Perspektif Baru Melihat Negosiasi Masyarakat Sipil Terhadap Negara
Endy Saputro
Keruntuhan rezim Soeharto menandakan kembalinya kekuatan sipil, yang kemudian semakin diperjelas dengan pelaksanaan desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah. Salah satu implementasi desentralisasi ini adalah pelaksanaan Pemilukada. Di satu sisi, Pemilukada merupakan angin segar bagi demokratisasi baru di Indonesia. Namun di sisi lain berdampak pada defisit demokrasi karena biaya yang tinggi seringkali tidak berkorelasi positif dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.
Bagi Gerry van Klinken dan Joshua Barker (2009), gejala desentralisasi menandakan perubahan kutub kekuasaan yang lagi tidak lagi terpusat pada negara, tetapi juga bertransmisi ke daerah dan masyarakat sipil. Klinken dan Barker merekomendasikan perubahan perspektif dalam melihat Indonesia pasca Soeharto dengan tidak lagi fokus pada institusi negara, tetapi bagaimana kuasa-daerah dan otoritas-otoritas di luar negara beroperasi. Meminjam istilah Joel S. Migdal (2001), saat ini Indonesia memasuki era “State in Society”.
Buku “Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia ” ini bisa dibilang sebagai sebuah usaha untuk meretas negosiasi-negosiasi society (masyarakat sipil) terhadap state. (negara) Buku ini tidak saja menawarkan konsep baru bagaimana menganalisis negosiasi society terhadap negara, tetapi juga memberikan preseden beberapa ranah masalah di mana otoritas masyarakat sebenarnya berperan dalam mengolah dan mengelola keragaman, seperti ranah perempuan, kaum muda, agama dan politik lokal. Ditulis oleh para akademisi dan praktisi, semakin membuat buku ini menemukan urgensinya, dan layak dijadikan sebagai rujukan dalam diskusi dan debat akademis maupun titik pijak panduan bagi para pengambil kebijakan.
Latar utama kemunculan buku ini adalah adanya sebuah kegalauan atas beberapa masalah yang terjadi di Indonesia Post-Soeharto. Pertama, lahirnya otoritas-otoritas baru, khususnya dalam bidang agama, di ranah publik. Otoritas-otoritas baru ini (di antaranya ormas-ormas Islam) sebenarnya tidak diminati oleh masyarakat, namun kekuatannya justru mengalahkan otoritas-otoritas berwenang. Kedua, maraknya peraturan-peraturan daerah berbasis syariat di beberapa wilayah di Indonesia. Perda ini muncul sebagai dampak pergeseran otoritas kebijakan publik dari pusat ke daerah. Kedua latar utama ini menjadi masalah ketika bersinergi dengan dominasi mayoritas (Islam) yang bisa memunculkan politik identitas kelompok agama tertentu sampai menjurus pada tindakan-tindakan anarkis.
Apa itu civic pluralism (pluralisme kewargaan)? Daripada menjelaskan detail definisi, menurut hemat penulis, lebih baik mengurai elemen-elemen apa yang ada dalam konsep ini. Pertama, politik rekognisi; pengakuan kesetaraan terhadap orang/komunitas lain (the others). Pengakuan ini tidak sekadar penghargaan tetapi bersama-sama mendialogkan berbagai masalah yang terkait dengan urusan-urusan publik. Melalui politik rekognisi, terutama, para pemegang kebijakan diharapkan tidak mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan sebagaian kelompok atau beberapa golongan saja, akan tetapi mempertimbangkan keragaman dan kesetaraan atas the others. Kedua, politik representasi; partisipasi dan kompetisi secara adil-setara bagi seluruh komponen warga negara terhadap segala kebijakan-kebijakan pada ranah publik. Dua aksi ini bisa berlangsung baik pada level akar rumput maupun di tataran politik praktis. Ketiga, politik redistribusi, pemerataan secara adil atas akses-akses ekonomi politik untuk seluruh warga. Negara dalam politik redistribusi berkewajiban secara bijaksana mengeliminasi kewenangan khusus kelompok-kelompok pemegang kapital tertentu agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan redistribusi.
Apakah kesetaraan bisa terwujud tanpa adanya liberalisme? Perspektif yang ditawarkan buku ini adalah akomodasi transformatif, sebuah temuan Ayelet Schachar. Akomodasi transformatif mencoba menunaikan tiga prinsip utama pluralisme kewargaan. Pertama, pembedahan dan pembagian masalah ke dalam detail masalah yang kelihatannya terpisah, namun sebenarnya bersinergi satu sama lain. Kedua, no monopoly rule, penyamarataan kekuasaan; tidak ada satu pihak yang berpandangan paling berkuasa atas pihak yang lain. Ketiga, tersedianya alternatif jalan keluar apabila solusi yang ditawarkan, khususnya dari pemerintah, justru tidak memberikan jawaban atas masalah yang dihadapi (hlm. 81—82).
Salah satu penulis dalam buku ini memberikan contoh penerapan tiga prinsip tersebut dalam kasus agunah (hlm. 82), “Dalam kasus agunah misalnya, jika mantan suami tidak mau memberikan get (surat/ ucapan cerai secara formal agama Yahudi), sementara istri ingin menikah kembali dalam tradisi Yahudi, akomodasi transformatif memberikan solusi dengan pilihan untuk keluar dari kelompok tersebut dalam kasus ini dan meminta bantuan negara sebagai pemegang sebagian kuasa atas persoalan perkawinan ini.” Dari sini jelas bahwa akomodasi transformatif tidak memberikan solusi radikal atas permasalahan yang ada, namun lebih memberikan “jalan tengah”.
Penulis lain menawarkan sebuah cara alternatif kaum muda dalam konteks pluralisme. Beberapa siswa salah satu SMU di Magelang, Jawa Tengah, diberi forum dialog, tidak untuk berdiskusi dan berdebat, namun membahas pembuatan film etnografi. Mereka saling berbagi ide, dan menemukan sebuah ide yang kurang popular, tentang waria. Dengan memegang handycam, para siswa tersebut mengalami hal-hal asing dalam diri mereka. Mereka menshoot gambar-gambar dan tanpa sadar sebenarnya telah menghargai, mengakui dan memahami bagaimana seorang waria hidup. Ketika film ini dilaunching, apa yang telah dilakukan oleh para siswa ini tidak hanya mengubah pandangan siswa itu sendiri tentang waria, tetapi para para penonton yang sempat menyaksikan film tersebut.
Cara alternatif tersebut ternyata lebih ampuh dalam mengubah stereotype dan prasangka seseorang terhadap suatu subjek. Hal ini berbeda dengan cara-cara yang ditempuh oleh para alumni pada SMU yang sama dalam melakukan indoktrinasi agama kepada beberapa siswa di SMU tersebut. Para alumni, melalui beberapa siswa, melakukan Islamisasi di sekolah tersebut, misalnya melarang siswa perempuan untuk bernyanyi saat peringatan hari ulang tahun sekolah. Menjadi Islam taat bukan merupakan suatu masalah, akan tetapi “memaksakan” suatu agama untuk mengatur urusan publik tentu akan mengundang masalah.
Kemudian, apakah pluralisme kewargaan mengajak warga akar rumput untuk mengacuhkan negara? Di sinilah signifikansi konsep ini tampak. Pluralisme kewargaan lebih tepat dikatakan sebagai sebuah agency politik keragaman atas dominasi kewarganegaraan negara; atas aturan-aturan yang selama ini mengatur keragaman, namun seringkali hanya tampil sebagai politik pencitraan pemerintah. Buku ini hendak menawarkan kepada kita semua bahwa civil pluralisme bisa menjadi acuan kita dalam mengelola keragaman. Selamat membaca.
Buku ini merupakan produk dari kegiatan Pluralism Knowledge Programme (PKP) yang dijalankan oleh CRCS sejak tahun 2008 bersama dengan tiga institusi akademik lain yaitu: Center for the Study of Culture and Societ (Bangalore, India), Cross-Cultural Foundation of Uganda (Kampala, Uganda), dan Kosmopolis Institute, University for Humanistics (Utrecht, Netherlands), dan didukung oleh Hivos (Netherlands). Bersama dengan itu telah terbit pula dua monograf: “Politik Ruang Publik Sekolah” dan “Kontroversi Gereja di Jakarta”.
Buku pluralisme Kewargaan bisa didapatkan di toko-toko buku sedangkan dua monograf tersedia di CRCS. Untuk mendapatkan bisa menghubungi CRCS di: crcs@ugm.ac.id atau telpon/fax di 0274 544 976.
***