Terdapat perbedaan pandangan antara korban dengan para relawan terhadap bencana alam meski mereka memeluk agama yang sama. Korban cenderung melihat bencana sebagai takdir Tuhan. Sementara relawan memandang bencana sebagai kompleksitas humanis. Perbedaan ini berimbas pada relasi korban dengan relawan dalam proses penanganan dan penanggulangan bencana.
Pernyataan di atas disampaikan Dr. Siti Samsiyatun dalam Wednesday Forum CRCS-ICRS 16 November 2011 dengan presentasi ‘Merengkuh Merapi dengan Iman’ yang didasarkan pada penelitiannya di beberapa daerah di Yogyakarta yang terkena erupsi Gunung Merapi 2010 lalu.
Menurut Dr. Siti, sikap pasif (penerimaan akan kehendak Tuhan) yang ditunjukkan oleh para korban ternyata mampu membangun kesabaran dan motivasi untuk bangkit. Sementara, kelompok relawan yang memandang bencana dari perspektif teologi liberal (persoalan bencana bisa dipecahkan lewat tanggung jawab dan kepedulian manusia itu sendiri) menghadirkan rasa solidaritas yang kuat.
Temuan menarik yang disampaikan oleh Ketua Program Studi ICRS ini terkait kekesalan beberapa korban terhadap ketidakacuhan relawan kepada mereka, padahal berafiliasi kepada organisasi yang sama. Kondisi ini bisa jadi terpicu oleh tekanan psikologis dan desakan kebutuhan akan bantuan sehingga mereka berpandangan sempit dan merasa harus diprioritaskan.
Selain itu, ada organisasi Islam yang datang ke lokasi, bukan memberi pertolongan tetapi malah sekedar pasang bendera dan propaganda agar korban dari kalangan Islam berhati-hati dengan bantuan dari non-Muslim. “Kecurigaan pemurtadan (terutama Kristenisasi) yang selama ini menjadi hantu di daerah bencana, setelah diinvestigasi ke lapangan ternyata tak lebih dari rumor belaka,” tutur Dr. Siti. [MoU]