Sumanto Al Qurtuby saat menjawab pertanyaan salah seorang peserta Wednesday Forum |
Minggu 11 September 2011, Ambon kembali bergolak. Mengingatkan memori kita pada tragedi yang lebih besar pada Januari 1999 silam. Beberapa kajian akademis sebenarnya telah dilakukan untuk mengungkap akar persoalan Ambon. Kebanyakan para peneliti asing memokuskan diri pada aspek sosial, politik, dan ekonomi. Mereka berpandangan persaingan dagang, akses birokrasi dan perebutan lahan menjadi penyebab dari pertikaian yang terjadi di Ambon. Padahal, keberadaan dua komunitas (Muslim versus Nasrani) mengindikasikan kuatnya peran agama dalam konflik tersebut.
Memang sulit untuk menjawab apakah konflik Ambon adalah konflik agama atau agama hanya satu dari sekian banyak faktor pemicu. Tapi satu hal terang berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumanto Al Qurtuby, 90-an% responden yang ditanyanya seputar tradegi Ambon pada tahun 1999, baik dari kalangan Muslim atau kalangan Nasrani, mengatakan apa yang mereka lakukan saat itu adalah upaya membela agama. Hal ini merupakan salah satu temuan yang diungkap dalam disertasi yang sedang dikerjakan Sumanto di program doktoral bidang Antropologi Boston University USA. Disertasinya mencoba mengambil posisi berbeda dari kajian-kajian akademis yang telah ada.
CRCS-ICRS beruntung bisa menghadirkan Sumanto untuk berbagi pengalaman dan temuan terkait tradegi Ambon dalam kesempatan Wednesday Forum di Ruang 306 Gedung Lengkung Sekolah Pascasarjana UGM Rabu 17 Desember 2011 kemarin. Argumen bahwa konflik Ambon sangat kental dengan motif agama semakin diperkuat oleh pernyataan pemimpin Muslim Jihadist dan Christian Fighter yang mengatakan konflik Ambon adalah perang agama.
Awalnya, perang antara komunitas Muslim dan Kristen di Ambon hanyalah peristiwa lokal yang melibatkan masyarakat setempat. Pertikaian meletus pada Januari 1999. Sementara sekitar 2.000 orang dipimpin langsung oleh Ustadz Ja’far Umar Thalib baru datang pada bulan Mei 1999. Orang banyak melupakan figur-figur lokal dan kelompok-kelompok militan lokal yang telah eksis sebelum kedatanganan Laskar Jihad.
Sumanto berpendapat, harapan besar yang disandangkan banyak orang kepada civil society hanyalah ilusi romatik. Memang civil society bisa menjadi penggerak rekonsiliasi, tetapi kita tidak bisa melupakan sisi “uncivic” civil society. Hal ini tampak jelas pada keberadaan organisasi-organisasi penyebar kebencian terhadap pihak atau kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Oleh karena itu, membiarkan masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri tidak selalu berjalan efektif. Di titik ini Sumanto menilai kolaborasi pemimpin agama dengan pemerintah sangat signifikan untuk resolusi perdamaian. Bukan sekedar melakukan recorvery di bidang ekonomi, politik dan sosial tetapi harus melangkah lebih jauh, menelisik situasi kultural dan hubungan antar agama serta dipadu dengan penghadiran keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Said,salah seorang peserta wed forum yang menjadi saksi sekaligus pelaku dalam tradegi 1999 mengungkapkan kearifan lokal seperti “Pela Gandong” yang dimiliki warga Maluku tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan. Karena ada faktor sejarah yang disitir oleh Prof. Anthony Reid bahwa balapan agama di Ambon merupakan persaingan lama peninggalan kolonial.
Menimpali pernyataan Said, Sumanto mengutip tesis Thomas Hobbes, konflik adalah sifat natural manusia. Dimana-mana konflik itu pasti ada, tidak saja di Ambon. Menghilangkan konflik merupakan kemustahilan. Yang bisa dilakukan hanyalah meredam konflik agar tidak bergerak menuju bandul kekerasan.(ANG)