat-obatan dan penanganan medis mahal, jalan pengobatan secara spiritual menjadi alternatif pilihan masyarakat.
Di Indonesia, terjadi fenomena menarik dimana, pada komunitas berlatar belakang ekonomi mapan seperti komunitas Cina, teologi kesuksesan yang dominan diangkat. Sementara di kalangan pedesaan, teologi eskapis yang banyak dikhutbahkan. Bagi Prof. William, hal ini menjadi bukti ketidakseragaman Pantekosta, namun kesemuanya tetap memiliki rujukan pada Alkitab. Dalam ajaran Kristiani, kekayaan dan kemiskinan sama-sama dianggap keberkatan.
Seorang penanya menyinggung persinggungan pengalaman spirtitual kondisi gerakan Pentakosta dengan kecenderungan gereja Pantekosta Indonesia yang otoritarian. Prof. William menyebutkan, gerakan Pentakosta percaya akan adanya pengalaman spiritual, tetapi pengalaman ini tetap bersifat kompleks dan pribadi. Sifat otoritarian di Indonesia mungkin juga dipengaruhi dominasi negara terhadap agama masih sangat kuat di Indonesia. Berbeda dengan yang terjadi di Inggris dimana agama lebih diserahkan kepada masing-masing individu penganutnya. [MoU]