Waria merupakan istilah yang popular di Indonesia untuk menyebut personal transgender, sosok laki-laki yang berperilaku menyerupai wanita (perempuan). Dalam konteks masyarakat Islam, waria dibelit oleh berbagai persoalan karena dalam Islam ada perbedaan yang jelas antara pria dan wanita, terutama dalam hal ibadah.
Menyikapi garis batas ini, beberapa waria di kota Yogyakarta mencoba melepaskan diri mereka dari belenggu fiqih baku Islam. Mereka berinisiatif mendirikan pesantren yang khusus diperuntukkan bagi waria dengan nama Pesantren Waria Senin-Kamis. Pesantren unik ini didirikan pada tahun 2008 oleh Maryani, (seorang waria) bersama Kyai Hamroli ingin menunjukkan bahwa waria punya hak untuk menjalani ibadah sesuai dengan agama yang mereka peluk (dalam konteks ini agama Islam).
Formulasi pesantren baru ini diangkat Dian Maya Safitri, alumni CRCS UGM pada kesempatan Wednesday Forum 28 September 2011 lalu dengan topik “Politics of Piety: Negotiating Islamic Religious Embodiment”. Fitri mengungkapkan bahwa seorang waria di Pesantren Senin-Kamis diberikan kebebasan untuk melakukan ritual-ritual Islam baik secara maskulin, feminin atau cara waria.
Fitri menggunakan teori Saba Mahmood untuk menjelaskan apa yang disebut sebagai embodiment (perwujudan), konstruksi tubuh dalam kegiatan ritual keagamaan. Para waria di Pesantren Senin-Kamis dibebaskan memakai sarung (pakaian khas Indonesia muslim laki-laki) atau mukena (pakaian untuk wanita) atau juga bisa mengambil niat untuk menjadi waria ketika menunaikan ibadah.
Dalam sesi diskusi, Endy Saputro (staf peneliti CRCS) mempertanyakan penggunaan istilah embodiment dalam kerangka teoretis penelitian konstruksi Islam karena Mahmood Saba tidak pernah menggunakan istilah Islamic embodiment tapi hanya menyebut agency and embodiment. Sementara itu, Bernard Adeney Risakotta (dosen CRCS-ICRS) mempertanyakan konsep indigenous gender di Indonesia dan menanyakan apakah kegiatan yang dilakukan oleh para waria di Pesantren Senin-Kamis benar-benar proses embodiment atau hanya proses pembuatan pilihan.
Merespon pertanyaan itu, Fitri mengatakan bahwa ia menyadari ada persoalan yang timbul dengan penggunaan istilah embodiment dan menyadari Saba Mahmood tidak pernah mengunakan istilah Islamic embodiment. Tapi karena subjek penelitiannya adalah tubuh, maka ia menilai embodiment adalah term paling representatif untuk elaborasi teoritis. Untuk konteks Indonesia, gender tidak pernah menjadi persoalan serius sebelum kedatangan Islam dan Kristen. Agama telah memaksa waria mempraktekkan apa yang disebut Tom Boellstorff sebagai ‘budaya dubbing’, menjadi seperti laki-laki atau perempuan.
Fitri menjelaskan, sebenarnya beberapa keluarga Muslim bisa menerima anak dengan kecenderungan “seksualitas unik”, tetapi tidak dapat menghindari dominasi hegemonik seksualitas yang dipahami oleh masyarakat umum. (MoU)