• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Bedah Buku
  • Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman Di Indonesia

Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman Di Indonesia

  • Bedah Buku
  • 1 January 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Perspektif Baru Melihat  Negosiasi Masyarakat Sipil Terhadap Negara

Endy Saputro

 

Keruntuhan rezim Soeharto menandakan kembalinya kekuatan sipil, yang kemudian semakin diperjelas dengan pelaksanaan desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah. Salah satu implementasi desentralisasi ini adalah pelaksanaan Pemilukada. Di satu sisi, Pemilukada merupakan  angin segar bagi demokratisasi baru di Indonesia. Namun di sisi lain berdampak pada defisit demokrasi  karena biaya yang tinggi seringkali tidak berkorelasi positif dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.

 

Bagi Gerry van Klinken dan Joshua Barker (2009), gejala desentralisasi menandakan perubahan kutub kekuasaan yang lagi tidak lagi terpusat pada negara, tetapi juga bertransmisi ke daerah dan masyarakat sipil. Klinken dan Barker merekomendasikan perubahan perspektif dalam melihat Indonesia pasca Soeharto dengan tidak lagi fokus pada institusi  negara, tetapi bagaimana kuasa-daerah dan otoritas-otoritas di luar negara beroperasi.  Meminjam istilah Joel S. Migdal (2001), saat ini Indonesia memasuki era “State in Society”.

 

Buku “Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia ” ini bisa dibilang sebagai sebuah usaha untuk meretas negosiasi-negosiasi society (masyarakat sipil) terhadap state. (negara) Buku ini tidak saja menawarkan konsep baru bagaimana menganalisis negosiasi society terhadap negara, tetapi juga memberikan preseden beberapa ranah masalah di mana otoritas masyarakat sebenarnya berperan dalam mengolah dan mengelola keragaman, seperti ranah perempuan, kaum muda, agama dan politik lokal. Ditulis oleh para akademisi dan praktisi, semakin membuat buku ini menemukan urgensinya, dan layak dijadikan sebagai rujukan dalam diskusi dan debat akademis maupun titik pijak panduan bagi para pengambil kebijakan.

 

Latar utama kemunculan buku ini adalah adanya sebuah kegalauan atas beberapa masalah yang terjadi di Indonesia Post-Soeharto. Pertama, lahirnya otoritas-otoritas baru, khususnya dalam bidang agama, di ranah publik. Otoritas-otoritas baru ini (di antaranya ormas-ormas Islam) sebenarnya tidak diminati oleh masyarakat, namun kekuatannya justru mengalahkan otoritas-otoritas berwenang. Kedua, maraknya peraturan-peraturan daerah berbasis syariat di beberapa wilayah di Indonesia. Perda ini muncul sebagai dampak pergeseran otoritas kebijakan publik dari pusat ke daerah. Kedua latar utama ini menjadi masalah ketika bersinergi dengan dominasi mayoritas (Islam) yang bisa memunculkan politik identitas kelompok agama tertentu sampai menjurus pada tindakan-tindakan anarkis.

 

Apa itu civic pluralism (pluralisme kewargaan)? Daripada menjelaskan detail definisi, menurut hemat penulis, lebih baik mengurai elemen-elemen apa yang ada dalam konsep ini. Pertama, politik rekognisi; pengakuan kesetaraan terhadap orang/komunitas lain (the others). Pengakuan ini tidak sekadar penghargaan tetapi bersama-sama mendialogkan berbagai masalah yang terkait dengan urusan-urusan publik. Melalui politik rekognisi, terutama, para pemegang kebijakan diharapkan tidak mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan sebagaian kelompok atau beberapa golongan saja, akan tetapi mempertimbangkan keragaman dan kesetaraan atas the others. Kedua, politik representasi; partisipasi dan kompetisi secara adil-setara bagi seluruh komponen warga negara terhadap segala kebijakan-kebijakan pada ranah publik. Dua aksi ini bisa berlangsung baik pada level akar rumput maupun di tataran politik praktis. Ketiga, politik redistribusi, pemerataan secara adil atas akses-akses ekonomi politik untuk seluruh warga. Negara dalam politik redistribusi berkewajiban secara bijaksana mengeliminasi kewenangan khusus kelompok-kelompok pemegang kapital tertentu agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan redistribusi.

 

Apakah kesetaraan bisa terwujud tanpa adanya liberalisme? Perspektif yang ditawarkan buku ini adalah akomodasi transformatif, sebuah temuan Ayelet Schachar. Akomodasi transformatif mencoba menunaikan tiga prinsip utama pluralisme kewargaan. Pertama, pembedahan dan pembagian masalah ke dalam detail masalah yang kelihatannya terpisah, namun sebenarnya bersinergi satu sama lain. Kedua, no monopoly rule, penyamarataan kekuasaan; tidak ada satu pihak yang berpandangan paling berkuasa atas pihak yang lain. Ketiga, tersedianya alternatif jalan keluar apabila solusi yang ditawarkan, khususnya dari pemerintah, justru tidak memberikan jawaban atas masalah yang dihadapi (hlm. 81—82).

 

Salah satu penulis dalam buku ini memberikan contoh penerapan tiga prinsip tersebut dalam kasus agunah (hlm. 82), “Dalam kasus agunah misalnya, jika mantan suami tidak mau memberikan get (surat/ ucapan cerai secara formal agama Yahudi), sementara istri ingin menikah kembali dalam tradisi Yahudi, akomodasi transformatif memberikan solusi dengan pilihan untuk keluar dari kelompok tersebut dalam kasus ini dan meminta bantuan negara sebagai pemegang sebagian kuasa atas persoalan perkawinan ini.” Dari sini jelas bahwa akomodasi transformatif tidak memberikan solusi radikal atas permasalahan yang ada, namun lebih memberikan “jalan tengah”.

 

Penulis lain menawarkan sebuah cara alternatif kaum muda dalam konteks pluralisme. Beberapa siswa salah satu SMU di Magelang, Jawa Tengah, diberi forum dialog, tidak untuk berdiskusi dan berdebat, namun membahas pembuatan film etnografi. Mereka saling berbagi ide, dan menemukan sebuah ide yang kurang popular, tentang waria. Dengan memegang handycam, para siswa tersebut mengalami hal-hal asing dalam diri mereka. Mereka menshoot gambar-gambar dan tanpa sadar sebenarnya telah menghargai, mengakui dan memahami bagaimana seorang waria hidup. Ketika film ini dilaunching, apa yang telah dilakukan oleh para siswa ini tidak hanya mengubah pandangan siswa itu sendiri tentang waria, tetapi para para penonton yang sempat menyaksikan film tersebut.

 

Cara alternatif tersebut ternyata lebih ampuh dalam mengubah stereotype dan prasangka seseorang terhadap suatu subjek. Hal ini berbeda dengan cara-cara yang ditempuh oleh para alumni pada SMU yang sama dalam melakukan indoktrinasi agama kepada beberapa siswa di SMU tersebut. Para alumni, melalui beberapa siswa, melakukan Islamisasi di sekolah tersebut, misalnya melarang siswa perempuan untuk bernyanyi saat peringatan hari ulang tahun sekolah. Menjadi Islam taat bukan merupakan suatu masalah, akan tetapi “memaksakan” suatu agama untuk mengatur urusan publik tentu akan mengundang masalah.

 

Kemudian, apakah pluralisme kewargaan mengajak warga akar rumput untuk mengacuhkan negara? Di sinilah signifikansi konsep ini tampak. Pluralisme kewargaan lebih tepat dikatakan sebagai sebuah agency politik keragaman atas dominasi kewarganegaraan negara; atas aturan-aturan yang selama ini mengatur keragaman, namun seringkali hanya tampil sebagai politik pencitraan pemerintah. Buku ini hendak menawarkan kepada kita semua bahwa civil pluralisme bisa menjadi acuan kita dalam mengelola keragaman. Selamat membaca.

 

Buku ini merupakan produk dari kegiatan Pluralism Knowledge Programme (PKP) yang dijalankan oleh CRCS sejak tahun 2008 bersama dengan tiga institusi akademik lain yaitu: Center for the Study of Culture and Societ (Bangalore, India), Cross-Cultural Foundation of Uganda (Kampala, Uganda), dan Kosmopolis Institute, University for Humanistics (Utrecht, Netherlands), dan didukung oleh Hivos (Netherlands). Bersama dengan itu telah terbit pula dua monograf: “Politik Ruang Publik Sekolah” dan “Kontroversi Gereja di Jakarta”.

 

Buku pluralisme Kewargaan bisa didapatkan di toko-toko buku sedangkan dua monograf tersedia di CRCS. Untuk mendapatkan bisa menghubungi CRCS di: crcs@ugm.ac.id atau telpon/fax di 0274 544 976.

***

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju