Berbicara tentang negara Islam, ada banyak interpretasi terhadap konsep tersebut. Salem Gandhour sebagai pembicara pada Wednesday Forum, 13 April 2009, mengatakan bahwa pemikiran tentang negara Islam dengan merujuk pada Qur’an and Hadis adalah pemikiran yang terbatas. Nabi Muhammad sendiri pada massanya tidak mengklaim mendirikan negara Islam. Pemikiran yang terbatas itu lebih banyak dipengaruhi oleh negeri Arab, khususnya dimotori oleh para Imam dari Al-Azhar, Mesir.
Untuk menunjukkan perbedaan interpretasi yang beragam terhadap negara Islam, di awal diskusi Salem melemparkan pertanyaan kepada dua peserta mengenai apa itu negara Islam. Peserta pertama menjawab bahwa negara Islam adalah negara yang harus memberlakukan hukum Islam dalam sistem kenegaraannya. Indonesia secara substansial adalah negara Islam, tegasnya. Sedangkan peserta kedua, ia lebih menonjolkan sisi pemerintahan yang mendominasi keberagaman yang ada di bawah kekuasaan negara Islam.
Menurut Salem, ketika kita menjelaskan apa itu negara Islam, kebanyakan dari kita menggunakan lensa demokrasi Barat. Padahal hal tersebut berbeda sama sekali. Selain itu, apabila kita hanya merujuk pada kedua hukum Islam, yakni Qur’an dan Hadis, itu merupakan pemikiran yang terbatas. Kedua hukum Islam itu hanya mencakup konteks 1400 tahun lalu, dan mereka tidak membicarakan hal-hal spesifik seperti yang kita alami pada saat ini.
Meskipun demikian, Salem mempertimbangkan tiga interpretasi religius yang dianggap bersentuhan dengan konsep negara Islam, yakni ijthisan, ijtihad, jihad. Pada umumnya interpretasi tersebut membicarakan bagaimana mempertimbangkan dan membantu kehidupan masyarakat.
Terkait dengan kehidupan Muslim di Amerika, Salem mengangkat isu “Rejectionism” yang popular di kalangan Muslim Amerika. Ide dasarnya adalah penolakan terhadap dominasi pemikiran al-Azhar di Amerika karena dianggap tidak sesuai dengan konteks Muslim di Amerika. Para imam tersebut lebih menekankan tradisi-tradisi Arabik yang diklaim sebagai tradisi Islam. Fenomena kehidupan pemuda Muslim di Amerika turut menjadi alasan hadirnya Rejectionism. Mereka membutuhkan pendekatan khusus daripada sekedar mengedepankan tradisi.
Dari latar belakang inilah, komunitas Muslim di Amerika, khususnya para imam dan intelektualnya, lebih mengutamakan spritualitas Islam daripada tradisi-tradisi yang telah didominasi kehidupan negeri Arab. Hal ini yang terpenting, tegas Salem. Terkait dengan itu pula, ide tentang negara Islam juga bukanlah suatu persoalan yang mendasar di sana.
Di akhir presentasinya, Salem menunjukkan sebuah buku berjudul “Islamic State” karya Now Feldmen. Menurut Salem, penulis menunjukkan bahwa ide untuk memiliki negara Islam merupakan suatu mitos yang destruktif. Telah banyak darah yang tumpah untuk menerapkan ide tersebut. Salem menambahkan, Nabi sendiri pada masanya tidak mengklaim mendirikan negara Islam, Ia respek terhadap aturan dan keberagaman yang ada. Inilah yang seharusnya kita lakukan dan sekaligus mempertanyakan kebutuhan negara Islam itu saat ini.
Kehidupan Muslim di Amerika dan pandangan Salem tentang negara Islam tadi menunjukkan adanya self-criticism di kalangan umat Muslim. Hal ini sekaligus menjadi pembelajaran bagi komunitas Muslim di negara lainnya yang memiliki konteks dan tanggung jawab sosial yang berbeda dari komunitas Arab yang cenderung homogen. Di Indonesia misalnya, dengan kepelbagaian yang ada apakah konsep itu menjadi sesuatu yang mendesak dan dibutuhkan? Tentunya kita bisa menebak ragam jawaban yang akan diberikan. So what?
(JMI)