• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • Refleksi dari Lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman

Refleksi dari Lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman

  • Berita
  • 31 October 2017, 13.16
  • Oleh: ardhy_setyo
  • 0

Refleksi dari Lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman

Naomi Resti Anditya, Ganesh Cintika, Selma Theofani – 31 Oct 2017

Agama kerap dinarasikan sebagai sumber konflik. Sebagian besar meresponsnya dengan menganggap bahwa setiap agama benar dan untuk itu tidak perlu dibicarakan lebih jauh. Pendekatan ini berimplikasi pada kekhawatiran untuk mendialogkan agama dalam ruang-ruang publik. Upaya yang biasa dilakukan justru mengeksklusi agama dari perbincangan sehari-hari dan menempatkannya dalam ruang privat. Anggapan demikian dibantah dalam hari ketiga lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman (The Institutionalization of Interfaith Mediation) bersama Imam Ashafa, Pastor James Wuye, Ibu Deng, dan Pendeta Jacky Manuputty pada 13 Oktober 2017.

Memisahkan agama dalam dialog sehari-hari merupakan upaya yang sia-sia, jika bukan malah kontraproduktif. Agama dalam banyak kasus justru mampu menjadi penggerak perdamaian, dengan sebuah prakondisi, yaitu adanya ruang untuk membicarakan agama. Dalam kasus “Imam dan Pastor”, rekonsiliasi keduanya dimulai sejak seorang teman menyediakan ruang bagi keduanya untuk bertemu. Perjumpaan di sebuah rumah yang berjarak dengan pihak-pihak yang berkonflik membuat mereka mampu merefleksikan perbedaan dan kesenjangan yang memicu pertikaian. Berangkat dari amanat masing-masing kitab suci bahwa manusia harus memaafkan dan bahwa perdamaian itu lebih baik, sang Imam dan sang Pastor akhirnya melunturkan permusuhan di antara keduanya. 

Keberadaan sebuah ruang yang aman, nyaman, dan inklusif bagi setiap orang pernah dalam kerangka public placemaking dicetuskan oleh Jane Jacobs di tahun 1960-an. Namun, istilah public placemaking sendiri baru dipakai secara luas sejak dekade 1990-an oleh organisasi Project for Public Spaces (PPS). Secara umum, public placemaking mengampanyekan gagasan tentang menciptakan ruang bersama yang inklusif untuk seluruh warga dalam komunitas/kota. Public placemaking dimulai dengan mendengarkan kebutuhan tiap orang dalam ruang bersama lalu membicarakan gagasan dan visi bersama.

Pengalaman Pendeta Jacky di Ambon mengilustrasikan kegiatan public placemaking itu. Pascakekerasan komunal, saat komunitas Kristen dan Muslim hidup dalam segregasi wilayah dan ketiadaan kebebasan bergerak, upaya menciptakan ruang-ruang perjumpaan menjadi sangat krusial. “Ruang perjumpaan” di sini mencakup baik yang bersifat material, seperti pasar, sekolah, kafe, trotoar sebagai panggung musik, lapangan basket, pusat media, dan studio musik, maupun yang imaterial seperti blog, diskusi daring, media sosial, dan lain sebagainya. Ketika warga Kristen dan Muslim difasilitasi bertemu sebagai sesama guru, fotografer, ibu, pemuda, musisi, atau bahkan tokoh agama, mereka saling menjangkau dan melampaui trauma dan kecurigaan yang dimiliki terhadap kelompok lain.

Mereka pun secara bersemangat menangani aneka persoalan sehari-hari yang mereka hadapi: sekolah yang kekurangan guru, siswa yang tidak dapat sekolah karena direkrut menjadi kombatan, ketidaktersediaan komoditi tertentu di pasar, citra daring Maluku yang sarat kekerasan, ketiadaan akses menonton La Liga, dan sebagainya. Pengalaman menangani persoalan sehari-hari ini menjadi modal mereka untuk kemudian menangani masalah yang lebih sensitif: prasangka terhadap ajaran agama lain.

Dalam satu proyek, Pendeta Jacky mengumpulkan para tokoh agama lalu menunjukkan data mengenai lingkungan yang rusak akibat konflik. Guna membenahi masalah yang ada, Pendeta Jacky meminta tokoh agama menyampaikan persoalan lingkungan ini ke komunitas masing-masing. Pertemuan antar tokoh agama yang makin intens dalam membicarakan lingkungan membuat mereka semakin dekat satu sama lain. Secara bertahap, para tokoh agama terbuka untuk membahas berbagai hal selain lingkungan. Keakraban antartokoh agama ini dibawa kepada jemaatnya masing-masing. Jemaat mulai mencontoh pemimpinnya, mengingat kembali persaudaraan mereka, juga melandasinya dengan nilai-nilai perdamaian dari kitab suci mereka.

Cerita dari Pendeta Jacky sebetulnya memberi catatan penting tentang pendekatan agama dalam konflik. Penanganan isu sehari-hari, seperti lingkungan, kesehatan, korupsi, dan pendidikan perlu melibatkan institusi agama. Ketika tokoh-tokoh agama biasa bekerja sama menangani masalah sehari-hari, mereka akan punya modal kuat bekerja sama ketika ketegangan antarkelompok agama muncul. Pertama, mereka punya tingkat kepercayaan satu sama lain yang cukup untuk bekerja sama. Kedua, mereka punya legitimasi dan integritas di mata komunitas, sehingga dapat diterima sebagai mediator.

Gagasan tersebut sejalan dengan paparan Ihsan Ali Fauzi bahwa agama bisa bersifat ambivalen: satu sisi dapat memicu konflik, di sisi lain menggerakkan perdamaian pula. Dengan demikian, agensi perlu ada guna menggerakkan upaya-upaya perdamaian itu. Tokoh-tokoh agama perlu dirangkul sebagai kawan, alih-alih dieksklusi seumpama sumber persoalan. Agama harus kembali merevitalisasi agensi dan ajaran-ajarannya yang membawa para pemeluknya menuju rekonsiliasi dan perdamaian alih-alih kekerasan. Melalui pengalaman dari Ambon dan Nigeria, kita melihat bahwa tokoh-tokoh agama sebagai aktor akar rumput memiliki peran krusial dalam menyatukan jemaatnya dan meredakan luka-luka masyarakat pascakonflik. Negara tentu butuh mengintervensi, tetapi tokoh-tokoh agama dan agama itu sendiri harus masuk membangun sendi-sendi kehidupan sosial yang retak karena konflik. Agama tidak lagi boleh diam. Ia harus menyuarakan dan menggerakkan perdamaian.

*Naomi Resti Anditya, Ganesh Cintika, dan Selma Theofani adalah asisten riset di Institute of International Studies (IIS), Departemen Ilmu Hubungan Internasional, UGM.
______________________
Seri Liputan Kuliah Umum “Imam dan Pastor” dan Lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman

Liputan 1: Dari Kuliah Umum “Imam dan Pastor”: Agama Menggerakkan Perdamaian

Liputan 2: Institutionalizing Interfaith Mediation: What, Why and How?
(Terjemah Indonesia: Pelembagaan Mediasi Antariman: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?)

Liputan 3: Pelembagaan Binadamai dalam Pengalaman Mindanao

Liputan 4: Pelembagaan Binadamai dalam Pengalaman Maluku

Liputan 5: Refleksi dari Lokakarya Pelembagaan Mediasi Antariman

Tags: imam & pastor

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY