Sebelum Literalisme: Bagaimana Kitab Suci Dibaca?
Tarmizi Abbas – 27 Okt 2019
Aksi kekerasan atas nama agama muncul antara lain akibat pembacaan literal terhadap kitab suci. Ambil contoh, misalnya, potongan ayat seperti “bunuhlah mereka (kaum musyrik), di mana saja kamu jumpai mereka”(QS 2:191). Ayat ini menyasar kaum pagan harby (yang bersikeras dan agresif memerangi kaum Muslim di masa hidup Nabi Muhammad), dan belakangan digunakan sebagian teroris untuk membenarkan tindakan mereka memerangi umat agama lain. Misal lain, sebuah gerakan ‘rekonstruksionis’ Protestan di Amerika yang mengidam-idamkan purifikasi ajaran Kristen dan penerapan seluruh ajaran Alkitab dalam kehidupan sehari-hari menggunakan Kitab Kejadian 19: 1-19 untuk mengampanyekan hukuman mati bagi kaum homoseksual.
Dalam konteks demikian itu, buku terbaru Karen Armstrong The Lost Art of Scripture (Vintage Publishing, 2019) menemukan relevansi. Bagi Armstrong, pembacaan literal disebabkan oleh apa yang disebutnya dengan dominasi left hemisphere (belahan kiri) dalam memahami makna dan fungsi kitab suci, yakni pembacaan yang atomistik, harfiah, dan cenderung menyerap kandungan hukumnya saja. Sementara dalam catatan sejarah, menurut Armstrong, kitab suci dulu cenderung lebih dibaca secara imajinatif, intuitif, dan holistik menggunakan right hemisphere (belahan kanan). Dalam pembacaan ‘belahan kanan’, alih-alih sebagai kumpulan seperangkat instruksi, kitab suci lebih banyak berfungsi untuk memicu pengalaman iman yang sakral dan perjumpaan dengan wujud ‘Yang Transenden’.
Dalam mengajukan pandangan itu, Armstrong antara lain melacak sejarah tentang bagaimana dulu awal kitab suci dibaca. Tesis yang bisa diserap dari buku Armstrong itu antara lain ialah bahwa cara baca literal terhadap kitab suci merupakan fenomena yang baru lahir belakangan. Bahkan, lebih jauh, konsep kitab suci sebagai ‘teks’ yang tertulis juga tidak lahir sejak awal mula ajaran agama ditransmisikan.
Kitab suci sebelum ‘tertulis’
Dulu orang-orang beriman membaca ajaran dalam ‘kitab suci’ bukan sebagai panduan harfiah, dan cerita-cerita di dalamnya tidak dipahami sebagai ‘fakta sejarah’ sebagaimana cara baca orang modern kini. Cerita-cerita dalam ‘kitab suci’ lebih dipahami makna metaforisnya dan pesannya diserap bukan dari makna literal ayat-ayat di dalamnya.
Dalam tradisi salah satu bentuk keagamaan paling purba dalam sejarah peradaban manusia, seperti di Mesopotamia misalnya, sebelum terkompilasi dalam sebuah korpus, kitab suci lebih berisi kumpulan kebijaksanaan, puisi, nyanyian terhadap para dewa dan panduan laku keseharian. Kisah Adam dan Hawa serta Wiracarita Gilgames, misalnya, sebagai dua cerita utama yang memiliki pengaruh besar bagi masyarakat Mesopotamia, lebih dipahami sebagai mengandung pesan moral ketimbang sejarah tentang muasal manusia. Kisah kejatuhan Adam dan Hawa ke bumi tidak menggunakan pakaian dipahami sebagai akibat dari pelanggaran terhadap perintah Tuhan, sedangkan Wiracarita Gilgames mengilhami masyarakat Sumeria awal untuk mengembangkan teknologi agrikultur di dataran Sungai Eufrat dan Tigris sekitar tahun 2000 SM. Apakah cerita-cerita ini merupakan kisah faktual bukanlah pertanyaan sentral dalam wacana penafsiran masyarakat Mesopotamia awal.
Di China, kitab suci malah baru muncul belakangan guna merekam ajaran daois, yang sebelumnya telah menjadi laku hidup di masyarakat. Dengan kata lain, bukan kitab sucilah yang primer, melainkan praktik hidup itulah yang utama, yang baru kemudian dibukukan menjadi kitab suci. Liji misalnya, adalah salah satu kitab klasik yang berisi instruksi praktis-ritual bagi orang-orang China di sekitar akhir abad 4 SM. Di India, sebelum Rig Veda terkompilasi menjadi kitab suci ‘resmi’ agama ‘Hindu’, syair-syairnya dinyanyikan sebagai puja-puji terhadap dewa Indra.
Di Mesir abad 2 SM, mitos berfungsi memberikan landasaran moral dalam hidup komunal. Orang-orang Mesir menyebutnya Maat, yang kurang lebih berisi ajaran seperti yang kita kenal kini dengan “aturan emas” (the golden rule), yakni agar manusia memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin dirinya diperlakukan. Maat menjadi ajaran yang primer bagi laku hidup sehari-hari sebelum ada kitab suci tertulis. Sementara di masyarakat Yahudi, Taurat yang belakangan digunakan untuk menjustifikasi kepemilikan tanah suci Yerussalem, dulunya lebih banyak berfungsi sebagai pemberi makna kehidupan masyarakat Yahudi di bumi dan pengingat akan janji mereka untuk tak melupakan Tuhan.
Dengan penulusuran sejarahnya, Armstrong hendak menyampaikan bahwa dalam praktik keagamaan mula-mula, tradisi orallah yang primer. Tradisi ini mengandung cerita-cerita yang berisi pesan tentang makna eksistensial kehidupan mereka yang terikat pada Yang Transenden. Tradisi ini sudah hidup sebelum muncul konsep mengenai kitab suci sebagai ‘teks tertulis’ perekam wahyu dari Tuhan, apalagi panduan baku untuk membacanya.
Kitab suci ketika mulai ditulis
Seturut berkembangnya tradisi menulis, ‘proyek’ penulisan kitab suci dimulai dengan beragam alasan, seperti kebutuhan untuk mentransmisikan ajaran agama dengan medium yang lebih permanen; untuk membakukan identitas komunal tertentu ketika berjumpa dengan tradisi keagamaan yang berbeda; atau untuk memudahkan penguasa mengatur masyarakatnya.
Dua bentuk Upanishad awal seperti Chandogya yang berasal dari wilayah Kuru-Panchala dan Brhadaranyaka dari kerajaan Videha, misalnya, adalah kompilasi ritual Vedantik. Keduanya mulai ditulis, mungkin dengan alasan ‘pembakuan’ ajaran, karena di era ekspansi bangsa Arya bertemu dengan orang-orang lokal di belahan India lain yang tradisinya berbeda dari yang biasa mereka praktikkan.
Sejarah kemudian mencatat bahwa setelah kitab suci menjadi teks tertulis, pada awalnya hanya laki-laki yang berasal dari keluarga aristokrat yang bisa mendalami makna kitab suci. Artinya, kajian terhadap kitab suci pada mulanya adalah kajian para elit, bukan kajian untuk masyarakat beragama secara umum. Pada mulanya, tidak ada satu pun perempuan atau laki-laki dari ras rendahan yang bisa mempelajari dan menuliskan kitab suci. Selain itu, tradisi kepenulisan ini juga bertalian erat dengan relasi kuasa. Ini sebabnya mengapa di India, para resi pernah melakukan perlawanan keras terhadap proyek pengumpulan dan penulisan kitab suci. Bagi mereka, menyalin puisi dan syair-syair Vedanta ke dalam tulisan sama berdosanya dengan memakan daging, melihat darah, dan melakukan seks. Alhasil, syair-syair dalam Vedanta tetap senantiasa diajarkan lewat oral secara turun-temurun. Ketika kolonialisasi Eropa dimulai pada awal abad 18-19 di India, keberadaan kitab suci umat Hindu dipertanyakan, sebagai syarat agar tradisi mereka layak disebut ‘agama’. Menghadapi pertanyaan ini, kaum Brahman dulu menyatakan dengan tegas, “Veda adalah bagian dari ritual keagamaan, bukan sebuah buku!”
Hanya saja, dari penulusuran sejarah penulisan kitab suci, Armstrong menyatakan bahwa barangkali hanya al-Quranlah yang menyatakan sedari awal secara sadar bahwa dirinya adalah ‘kitab suci’. Armstrong menyebut bahwa al-Quran sebagai kitab suci hendak menyampaikan bentuk ajaran yang berbeda dari ajaran ‘tertulis’ dalam Taurat milik umat Yahudi dan Alkitab milik umat Kristiani. Konteks lahir Islam di tengah-tengah tradisi keagamaan yang telah ‘mapan’ dengan kitab suci tertulis membuat kitab suci Islam sadar akan perlunya identifikasi diri, dan dengan demikian membuat Islam sebagai agama yang relatif ter-‘reifikasi’ sejak kelahirannya. Namun demikian, Armstrong tetap berpandangan, pada mulanya sebelum mazhab-mazhab teologi dan hukum Islam terkristalisasi, kitab suci al-Quran tidak dibaca sebagaimana orang-orang modern kini membaca konstitusi.
Setelah kitab suci tertulis
Di era modern, ketika kitab suci telah dinyatakan ‘baku’, orang-orang cenderung membacanya layaknya membaca pasal-pasal dalam undang-undang. Setelah kitab suci dibakukan, tekslah yang menjadi primer dan, lebih dari itu, jika fungsi awalnya merupakan sarana pengaktif imajinasi akan Yang Transenden, kitab suci menjadi ‘sumber hukum’ dan cerita-cerita di dalamnya dibaca sebagai suatu narasi sejarah yang harus dipertanyakan faktualitasnya.
Bentuk pembacaan terhadap kitab suci sebagai ‘sumber hukum’ itulah yang disebut Amrstrong sebagai pembacaan yang didominasi ‘belahan kiri’. Yang ditangkap melalui ‘belahan kiri’, bagi Armstrong, cenderung merupakan informasi yang atomistik dan selektif, sebagai kontras dari pembacaan ala ‘belahan kanan’ yang menghendaki gambaran holistik dan intuitif dari setiap objek yang ingin dicerapnya. Armstrong tampak hendak mengatakan bahwa pengalaman yang sakral akan Yang Transenden hanya akan didapat jika kitab suci dibaca dengan ‘belahan kanan’ itu, sebagaimana dulu ketika kitab suci masih berupa tradisi oral, dan masyarakat beriman membacanya laksana puisi, alih-alih undang-undang.
Namun demikian, saya berpandangan, gagasan Armstrong masih mengawang di ranah abstraksi dan kekurangan detail praktis di level metodologi. Kita bisa memaklumi bahwa buku Armstrong itu boleh jadi hanya ingin fokus pada sejarah kitab suci, bukan teologi dan hermeneutika. Bukunya bermanfaat untuk menyadarkan umat beragama bahwa pembacaan literal-atomistik bukanlah cara baca yang tepat terhadap kitab suci. Pun begitu, saya membayangkan, tuntutan orang modern belum bisa terpuaskan setelah membaca buku Armstrong itu: bagaimana praktisnya penggunaan ‘belahan kanan’ di dalam membaca kitab suci, misalnya ketika berhadapan dengan ayat-ayat yang kerap dikutip untuk menjustifikasi kekerasan, sebagaimana yang disitir di awal tulisan ini?
____________________
Tarmizi “Arief” Abbas adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Arief lainnya: Agama (Religion) sebagai Konstruksi Modern