• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • Pentakosta: Geliat Revitalisasi Ajaran Kristen

Pentakosta: Geliat Revitalisasi Ajaran Kristen

  • Berita Wednesday Forum
  • 23 April 2012, 00.00
  • Oleh:
  • 0

‘Gerakan Pentakosta itu ibarat aliran musik Jazz”, demikian tutur Prof. William Kay saat menjadi pembicara di Wednesday Forum CRCS-ICRS 11 April 2012 lalu. Gerakan Pentakosta merupakan gerakan revitalisasi Kristen yang menguat di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini. Diumpamakan seperti musik jazz yang penuh improvisasi, Pentakosta memberikan keleluasaan kepada umat untuk ambil bagian dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan peribadatan agama.

 

Prof. William Kay merupakan seorang pendeta sekaligus professor teologi dengan spesifikasi studi gerakan Pentakosta dan Kharismatik di Glynd?r University, Wales. Saat ini, ia tengah menyelesaikan penelitian mengenai gerakan Pentakosta di Hong Kong, Singapura dan Malaysia.

 

Melalui presentasi berjudul “Cultural flows in Global Pentecostalism”, Prof. William mengungkapkan, meskipun gerakan Pentakosta (dalam bahasa Indonesia disebut juga gerakan Pantekosta) berkembang di abad 20, namun teologinya bisa dirunut dan dikaitkan dengan ajaran teologi John Wesley yang hidup di Inggris pada abad 18. Ajaran ini antara lain menekankan konsep keselamatan (salvation) yang merupakan kuasa Tuhan dan terkait dengan iman, bukan perbuatan serta konsep pengudusan (sanctification).

 

Gerakan Pentakosta berkembang pesat di abad 20 melalui aktivitas penyembuhan dengan metode spiritual. Hampir semua gereja Pentakosta melakukan aktivitas ini dengan mengangkat semangat mukjizat kontemporer melalui pembacaan doa untuk kesembuhan orang-orang yang sakit. Tersebutlah nama-nama penting di bidang penyembuhan semisal Charles Cullis dan Oral Roberts.

 

Lebih lanjut Prof. William yang juga penulis “Pentecostalism” (2009) dan “Pentecostalism: A Very Short Introduction” (2010) melanjutkan, gerakan Pentakosta tak bisa kemudian disebut denominasi atau jaringan tertentu, karena gerakan ini memayungi ratusan denominasi dan ribuan jaringan. Gerakan Pentakosta bukanlah gerakan seragam baik secara doktrinal maupun politis, karena para pengikutnya kadang berseberangan secara politis atau berbeda metode interpretasi teks agama. Namun demikian, gereja-gereja seluruh dunia di bawah naungan gerakan Pentakosta memiliki beberapa lagu pujian yang sama juga cenderung memiliki gaya bangunan gereja dan busana jemaat yang mirip.

 

Gereja Pentakosta menghelat peribadatan lebih longgar dan beberapa momen seperti gelaran konser musik. Bagi Prof. William, improvisasi dalam peribadatan boleh saja berbeda karena memang lahir dari dinamika sejarah.

 

Gerakan Pentakosta kini aktif terlibat dalam aktivitas sosial dan humanitarian serta membuka diri dengan konsep kesetaraan gender, seperti mangakui adanya kependetaan perempuan.

 

Pada sesi diskusi muncul pertanyaan dari audiens tentang bagaimana ketidakseragaman bisa muncul dalam gerakan Pentakosta serta mengapa presentasi kali ini mengangkat tema perkembangan budaya (cultural flow). Prof. William menjelaskan, ketidakseragaman merupakan hal yang wajar, mengingat gerakan Pentakosta masih berusia relatif muda, tak sebanding ajaran agama lain yang telah mapan dan eksis selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Sementara istilah “cultural flows” dimaksudkan untuk mendekati pembahasan gerakan Pentakosta melalui sudut antropologis, bagaimana gerakan ini akhirnya membentuk sebuah gaya peribadatan yang khas.

 

Muncul juga pertanyaan tentang bagaimana ide pengobatan dalam gerakan Pentakosta dikaitkan dengan ajaran Alkitab. Menurut Prof. William, begitu banyak aktivitas yang dilakukan oleh figur-figur dalam Alkitab terkait pengobatan. Ketika obat-obatan dan penanganan medis mahal, jalan pengobatan secara spiritual menjadi alternatif pilihan masyarakat.

 

Di Indonesia, terjadi fenomena menarik dimana, pada komunitas berlatar belakang ekonomi mapan seperti komunitas Cina, teologi kesuksesan yang dominan diangkat. Sementara di kalangan pedesaan, teologi eskapis yang banyak dikhutbahkan. Bagi Prof. William, hal ini menjadi bukti ketidakseragaman Pantekosta, namun kesemuanya tetap memiliki rujukan pada Alkitab. Dalam ajaran Kristiani, kekayaan dan kemiskinan sama-sama dianggap keberkatan.

 

Seorang penanya menyinggung persinggungan pengalaman spirtitual kondisi gerakan Pentakosta dengan kecenderungan gereja Pantekosta Indonesia yang otoritarian. Prof. William menyebutkan, gerakan Pentakosta percaya akan adanya pengalaman spiritual, tetapi pengalaman ini tetap bersifat kompleks dan pribadi. Sifat otoritarian di Indonesia mungkin juga dipengaruhi dominasi negara terhadap agama masih sangat kuat di Indonesia. Berbeda dengan yang terjadi di Inggris dimana agama lebih diserahkan kepada masing-masing individu penganutnya. [MoU]

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju