• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Puja Waisak Lintas Negeri: Tradisi Thudong, Waisak, dan Umat Buddha Indonesia

Puja Waisak Lintas Negeri: Tradisi Thudong, Waisak, dan Umat Buddha Indonesia

  • Perspective
  • 4 June 2023, 14.12
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Puja Waisak Lintas Negeri:
Tradisi Thudong, Waisak, dan Umat Buddha Indonesia

Candra Dvi Jayanti – 04 Juni 2023

“Berkelanalah, O, Para bhikkhu, demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia. …” (Dutiyamārapāsa Sutta; Samyutta Nikaya 4.5)

Menjelang peringatan hari raya Waisak 2023, masyarakat Indonesia begitu antusias menyambut kehadiran rombongan istimewa para bhikkhu dari Thailand yang berjalan kaki ribuan kilometer dalam sebuah perjalanan spiritual menuju Candi Borobudur. Istilah bhikkhu thudong kemudian akrab di telinga masyarakat setelah perilisan berbagai berita di media massa dan media sosial yang mewarnai sepanjang perjalanan para bhikkhu tersebut. Euforia ini terasa di tiap kota yang dilewati oleh para bhikkhu ini. Masyarakat dari berbagai lapisan dan golongan berjejer di pinggir jalan untuk melihat sekaligus menyemangati 32 bhikkhu ini. Keberadaan mereka kerap menjadi simbol aksi toleransi umat beragama di Indonesia. Di tengah euforia tersebut, bagi umat Buddha di Indonesia sendiri, perjalanan bhikkhu thudong ke Borobudur menjadi momentum untuk memaknai kembali hari trisuci Waisak dan mendalami ajaran agama.

Bhikkhu Thudong dan Misi Perjalanannya

Keputusan Buddha dalam mengajarkan Dhamma menjadi titik mula yang melandasi perjalanan para muridnya untuk mengembara dan ikut menyebarkan ajarannya. Kehidupan pertapa menjadi cara hidup sangha (perkumpulan para bhikkhu) yang pada masanya sering tinggal di dalam hutan dan berpindah tempat dari satu vihara ke vihara yang lain untuk membabarkan ajaran. Sebagai guru spiritual dan figur teladan umat dalam mempraktikkan ajaran Buddha, para bhikkhu dari waktu ke waktu berusaha mengadopsi cara hidup Buddha beserta murid-muridnya. Ada tiga pondasi besar praktik Dhamma bagi para bhikkhu, yaitu taat menjalankan vinaya (aturan kebhikkhuan), praktik dhutanga (13 praktik pertapaan), dan praktik meditasi sungguh-sungguh (Khantipalo, 1986). Secara umum pelaksanaan vinaya dan meditasi menjadi praktik tidak terpisahkan bagi para bhikkhu di mana pun dan dalam tradisi apa pun—walaupun terdapat variasi perbedaan dalam pelaksanaannya. Sementara dhutanga tidak banyak dilakukan oleh para bhikkhu. Praktik pertapaan untuk melepaskan keduniawian ini membutuhkan kebulatan tekad serta kesiapan mental dan jasmani yang kuat.

Praktik dhutanga di Thailand dikenal dengan istilah thudong yang kerap dipraktikkan oleh para bhikkhu hutan. Ke-13 praktik tersebut mencakup tiga basis pembatasan utama yaitu terkait dengan pakaian, tempat tinggal, dan makanan. Para bhikkhu dapat melakukan praktik thudong ini sebagai upaya mengatasi tiga kemelekatan duniawi tersebut sekaligus ataupun salah satu di antaranya. Tujuannya untuk menghancurkan kilesa (kekotoran batin) serta menghindarkan diri dari kesombongan, keserakahan, dan kemalasan yang merupakan penghalang menuju nibbana (Devinda, 2007).

Masing-masing bhikkhu atau vihara yang melaksanakan praktik thudong memiliki tradisi dan cara tersendiri. Seperti misalnya di Thailand, para bhikkhu thudong ini punya sebutan tersendiri sesuai dengan praktik yang mereka jalankan yaitu phra thudong (bhikkhu petapa pengembara) dan phra thudong kammathan (bhikkhu petapa pengembara yang mempraktikkan meditasi) (Tiyavanich, 1997). Ada bhikkhu yang memilih untuk menyendiri di suatu tempat dan bermeditasi, ada pula yang mengunjungi guru meditasi yang biasanya berdiam jauh dari kota, atau pergi berziarah mengunjungi beberapa tempat suci (Khantipalo, 1986)—seperti yang dilakukan oleh para bhikkhu thudong dari Thailand ke Borobudur.

Bagi rombongan bhikkhu thudong dari Thailand tersebut, perjalanan ke Candi Borobudur menjelang peringatan hari Waisak merupakan bagian dari praktik asketik dan ziarah suci untuk melakukan puja di tempat suci. Bagi umat Buddha, Candi Borobudur merupakan sebuah stupa agung yang menempati posisi penting dalam sejarah penyebaran Buddha di Asia. Sebagian umat Buddha percaya bahwa di Borobudur juga terdapat sisa-sisa relik sang Buddha atau para arahat. Terlepas dari destinasi yang mereka tuju, perjalanan para bhikkhu tersebut merupakan sebuah praktik kontemplasi atau meditasi yang memerlukan kekuatan samadhi (semadi) dan juga jasmani.

Bhikkhu Thudong dan Puja Waisak Lintas Negeri

Momentum perjalanan yang berdekatan dengan hari Waisak membuat tak sedikit masyarakat dan media yang menghubungkan perjalanan bhikkhu thudong ini dengan tradisi hari trisuci tersebut. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, praktik bhikkhu thudong merupakan hal yang baru sehingga informasi dan pengetahuan terkait praktik tersebut tidak banyak. Tak terkecuali bagi umat Buddha di Indonesia. Dari survei sederhana yang saya lakukan kepada 28 umat Buddha dari berbagai usia dan kota di Indonesia, 17 responden mengaku belum mengetahui praktik bhikkhu thudong sebelum kedatangan rombongan tersebut. Yang menarik, hampir semua responden mengetahui keberadaan bhikkhu thudong tersebut melalui media sosial. Beberapa responden menghubungkan tradisi thudong sebagai praktik puja menjelang Waisak yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Ada pula yang menghubungkannya dengan tema Waisak 2023 yang menitikberatkan pada kesatuan dan persatuan bangsa serta kedamaian dunia.

Pada dasarnya tradisi thudong dan Waisak tidak memiliki keterikatan langsung. Pengembaraan thudong ke Borobudur atau tempat suci lain bukanlah ritual tahunan. Perjalanan ziarah para bhikkhu thudong dapat dilakukan kapan pun dan ke mana pun. Sementara Waisak merupakan peringatan terhadap tiga peristiwa penting bagi umat Buddha yaitu kelahiran Siddhartha, ketika petapa Gautama menjadi Buddha, dan ketika Buddha Gautama mencapai parinibbana. Waisak biasanya dilaksanakan pada purnama pertama di bulan Vaisakha. Waisak menjadi peringatan penting sebagai pengingat umat Buddha atas sifat luhur Buddha Gautama dan perjuangannya di dalam Dhamma. Karenanya, peringatan Waisak identik dengan puja atau penghormatan melalui berbagai ritual baik secara komunal ataupun individual.

Meskipun demikian, perjalanan para bhikkhu thudong dan peringatan hari trisuci Waisak memiliki nafas yang sama: sebagai upaya untuk menapaktilasi kehidupan sang Buddha dan ajaran Dhamma. Perjalanan bhikkhu thudong merupakan salah satu alternatif puja yang kerap dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan saddha (keyakinan) yang kuat. Di sisi lain, momentum kehadiran bhikkhu thudong memberikan nuansa dan semangat baru bagi umat Buddha di Indonesia dalam menyambut hari raya Waisak. Perjalanan spiritual ribuan kilometer ini tidak hanya menjadi refleksi dan inspirasi untuk kembali memaknai puja bakti Waisak, tetapi juga salah satu medium untuk semakin mengenalkan ajaran dan identitas umat Buddha di Indonesia. Di samping itu, kehadiran para bhikkhu thudong dapat mendorong pesan-pesan perdamaian dan toleransi di Indonesia yang tampak dari antusiasme organik masyarakat maupun berbagai rangkaian acara lintas agama yang melibatkan para bhikkhu ini.

Perjalanan para bhikkhu thudong ke Borobudur jelang Waisak telah menjadi momentum penting bagi umat Buddha di Indonesia. Namun, bagi para bhikkhu tersebut, antusiasme dan euforia penyambutan ini justru merupakan ujian tersendiri bagi perjalanan suci mereka. Seperti diungkapkan bhikkhu Kantadhammo, salah satu bhikkhu thudong asal Indonesia yang lama tinggal di Thailand, “Kami para bhikkhu thudong melakukan perjalanan dari Thailand, Malaysia melakukan meditasi, tetapi sampai di Indonesia terus terang sedikit sekali waktu kita untuk meditasi.” Bagaimana pun, semua hal yang terjadi selama proses perjalanan suci ini merupakan bagian dari upaya kontempelatif dan meditatif para bhikkhu. Seperti syair yang dikutip di awal tulisan ini, perjalanan bhikkhu thudong menjadi pengingat perjalanan Buddha beserta muridnya dalam mengajarkan Dhamma dengan mengembara.

Ajarkanlah, O, Para bhikkhu, Dhamma yang indah di permulaan, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata yang benar. Ungkapkanlah kehidupan suci yang lengkap dan murni sempurna. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang akan jatuh karena mereka tidak mendengarkan Dhamma. Ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma.

______________________

Candra Dvi Jayanti adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Candra lainnya di sini.

Foto tajuk di artikel ini olehNgasiran diambil dari buddhazine.com

Tags: Buddha buddhism candra dvi jayanti

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju