Perempuan Ahmadiyah Memberdayakan Diri Menghadapi Intoleransi
Inasshabihah – 6 April 2020
Perempuan sering menghadapi tantangan yang lebih berat ketimbang laki-laki ketika menjadi korban intoleransi atas nama agama. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa kala menghadapi intoleransi, perempuan rentan mengalami kekerasan berbasis gender yang meliputi kekerasan fisik, mental, dan seksual. Laporan Komnas Perempuan berjudul Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama (2017), misalnya, mencatat pelbagai dampak intoleransi terhadap perempuan yang mencakup kesulitan mencatatkan pernikahan, gangguan kesehatan reproduksi, kehilangan mata pencaharian, ketakutan dan trauma.
Hal-hal itu tampak juga dalam pengalaman perempuan Ahmadiyah, yang menjadi bagian dari penelitian penulis saat ini, dengan riset lapangan di Tasikmalaya. Perempuan-perempuan ini bercerita kepada penulis ihwal beratnya pengalaman mereka menghadapi intoleransi, yang harus dibarengi dengan tantangan mengurus keluarga. Namun, penulis menemukan bahwa para perempuan ini tidaklah menyerah begitu saja. Mereka mampu mengubah kesulitan menjadi peluang untuk memberdayakan diri, termasuk mengupayakan inklusi sosial.
Lapis-lapis intoleransi dan persekusi
Beberapa penelitian telah mencatat bagaimana perempuan jemaat Ahmadiyah mengalami intoleransi. Misalnya, laporan Komnas HAM Perempuan berjudul Perempuan dan Anak Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis (2008) menuliskan bagaimana perempuan-perempuan Ahmadiyah di satu desa di Cianjur mengalami diskriminasi hingga kekerasan seksual. Saat terjadi penyerangan pada 2005, teriakan kotor dengan nama-nama hewan lantang diteriakkan oleh oknum penyerbu ketika memasuki rumah penganut Ahmadiyah. Di desa lain di Cianjur, masih dalam catatan laporan itu, seorang jemaat Ahmadiyah yang sedang hamil 9 bulan mengalami pendarahan dan ancaman pemerkosaan. Dia pun bersembunyi di hutan hingga melahirkan dalam kondisi yang payah, dibantu oleh dukun beranak karena ia takut bidan desa tidak akan menolongnya.
Di tempat penelitian penulis di satu desa di Tasikmalaya, penulis mendapat cerita tentang rangkaian teror yang sangat memengaruhi kondisi psikis jemaat Ahmadiyah. Pada 2013, sekelompok orang berkonvoi mengendarai sepeda motor dan bolak-balik melewati rumah-rumah jemaat seraya meneriakkan kalimat-kalimat kotor serta ancaman di malam lebaran. Suara knalpot motor tersebut begitu berisik, sampai-sampai seorang anak perempuan jemaat mengalami trauma.
Penceramah yang mengisi pengajian bulanan di desa pun sering melemparkan ujaran kebencian kepada jemaat Ahmadiyah sehingga mereka tak kuat mendatangi acara tersebut. Masyarakat sekitar semakin terprovokasi seiring dengan maraknya ceramah-ceramah yang membingkai Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Ketidakmampuan masyarakat pedesaan untuk memverifikasi informasi dan mudahnya mereka percaya pada berita palsu menjadikan stigma negatif terhadap Ahmadiyah semakin menjadi-jadi, misalnya jenazah Ahmadi hanya dibuang begitu saja.
Provokasi tersebut berimbas pada relasi sosial masyarakat setempat, termasuk relasi antara para perempuan di desa yang sangat berjarak. Muncul opini-opini tidak berdasar yang menyudutkan jemaat, sampai-sampai ibu-ibu melarang anaknya untuk bermain dengan anak para jemaat. Ketika ada anak jemaat yang dianggap nakal, ia tak lagi disebut, “Anak Ibu A nakal,” melainkan, “Anak Ahmadi tuh nakal.”
Selain stigma sosial yang buruk, teror penyerangan juga mereka alami. Biasanya, ada orang yang membocorkan informasi akan terjadinya penyerangan. Begitu mendengar informasi itu, para perempuan membereskan rumah; menyembunyikan surat-surat penting, menyimpan kasur baju, menitipkan barang ke tetangga, dan sebagainya; sekalipun rumor akan adanya penyerangan itu ternyata tak terjadi.
Tantangan lain yang dihadapi perempuan adalah perkara pencatatan nikah. Jemaat Ahmadiyah di desa tersebut mengalami kesulitan karena Petugas Pembantu Pencatat Nikah (P3N) atau perpanjangan tangan para penghulu menolak mencatatkan pernikahan jemaat Ahmadiyah. Pencatatan hanya bisa dilakukan jika jemaat Ahmadiyah menandatangi surat pernyataan bahwa mereka “benar-benar bukan jemaat Ahmadiyah.” Para jemaat memilih “numpang nikah” di desa lain yang memfasilitasi pencatatan pernikahan bagi Ahmadiyah, meski tentu lebih merepotkan karena itu artinya mereka harus mengurus lebih banyak berkas administrasi.
Diskriminasi dari aparat negara juga dapat dilihat atas terjadinya penyegelan masjid Ahmadiyah. Pada 2015, ketika jemaat Ahmadiyah di salah satu desa di Tasikmalaya ingin merenovasi masjid yang pernah diserang oleh sekelompok massa intoleran pada tahun 2000-an, mereka mendapat tanggapan negatif dari tokoh masyarakat dan warga setempat karena dianggap tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Masalahnya, ketika hendak mendaftar IMB pun, jemaat tidak difasilitasi oleh pemerintah desa. Hingga beberapa bulan berikutnya, aparat negara menyegel masjid tersebut secara sepihak dan tanpa pemberitahuan. Jemaat sempat membuka sendiri segel tersebut karena dianggap ilegal, tetapi tak lama aparat datang dan kembali menyegel masjid.
Pada penyegelan kedua tersebut, jemaat Ahmadiyah makin tak berdaya, apalagi melihat aparat yang membawa perisai pengaman hingga kawat berduri. Aparat tidak mempedulikan tangisan ibu-ibu dan anak-anak Ahmadiyah yang terkulai menyaksikan tindakan intoleran itu. Aparat negara, dalam kasus ini, terbukti tidak mampu menjadi pihak yang melindungi kelompok marjinal dan malah berpihak kepada pelaku intoleran.
Tindakan intoleransi juga penulis temukan di Desa B yang tak jauh dari Desa A. Jemaat Ahmadiyah di desa B mengalami kesulitan dalam pekerjaan. Salah seorang guru SD tidak bisa mengajukan diri menjadi kepala sekolah karena adanya surat edaran dari pihak yang menyatakan bagian dari masyarakat bahwa sekolah tidak boleh menerima kepala sekolah dari jemaat Ahmadiyah. Menurut Ibu Y, jemaat Ahmadiyah di desa B, kasus ini mengejutkan, karena dalam aktivitas sehari-hari tampak tak ada masalah antara jemaat Ahmadiyah dengan masyarakat sekitar, kecuali pernah sekali masjid Ahmadiyah di sana mengalami penyerangan.
Karena jumlah jemaat di Desa B lebih banyak dibanding desa lain di Tasikmalaya, bisa dibilang suasana di sana lebih kondusif. Meski begitu, Ibu Y sendiri masih berupaya aktif dalam kegiatan desa demi membangun relasi sosial yang positif secara berkelanjutan. Dalam aktivitas bersama masyarakat sekitar, Ibu Y merasa justru penting untuk mendekati mereka, terutama kepada yang cenderung bersuara negatif terhadap jemaat Ahmadiyah.
Transformasi: perempuan memberdayakan diri
Meski mengalamai kekerasan berlapis, banyak perempuan Ahmadiyah tak punya pilihan lain kecuali harus memberdayakan diri. Persoalannya, banyak lelaki jemaat yang jarang berada di rumah karena kerja di luar kota. Pada kenyataannya, ketika terjadi penyegelan masjid Ahmadiyah oleh aparat pemerintah, para perempuan di sekitar masjidlah yang secara langsung menyaksikannya.
Kerja pemberdayaan tak bisa dianggap mudah, karena untuk membangun rasa saling percaya di antara anggota kelompok butuh waktu. Tantangan acap muncul dari internal jemaat sendiri, yakni yang belum menyadari haknya sehingga takut untuk melangkah. Kondisi ini juga diakibatkan rasa trauma dan takut akan terjadi serangan kembali sehingga mereka merasa lebih baik diam saja. Tetapi satu responden penulis berpandangan bahwa yang terjadi saat ini bukanlah situasi aman. Malah, kondisi ini tak ubahnya bom waktu yang bisa meledak jika terjadi penggerakan massa lagi.
Jemaat perempuan pun belum berani membaur seutuhnya dengan masyarakat, seperti menghadiri pengajian desa. Menurut Ibu N, responden penulis, hadir di acara desa tetaplah penting sebagai usaha untuk mendekatkan diri ke masyarakat dan memperkenalkan jemaat Ahmadiyah yang sesungguhnya, sekalipun harus mendengar ceramah berisi kebencian yang ditujukan kepada jemaat. Justru pada momen seperti inilah perempuan memiliki peran penting sebagai agen inklusi, mengingat perempuan punya lebih banyak kesempatan ketimbang laki-laki untuk berbaur, seperti lewat acara pengajian, PKK, maupun Posyandu.
Resistensi dari internal jemaat itu dapat diminimalisasi dengan hadirnya Kelas Kesadaran selama satu tahun yang digagas oleh jemaat dan bekerja sama dengan komunitas lain di Tasikmalaya. Ibu N dan suaminya juga mengikuti pelatihan paralegal oleh lembaga bantuan hukum sehingga mereka mendapatkan pemahaman mengenai penegakan hukum di Indonesia. Ibu N meneruskan ilmunya ke para jemaat, terutama untuk menyadarkan bahwa jemaat Ahmadiyah memiliki hak untuk beribadah dan melaksanakan keyakinannya. Bagi Ibu N, berdiam diri akan membuat mereka makin tertindas. Padahal, pergerakan secara efektif akan bermanfaat jika dimulai dari penyintas itu sendiri, karena mereka yang memahami situasi. Untuk menumbuhkan kesadaran, jemaat diberi pemahaman bahwa setiap orang memiliki peran, termasuk ibu-ibu.
Kelas Kesadaran dan pelatihan paralegal pada akhirnya membantu para jemaat, khususnya perempuan, untuk lebih memahami aturan hukum sehingga mereka kini lebih berani. Kemampuan untuk memahami hak dan berbicara menghadapi pihak-pihak dari luar jemaat Ahmadiyah adalah satu hal yang penting, karena kedatangan aparat negara tak bisa diduga. Ibu N menuturkan, “Perempuan juga harus ikut andil, karena kalau dihadapi oleh bapak-bapak, mereka (orang dari luar) lebih kasar. Kalau ibu-ibu yang ke depan mereka jadi tidak terlalu arogan.” Maka pada tahun 2017 ketika sejumlah orang termasuk BAKOR PAKEM, P3N, dan Satpol PP mendatangi para jemaat, ibu-ibulah yang menemui mereka sambil menjelaskan bahwa tidak ada landasan hukum yang tepat untuk melarang renovasi masjid. “Di SKB 3 Menteri pun tidak ada poin melarang membangun masjid, yang dilarang itu menyebarkan ajaran. Kan kita nggak mengajak atau memaksa,” ujar jemaat perempuan kala itu.
Keberanian para perempuan ini adalah buah dari kerja advokasi internal yang selama ini diupayakan oleh sesama jemaat sendiri. Mereka juga perlahan melanjutkan renovasi masjid sembari mengukur keamanan, yang kini telah selesai dan dapat digunakan dengan nyaman. Hanya, segel seng yang masih menutupi masjid dibiarkan demikian agar tidak memancing keributan kembali.
Kesadaran akan hak ini juga turut menguatkan perempuan Ahmadiyah untuk memperjuangkannya. Misalnya, ketika menghadapi kesulitan pencatatan pernikahan, mereka tampil berdialog dengan petugas P3N. Ibu H, salah satu jemaat yang hendak menikah, mempertanyakan kepada petugas mengenai susahnya pencatatan pernikahan bagi jemaat Ahmadiyah di desa mereka: “Apakah surat pernyataan bukan jemaat Ahmadiyah itu adalah persyaratan dari Departemen Agama?”
“Ini kebijakan daerah saja,” ujar Ibu H, menirukan jawaban petugas P3N. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kepala desa seolah-olah tidak punya kuasa untuk memberi solusi agar jemaat bisa menikah di desa sendiri, alih-alih mengarahkan mereka menikah di desa lain? Menurut jemaat, ini karena tekanan dari kelompok-kelompok tertentu yang menjadikan kepala desa tidak berkutik.
Namun demikian, ketika jemaat perempuan lain memilih numpang nikah di desa lain, Ibu H bersiteguh menikah di desa sendiri, sekalipun secara siri. Menurutnya, ini adalah proses menunut hak yang harus ia tempuh. “Katanya kita melanggar hukum. Dengan meniadakan hak orang lain, bukannya (mereka) itu juga melanggar hukum? Kalau kita, hukum mana yang kita langgar?” tanyanya.
Memperjuangkan hak
Kisah-kisah di atas adalah sedikit dari banyak kisah nyata perjuangan perempuan untuk mentransformasi diri. Di sini, narasi patriarkal mengenai perempuan yang lemah tidak berlaku. Sebab, bahkan dalam posisi pernah mengalami berlapis-lapis diskriminasi dan intoleransi pun para perempuan itu sanggup mengambil peran-peran baru: mencari uang untuk menghidupi keluarga, mengadvokasi diri sendiri dan kelompok, sambil tetap mengisi meja makan. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan, hatta dari kelompok marjinal yang mengalami korban kekerasan, nyata bisa dilakukan.
Tentu saja, mereka tak boleh berjuang sendirian. Masyarakat sipil mesti kritis mempertanyakan sikap perangkat desa dan aparat negara yang justru tunduk pada tekanan kelompok intoleran, bukan saja dalam kasus Ahmadiyah, tapi juga kelompok rentan lainnya. Padahal, jelas dalam peraturan perundang-perundangan mengenai jaminan hak-hak asasi, seperti hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif (Pasal 28I Ayat 2), hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, (Pasal 28G Ayat 2), serta hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 Ayat 1). Di poin inilah, penguatan kesadaran akan hak dan pentingnya untuk memperjuangkannya merupakan bentuk advokasi yang dapat diupayakan, dan terbukti membuahkan hasil dalam kasus perempuan Ahmadiyah.
________________
Inasshabihah adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, Angkatan 2018. Baca tulisan Inas lainnya di sini.