Sudarto | CRCS | Artikel
Apakah reformasi ada manfaatnya? Cita-cita luhur reformasi 1998 yang diperjuangkan dengan gegap gempita oleh segenap mahasiswa dan masyarakat Indonesia untuk perbaikan bersama dirasa belum kunjung tiba, justru dalam banyak kasus malah memperlihatkan terjadinya pembusukkan, sehingga era reformasi tidak terasa lebih baik dari era sebelumnya yaitu “Orde Baru”. Ada persoalan apa di Indonesia saat ini? Demikian pertanyaan Prof. DR. Muahfud, MD. pada acara Stadium Generale pembukaan perkuliahan mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, dengan tajuk, “Membangun Etika dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, Senin 17 September 2012 di gedung Graha Sabha Pramana, Bulaksumur, UGM.
Tidak dapat disangkal bahwa reformasi telah berhasil mengantarkan Indonesia untuk melakukan berbagai perbaikan diantaranya: berhasil mengamandemen UUD 1945, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang independen, kebebasan pers, dan kebebasan berekspresi. Pendek kata semua perangkat prosedur demokrasi telah tersedia sebagai buah reformasi, namun kebaikan dan kemajuan yang menjadi tujuan reformasi belum dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Persoalannya menurut pakar hukum tata Negara dan HAM yang juga alumni UGM ini, ternyata terletak pada meresotnya moral, etika dan karakter Indonesia, yang pernah dikagumi oleh bangsa bangsa lain utamanya di Asia sebagi bangsa yang memotivasi untuk merdeka. Menurut Mahfud, merosotnya moral terjadi pada hampir semua lapisan masyarakat, dari rakyat biasa hingga penyelenggara Negara, dan elit-elit politik, dalam bentuk korupsi, money loundring, dan suap-menyuap, dan bentuk lainnya.
Kemerosotan moral tidak terkecuali terjadi juga di perguruan tinggi, sehingga tidak salah jika perguruan tinggi ikut bertanggungjawab atas merosotnya moral bangsa. Di perguruan tinggi tidak jarang ada tindakan yang dapat merusak citranya demi berbagai tujuan, seperti: plagiarisme, gelar sarjana aspal (asli tapi palsu), pemalsuan karya akademik dan bentuk tindakan yang menyimpang dari etika akademis lainnya misalnya, demi bayaran seorang professor doktor rela membuat dalil-dalil akademis, bahkan membela para koruptor dengan hanya mengutak-utik kaedah-kaedah akademis baik di bidang hukum maupun sosial lainnya.
Oleh sebab itu menurut Prof. Mahfud MD, menjadi penting bagi perguruan tinggi untuk tidak sekedar melahirkan orang-orang yang pandai menganalisis persoalan, melainkan juga memiliki kecerdasan yang berimbang, yang antara lain dapat dilakukan melalui pembangunan tradisi akademik yang sehat dan tradisi prosefional yang beretika dan bermoral. Bagi Ketua Mahkamah Konstitusi ini, seorang ilmuan tidak boleh netral nilai, ia harus memihak kepada persatuan dan kepada demokrasi musyawarah mufakat bukan demokrasi yang menang-menangan, sekaligus mereka harus memihak kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam hukum yang merupakan hasil penggalian dari norma agama dan norma baik yang berlaku di masyarakat.
Mengakhiri urainnya, Prof. Mahfud menyatakan bahwa Indonesia sedang dalam bahaya besar, bukan dalam pengertian bahaya yang disebut dalam UUD, yakni bahaya perang (pasal 12) dan ihwal kondisi mendesak (pasal 22), namun Indonesia dalam bahaya korupsi dan bentuk ketidak jujuran lainnya. Indonesia saat ini juga sedang berada dalam ancaman disintegrasi sosial setelah sebelumnya muncul disorientasi atau ketidakjelasan peta masa depan dan ketidak percayaan terhadap penyelengara negara sehingga menimbulkan perlawanan dari rakyat secara membabi buta. Ini semua menurutnya bermuara dari persoalan merosotnya moral dan etika (Ed-njm).