• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Resistansi Adat Marapu Melawan Kuasa Korporasi dan Sekularisasi Tanah

Resistansi Adat Marapu Melawan Kuasa Korporasi dan Sekularisasi Tanah

  • Perspective
  • 23 June 2021, 08.33
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Resistansi Adat Marapu Melawan Kuasa Korporasi dan Sekularisasi Tanah

Krisharyanto Umbu Deta – 23 Juni 2021

 

Kuasa Korporasi dan Perspektif Modern mengenai Tanah

Sebagai bagian dari program Swasembada Gula Nasional 2024, pemerintah berencana membuka 500.000 hektar lahan untuk perkebunan tebu. Salah satunya di Sumba Timur. Namun, persoalan muncul ketika puluhan ribu hektar lahan perkebunan tersebut merangsek tanah adat dari masyarakat Marapu. Proyek yang telah mendapat izin dari pemerintah daerah dan pusat ini telah menyebabkan kerusakan pada beberapa tempat ritual (katoda) milik masyarakat adat Marapu. Pembuatan embung untuk memenuhi kebutuhan air yang masif di perkebunan tebu juga ditengarai telah memperparah kekeringan di daerah sekitarnya. Di sisi lain, kriminalisasi terhadap beberapa masyarakat adat yang berusaha untuk mengakses tanah adat mereka ikut mewarnai konflik ini.

Selain itu, seperti diberitakan oleh Tempo, klaim kepemilikan tanah adat tersebut dilakukan dengan pembayaran informal manipulatif melalui uang sirih-pinang yang diberikan kepada beberapa masyarakat adat. Uang tersebut dianggap menjadi tanda penyerahan lahan adat kepada korporasi. Padahal, sirih-pinang bagi orang Sumba bukanlah sebuah simbol transaksional melainkan sebuah simbol kultural untuk menunjukan sebuah sikap menghargai. Setiap bertamu, sirih-pinang akan menjadi suguhan pertama yang menandakan keramahtamahan. Sementara itu, telah terbangun narasi di publik bahwa tanah tersebut merupakan lahan kering berbatu yang disebabkan pendeknya curah hujan. Alih-alih menyia-nyiakan, perusahaan dengan teknologi modernnya akan membuat tanah tersebut menjadi lebih produktif dan menguntungkan demi kepentingan nasional (pemerintah pusat) akan swasembada gula dan kepentingan daerah akan pertumbuhan ekonomi. Dalam posisi demikian, masyarakat Marapu yang telah dicerabut hubungannya dengan tanah mereka harus berhadapan langsung dengan koalisi korporasi dan pemerintah sekaligus masyarakat yang mendukung proyek tersebut. Dengan kata lain, pandangan dunia religius masyarakat Marapu tentang tanah dibenturkan dengan perspektif masyarakat yang sudah tersekularisasi (secularized perspective), yang melihat tanah sejauh itu memberikan keuntungan finansial.

Beberapa Konsep Teoritis

Ada beberapa perspektif akademis yang dapat digunakan untuk memahami persoalan ini. Pertama, konsep paradigma agama leluhur dari Samsul Maarif yang memberi sebuah sudut pandang lebih adil bagi agama leluhur. Paradigma agama leluhur menekankan sebuah kosmologi intersubjektif di mana relasi antara subyek manusia dan non-manusia dilihat sebagai sebuah relasi antarsubjek. Manusia dan alam tidak dilihat dalam kerangka subyek-obyek yang mana manusia dominan atas alam. Dalam interelasi tersebut, subjek saling memelihara komitmen timbal-balik, etis, dan tanggung jawab yang mengimplikasikan dampak dari tindakan setiap subjek terhadap subjek lain dan dirinya sendiri.

Kedua, perspektif Nasr mengenai pentingnya (kebutuhan akan) sebuah pandangan-dunia religius dalam merespons isu ekologi. Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa alam telah diprofanisasi sehingga kehilangan kesakralannya. Dengan demikian, kosmos telah kehilangan makna spiritualnya. Inilah yang dimaksud dengan pandangan-dunia yang telah tersekularisasi.

Ketiga, kritik Bruno Latour terhadap sains dan modernitas. Diskursus Latour ini sangat penting dalam membedah berbagai pandangan-dunia yang telah tersekularisasi tersebut dalam melihat lingkungan. Baginya, distingsi antara natur (alam) dan kultur (manusia) mesti didekonstruksi dengan melihat kembali secara kritis ide modernitas yang telah membentuk cara berpikir yang tidak utuh (separation). Modernisasi membuat manusia percaya seolah-seolah segala sesuatu itu terpisah, sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam telah dipisahkan. Untuk itu, ia menawarkan ekologisasi yang menekankan kolektivitas atau keterhubungan antara manusia dan alam yang menampilkan sebuah semangat desentralisasi (decentering) untuk meruntuhkan antroposentrisme tanpa obsesi berlebih pada sentrisme apa pun.

Keempat, argumentasi Michael S. Northcott mengenai signifikansi agama leluhur dalam preservasi tanah memberi sebuah perspektif penting untuk memahami agama leluhur sebagai sumber resistansi yang vital terhadap degradasi alam demi pemulihan lingkungan. Menurutnya, model relasi polisentris, yang juga dapat dibaca sebagai model intersubjektif dan semangat decentering, dari masyarakat adat telah menghasilkan ketahanan biodiversitas dan resiliensi ekosistem. Rekam jejak dimensi ekologis masyarakat adat terbukti lebih baik dibanding masyarakat modern dari segi perspektif maupun praktik. Data yang dihimpun oleh National Geographic Society menunjukkan  bahwa masyarakat adat yang hanya terdiri dari 5% populasi global telah melindungi 80% dari diversitas global. Namun demikian, Northcott melihat kemitraan modern dari negara dan korporasi kapitalis sebagai tantangan terbesar dalam isu ini.

Resistensi dan Pandangan Dunia Religius Marapu

Dalam kerangka pikir yang demikian, resistensi komunitas Marapu perlu dilihat sebagai bagian integral dari religiusitas dan identitas mereka. Mempertahankan tanah, apalagi dari tindakan destruktif, merupakan bagian dari komitmen religius agama leluhur sebagaimana yang diungkapkan Maarif; timbal-balik, etis, dan tanggung jawab. Dalam kosmologi Marapu misalnya, sebagaimana diulas oleh Marcos, tanah (tana) dilihat sebagai pusat dari kosmos. Namun, yang mereka maksud sebagai tana bukan hanya tanah, melainkan kesatuan ekosistem yang meliputi semua makhluk di atasnya. Bagi penganut Marapu, tanah merupakan sumber kehidupan dan berbagai peristiwa di atasnya merupakan konsekuensi dari hubungan manusia (tau) dan Marapu yang termanifestasi dalam relasi mereka dengan alam. Dengan demikian, keyakinan ini mendorong mereka untuk memperlakukan alam dengan bijaksana.

Dalam merespons fenomena ekologis seperti kekeringan dan tanah berbatu, yang menjadi salah satu alat justifikasi kehadiran korporasi, Palekahelu menemukan bahwa komunitas Marapu memiliki daya ulet yang kuat melalui sistem pertanian yang berbasis ritual (hamayangu) dan komunalitas (pawandang). Ritual menjadi penting sebagai momen merawat komitmen religius mereka dan seperangkat sistem kepercayaan mereka yang meliputi mitologi dan tradisi oral lainnya. Sementara itu, pawandang menjadi basis ketahanan komunitas dalam menghadapi situasi ekologis setempat. Aktivitas pertanian dilakukan secara komunal, mulai dari penyiapan lahan, proses tanam, perawatan, hingga panen. Cara ini membantu komunitas dalam menghadapi persoalan keterbatasan pangan karena cadangan makanan hasil pertanian mereka dimiliki secara komunal di mana setiap orang mempunyai akses yang setara sehingga tidak ada ketimpangan sebagaimana yang terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat modern. Karakteristik tanah yang berbatu bahkan digunakan untuk kepentingan semua makhluk. Ada beberapa batu yang mereka sebut sebagai way kulup digunakan sebagai penampung air untuk dimanfaatkan baik oleh manusia maupun hewan.

Melalui perspektif Nasr, pandangan-dunia religius Marapu dapat menjadi garis terdepan dalam preservasi lingkungan dan proteksi terhadap pandangan-dunia yang tak tersekularisasi (non-secularized worldview). Komunitas Marapu dalam hal ini tidak menghilangkan kesakralan atau dimensi kultural-religius dari alam. Sementara itu, perspektif Latour menunjukan dengan jelas bagaimana sains dan modernitas telah memutus relasi manusia dan alam sehingga mengancam masa depan dari lingkungan itu sendiri. Pada saat yang sama, komunitas Marapu justru sedang berusaha untuk mempertahankan keterikatan mereka dengan alam dengan kesadaran bahwa kesejahteraan hidup (well-being) mereka tergantung pada kesejahteraan tana atau alam mereka. Dengan pandangan religius-ekologis yang demikian, argumentasi Northcott mengenai signifikansi agama leluhur dan masyarakat adat dalam percakapan ekologi mesti diperhitungkan sehingga diskriminasi terhadap mereka perlu dihentikan. Dengan memberi ruang kepada masyarakat adat, agama leluhur akan dapat berkontribusi banyak pada persoalan bersama seperti krisis lingkungan. Mereka yang dianggap paling primitif dan terisolasi nyatanya justru berkontribusi besar dalam isu global yang paling terkini.

______________________

Krisharyanto Umbu Deta adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Umbu lainnya di sini.

Tags: krisharyanto umbu deta

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju