Peran Lelaki pada Pernikahan Anak dan Posisi Perempuan dalam KBB: Obrolan Penuh Makna dengan Nelly van Doorn-Harder
Athanasia Safitri – 06 September 2022
Keberadaan UU No. 16/2019 tentang Perkawinan membuka lembaran baru bagi isu pernikahan anak di Indonesia. Undang-undang tersebut menggantikan regulasi pernikahan di negeri ini yang telah bertahan hampir setengah abad. Salah satu poin penting dari UU tersebut adalah kenaikan batas minimal usia pernikahan bagi laki-laki dan perempuan, dari yang awalnya 16 tahun menjadi 19 tahun. Perubahan ini sangat berpotensi menekan angka pernikahan anak di Indonesia yang menduduki peringkat 8 di dunia.
Pernikahan anak dan relasinya dengan praktik keagamaan umat muslim di Indonesia menjadi salah satu isu penting yang diangkat oleh Nelly van Doorn-Harder, Guru Besar Vrije Universiteit di bidang Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) dalam kuliah perdananya yang berjudul, “Strong Rights, Fragile People: The Politics of Freedom of Religion or Belief”, Maret 2022 silam. Meski sudah ada aturan dan hukum formal terkait pernikahan anak, banyak umat beragama di Indonesia menggunakan dalih agama untuk melanggengkan praktik tersebut dan mencari justifikasi melalui penceramah lokal, pemuka agama, maupun akademisi. Di sisi lain, ada masalah sosial yang tersembunyi di balik isu agama. Karenanya, isu ini menjadi penting dalam ruang lingkup KBB di Indonesia.
Saat istirahat makan siang pada International Conference Religion and Human Rights 2022 , van Doorn-Harder, yang juga profesor di Wake Forest University (North Carolina, USA), berbagi lebih lanjut tentang pemikirannya itu. Selama satu jam lebih, kami berbincang tentang praktik KBB di Indonesia, khususnya terkait dengan pernikahan anak dan posisi perempuan. Berikut petikannya.
Pernikahan Anak: Cermin Posisi Perempuan di KBB
Pernikahan anak di Indonesia, bagi van Doorn-Harder, merupakan isu yang harus terus diperbincangkan untuk memastikan implementasi KBB yang lebih baik, terutama kaitannya dengan posisi perempuan. Secara khusus, ia mengemukakan istilah shaming men atau ‘mempermalukan lelaki’ sebagai cara untuk mengajarkan generasi muda bahwa tidak banyak manfaat yang didapat dari pernikahan anak, terutama bagi perempuan muda yang menjadi objek. Penting bagi lelaki, terutama yang hidup di lingkungan yang melanggengkan pernikahan anak, untuk memahami konsekuensi dari praktik tersebut. Masalah pernikahan akan muncul ketika para gadis yang tidak siap menikah—sebagian besar dari mereka tidak berpendidikan—dipaksa menikah di luar kehendaknya. Pernikahan yang tidak diinginkan itu kemungkinan besar akan berakhir pada perceraian dan berakibat kesusahan yang berlipat: dari masalah kesehatan, ekonomi, hingga psikis.
Penderitaan hebat semacam ini tentu saja tidak akan luput dari perhatian masyarakat sekitar. Para lelaki dalam keluarga, terutama sang ayah sebagai wali dari pernikahan tersebut, akan menjadi orang yang pertama-tama disalahkan oleh masyarakat. Rasa malu yang dirasakan sang ayah ini kemudian juga akan dialami oleh anggota keluarga yang lain: baik saudara perempuan maupun lelakinya. Mungkin rasa malu ini tidak mereka tunjukkan ke publik, mengingat norma yang ada di Indonesia, tapi perasaan malu dan bersalah itu akan melekat kuat dalam ingatan mereka. Ketika mereka mulai melihat efek buruk dari pernikahan anak ini, generasi berikutnya akan menghindari kesalahan yang sama di masa depan. Dengan membuat saudara laki-laki dan perempuan malu akan adanya pernikahan anak, mereka akan belajar memperlakukan kerabat atau saudara perempuan mudanya secara berbeda—mungkin tidak pada generasi saat ini, tapi bisa jadi pada generasi berikutnya. Harapannya, ini akan menurunkan jumlah pernikahan anak.
Latar belakang ekonomi memang dapat menjadi salah satu alasan terjadinya pernikahan anak. Beberapa masyarakat menganggap pernikahan anak adalah solusi dari masalah ekonomi—hingga akhirnya perceraian terjadi dan “solusi” ini kembali menjadi beban berganda yang harus ditanggung kembali oleh keluarga anak perempuan tadi. Namun, masalah ekonomi ini juga berkelindan dengan alasan-alasan lain seperti lingkungan sosial dan norma budaya, yang kedua hal ini sangat sulit untuk dihindari. Satu-satunya cara untuk menghindar adalah dengan pergi meninggalkan lingkungan tersebut. Sayangnya, tidak semua orang punya kemewahan seperti itu.
Ketika para remaja putri tidak lagi punya pilihan, ini saatnya bagi orang dewasa untuk berdiri melindungi mereka—apalagi ketika pernikahan anak ini dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Beberapa kelompok masyarakat, dari kalangan modern dan terpelajar, melakukan pernikahan anak untuk menunjukkan ketaatan pada ajaran agama mereka. Pada kasus yang lain, pernikahan anak dianggap sebagai sebuah kehormatan bagi keluarga karena yang menjadi pasangan dari putri mereka yang masih belia adalah seorang pemuka agama, yang berumur jauh lebih tua. Dalam kasus semacam ini, bantuan dan campur tangan orang dewasa perlu dilakukan. Seperti bantuan yang dilakukan oleh lembaga penelitian bernama Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB). Lembaga ini mengadvokasi fikih bagi anak serta memfasilitasi realisasi hak asasi anak dalam ajaran Islam. Mereka menafsirkan teks-teks Al-Qur’an untuk menyediakan sarana pendukung dari perspektif agama bagi para perempuan yang dipaksa menikah muda.
Rumah KitaB juga bekerja sama dengan berbagai kelompok dari pemerintah daerah, kelompok pemuda, lembaga swadaya masyarakat, hingga pesantren yang melawan pernikahan anak. Mereka melakukan kampanye edukasi kepada masyarakat melalui media massa, platform digital, pertemuan lokal, hingga kelompok pengajian di rumah-rumah. Ada juga pertemuan khusus yang diadakan untuk anak-anak dan remaja. Dalam pertemuan tersebut, biasanya ada remaja putri yang mulai bersuara membagikan pengalaman dan mendorong teman sebayanya untuk tidak menikah di usia yang begitu muda. Ketika remaja putri ini diberi pilihan, maka mereka akan memilih hal lain selain pernikahan anak.
Meski demikian, masih ada para ayah dan juga perempuan berpikiran kolot yang menentang larangan pernikahan anak. Karenanya, berbagai pengalaman tentang pernikahan anak perlu terus disebarluaskan kepada masyarakat. Dengan begitu, kesadaran akan kerugian pernikahan anak mulai muncul dan masyarakat akan berpikir untuk melindungi perempuan muda di sekitar mereka dengan lebih baik. Prosesnya mungkin memakan waktu lama, tetapi hal ini menawarkan kesempatan dan pilihan yang dibutuhkan oleh para remaja putri dan anak-anak.
Pergeseran Paradigma dan Dukungan Lelaki
Belajar dari pengalaman sejarah, pergeseran paradigma sangat mungkin terjadi di masyarakat, termasuk dalam kasus pernikahan anak. Paradigma ini dapat bergeser ketika ada arah haluan yang berbeda dalam sistem, atau jika ada sistem yang memungkinkan terjadinya perubahan itu. Situasi di beberapa daerah dapat berubah jika ada dukungan untuk membuat sistem tersebut bekerja, di antaranya dari regulasi pemerintah. Selain itu, juga harus ada kemauan yang kuat dari pihak perempuan. Pada situasi inilah peran masyarakat diperlukan. Pergeseran itu bisa terjadi ketika umat dan tokoh agama membuka kesempatan yang dapat mendorong keinginan kaum perempuan untuk bangkit. Saat sistem dan lingkungan di sekitar mereka berubah, kaum perempuan dapat menjalani kehidupannya dengan lebih leluasa.
Ini semua dapat terwujud ketika lelaki dalam masyarakat tersebut mulai memberikan dukungan. Saat ini, dan juga jauh sebelumnya sejak awal kemunculan agama dan kebudayaan, lelaki memainkan peran penting dalam kehidupan. Tanpa bermaksud mengecilkan peran perempuan dalam isu ini, di Indonesia keputusan akhir soal pernikahan anak seringkali berada di pihak lelaki yang menjadi wali. Karena masih di bawah umur, anak-anak secara hukum dianggap belum bisa memberikan keputusan dan membutuhkan wali. Dalam posisi yang demikian, sudah selayaknya perubahan ini juga harus diprakarsai oleh lelaki.
Ketika kita mengangkat isu kesempatan dan pilihan hak-hak perempuan untuk hidup layak, van Doorn-Harder berpendapat harus ada diskusi lanjutan juga tentang bagaimana perempuan dapat memperoleh kebebasannya dalam beragama atau berkeyakinan. Peningkatan pengetahuan dan perubahan sistem sosial akan memungkinkan peran yang berbeda bagi perempuan, misalnya kesempatan untuk mendapat pendidikan lebih tinggi dan kemandirian di banyak bidang kehidupan. Karena itu, dalam bidang pendidikan, ia menyatakan bahwa masyarakat perlu mengondisikan dirinya seperti berada di taman kanak-kanak yang menuntut setiap orang untuk terus-menerus belajar.
Pada tahap ini, kontribusi dari civitas academica sangat diperlukan dalam hal produksi dan distribusi pengetahuan. Para akademisi dan peneliti perlu membuat materi yang layak untuk disebarluaskan dan dipahami tentang isu kesetaraan gender dan KBB bagi perempuan di Indonesia. Materi pendidikan ini tidak hanya berhenti pada teks, tetapi juga rekaman di acara bincang-bincang radio, film pendek, atau siniar (podcast) sehingga orang dapat terlibat dalam berbagai cara sebanyak mungkin.
Masalah ketimpangan dalam hal agama, khususnya dalam tradisi umat Islam di Indonesia, tidak serta-merta berpusat pada penafsiran teks kitab suci, tetapi lebih dari itu. Van Doorn-Harder telah memberikan tanggapannya tentang bagaimana latar belakang ekonomi, sosial, budaya, bahkan psikologis memengaruhi praktik KBB dan juga kesetaraan perempuan muslim Indonesia. Selanjutnya, implementasi KBB yang lebih baik hanya dapat terjadi ketika lelaki berpartisipasi aktif bersama perempuan untuk mencari paradigma baru yang berpihak pada kesetaraan. Seringkali solusi ini tidak dapat diperoleh secara instan karena regulasi dan tradisi yang dimiliki sebagian besar masyarakat saat ini. Namun, seperti yang dipahami oleh sebagian besar akademisi dan aktivis KBB, perjuangan ini bukan hanya untuk kepentingan generasi sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan datang. Itu adalah jalan yang harus diperjuangkan setiap manusia, baik pria maupun wanita.
*Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari artikel Safitri berjudul “What Men Have to Do with Women’s Position in Freedom of Religion: An Hour of Truth with Nelly van Doorn-Harder” yang sebelumnya telah diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris di situs web ICRS. Diterjemahkan oleh m r. abdi, cantrik di divisi pendidikan publik CRCS UGM.
______________________
Athanasia Safitri adalah mahasiswa Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), angkatan 2021.