• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Event report
  • Sehari bersama Ari Gordon: Mengenal Yahudi dan Yudaisme

Sehari bersama Ari Gordon: Mengenal Yahudi dan Yudaisme

  • Event report, News, News
  • 25 May 2023, 17.24
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Sehari bersama Ari Gordon: Mengenal Yahudi dan Yudaisme

Vikry Reinaldo Paais – 25 Mei 2023

Apa itu Yahudi (Jewish), apa itu Yudaisme (Judaism), apa itu Israel? Masih banyak orang awam, bahkan akademisi, yang salah kaprah terhadap istilah-istilah tersebut. Yahudi cenderung diasosiasikan dengan sebuah agama sekaligus suku bangsa, bahkan negara dalam konteks modern. Secara terminologi, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Yahudi merujuk pada suku, etnis, atau kelompok masyarakat; sedangkan Yudaisme adalah nama agama yang dipeluk oleh mayoritas orang Yahudi. Sementara, Israel adalah nama negara di kawasan Timur Tengah yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 14 Mei 1949 dan memiliki penduduk dengan suku yang beragam (tidak hanya dari etnis Yahudi, tetapi juga Arab, Druze, hingga suku-suku dari Afrika) dan agama yang bermacam pula (Yudaisme 73,6%, Islam 18,1%, Kristen 1,9%, dll.).

Memahami perbedaan dari ketiga istilah dan entitas tersebut sangat penting di Indonesia. Banyak konspirasi dan isu terkait politik, ekonomi, dan agama yang mengatasnamakan Yahudi. Salah satu narasi yang sering muncul ialah orang Yahudi merupakan pengatur ekonomi dunia dan biang dari segala ketidakadilan terhadap Islam—utamanya dalam kasus Palestina. Teori konspirasi tersebut begitu mengakar sehingga muncul doktrinasi di sebagian kalangan umat Islam Indonesia untuk menghindari konsumsi produk yang diklaim milik Yahudi. Pada akhirnya, berbagai macam konspirasi dan stigma tersebut bermuara pada paham antisemistisme yang menumbuhkan kebencian terhadap apa pun yang terkait dengan Yahudi dan Yudaisme.

Becermin dari fenomena ini, lokakarya bertajuk “Jews and Judaism: Understanding a World Religion in History and Today” yang diselenggarakan oleh CRCS UGM dan ICRS pada Minggu, 7 Mei 2023 ini menjadi kontekstual dan penting. Dalam lokakarya ini, Dr. Ari Gordon, seorang Yahudi berkebangsaan Amerika, menguraikan secara singkat dan padat karakteristik dan serba-serbi Yahudi dan Yudaisme. Saat ini Ari Gordon menjabat sebagai Direktur Hubungan Muslim-Yahudi, American Jewish Committee (AJC), sebuah organisasi yang mengupayakan hubungan muslim-Yahudi yang kuat dan produktif sekaligus memerangi antisemitisme, fundamentalisme, dan ekstremisme.

Doktrin Monoteisme dan Eksistensi Manusia

Gordon memulai lokakarya dengan menandaskan kisah penciptaan dunia dalam tradisi Yahudi. Tradisi penciptaan semesta dalam 6 hari ini serupa dengan kepercayaan Kristen yang tertulis dalam kitab Kejadian. Yahudi mengakui bahwa dunia serta isinya diciptakan oleh Tuhan yang satu. Gagasan inilah yang mengawali sekaligus menjadi akar konsep monoteisme. Bagi Gordon, konsep “Tuhan yang satu” melambangkan suatu kestabilan. Semua ciptaan akan tunduk hanya di bawah satu kuasa atau satu hakikat yang dipercaya sebagai Yang Awal dan Yang Akhir—dalam tradisi Yunani disebut Alfa dan Omega. Artinya, Tuhan yang satu itulah yang bekerja pada masa lalu dan akan terus bekerja hingga masa yang akan datang.

Memahami keberadaan manusia dalam monoteisme berarti mengakui bahwa diri manusia sebagai salah satu dari sekian banyak ciptaan yang menempati bumi. Singkatnya, Tuhan itu satu (mono) tetapi ciptaan-Nya beragam (multi). Namun, jika ditelisik kembali pada kisah penciptaan, orang akan bertanya, “Mengapa Tuhan hanya menciptakan manusia (Adam) seorang diri? Bukankah itu antitesis terhadap multikreasi?” Menurut Gordon, kisah tersebut mengajarkan kita bahwa siapa pun yang menghancurkan satu jiwa, sama saja dengan ia menghancurkan seluruh dunia; dan, sebaliknya, siapa yang menjaga satu jiwa, sama dengan ia menjaga seluruh dunia. Hakikatnya terletak pada martabat manusia. Keberadaan Adam sebagai muasal manusia juga menjadi peringatan agar tidak seorang pun dengan arogan membandingkan satu dengan yang lainnya. Yang ditekankan bukanlah komparasi siapa yang lebih baik, melainkan pada kesetaraan dan kestabilan.

Hubungan antara Tuhan dan manusia tidak berhenti ketika manusia sudah diciptakan dan ditempatkan di Taman Eden. Lebih jauh lagi, Yudaisme mengakui adanya perjanjian yang dibangun antara tuhan dan manusia. Perjanjian itu adalah larangan untuk mengonsumsi salah satu buah dari pohon yang terletak di tengah-tengah taman. Pohon tersebut dikenal sebagai Pohon Pengetahuan yang Baik dan yang Jahat. Konsekuensi dari larangan tersebut adalah “kematian”. Sayangnya, manusia melanggar perjanjian tersebut dan seketika itu pula manusia menyadari bahwa dirinya telanjang. Tuhan, sebagai pencipta, berjalan di tengah taman untuk mencari manusia dan berseru, “Di manakah Engkau?” Dalam perspektif tertentu, kisah ini bisa ditafsirkan bahwa Tuhan tidak tahu di mana manusia berada, padahal Ia Maha Tahu. Justru, menurut Gordon, kisah ini menegaskan relasi antara Tuhan dan Manusia yang bersifat mutual. Banyak teori agama dimulai dengan realitas pencarian manusia terhadap Tuhan seolah Tuhan itu diam dan manusialah yang mencari-Nya. Karenanya, kisah ini paradoksal. Tuhan yang berjalan dalam Taman Eden serta memanggil manusia justru menunjukkan pencarian Tuhan terhadap manusia. Artinya, Tuhan yang disembah Yahudi adalah Tuhan yang bersama dengan manusia, meski dalam konteks tertentu menekankan sifat transenden-Nya.

Dalam tradisi Yahudi, relasi mutual Tuhan dan manusia ini juga diperkuat oleh beberapa cerita lain, seperti kisah Abraham dan anaknya yang tersayang, Izak; serta kisah Musa yang menuntun Israel keluar dari Mesir. Kisah-kisah tersebut—dalam perspektif Yahudi—menegaskan bahwa Tuhan juga aktif dalam sejarah, bahkan bagian dari dunia. Ia yang dianggap transenden justru hadir dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain Tuhan adalah pencinta dan penyelamat.  Sehingga tanda terima kasih dan syukur, manusia melaksanakan kebebasan yang ia dapat dengan penuh tanggung jawab kepada Tuhan.

Kehidupan dan Praktik Orang Yahudi

Catatan historis yang tertuang di kitab suci tersebut ikut membentuk praktik keagamaan orang Yahudi. Singkatnya, praktik-praktik Yahudi merupakan bentuk tanda terima kasih atas apa dialami nenek moyangnya pada masa lalu. Bentuk terima kasih tersebut dilakukan lewat beberapa perayaan atau hag (selebrasi, hari raya). Beberapa hag yang dijelaskan, antara lain Pesakh, Sukkot, dan Shavuot.

Pesakh atau Paskah adalah perayaan untuk mengenang kisah keluarnya Israel dari Mesir (exodus). Mesir tercatat sebagai bangsa yang memperbudak Israel selama kurang lebih 400 tahun. Oleh sebab itu, dalam dalam perayaan Pesakh, terdapat roti paskah atau matza yang dimaknai sebagai tanda untuk mengenang nenek moyang mereka yang menderita di tanah Mesir. Selain roti, sayuran pahit juga disediakan sebagai simbol dalam memaknai pahitnya kesengsaraan pada masa lalu. Perayaan lainnya, Sukkot—dalam bahasa Indonesia berarti Pondok Daun—adalah bentuk terima kasih orang Yahudi atas hasil panen sekaligus perlindungan Tuhan. Shavuot berkaitan dengan kisah turunnya sepuluh perintah Tuhan kepada Musa di atas Gunung Sinai. Dalam perayaan yang berlangsung selama tujuh hari ini, orang Yahudi akan membangun sebuah pondok kecil yang digunakan untuk meletakan hasil panen berupa buah-buahan. Perayaan

Salah satu hal yang sangat penting dalam tradisi Yudaisme adalah keberadaaan Torah atau Taurat. Secara umum Torah dikenal sebagai sebagai kitab suci orang Yahudi. Namun, makna “Torah” bukan hanya melekat pada teks tertulis. Gordon menjelaskan, Torah merujuk pada beberapa hal, seperti gulungan lima kitab Musa; 24 Kitab Yahudi atau yang disebut Tanakh (terdiri dari Torah [taurat], Neviim [nabi-nabi], dan Ketuvim [tulisan-tulisan]); Torah yang tertulis dan Torah lisan (Talmud dan Midrash); serta segala kebijaksanaan, pengajaran, dan pemikiran Yahudi sepanjang masa. Torah dibacakan di sinagoge—tempat ibadat orang Yahudi—setiap Senin dan Kamis, saat bulan baru, Sabat, dan hari raya dengan wajib dihadiri minimal sepuluh orang.

Ari juga memperlihatkan beberapa simbol kebudayaan Yahudi: Kippah, yang berbentuk menyerupai topi kecil yang dianyam; Tallit Katan yang adalah kain atau selendang yang digunakan dalam peribadatan Yahudi, dengan pinggirannya yang disebut tzitzit; Tefillin yang menyerupai tali yang diikatkan dan digulungkan pada tangan serta diikatkan di kepala; shofar, jenis alat musik yang terbuat dari tanduk domba; serta berbagai macam kitab.

Meski memiliki corak dan simbol kultural yang serupa, orang Yahudi juga sangat beragam. Paling tidak di Amerika, orang Yahudi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok Yahudi Ortodoks, yaitu mereka yang dengan “keras“ berpegang pada doktrin dan teks kitab suci. Kedua, kelompok Yahudi Reformis, yaitu kelompok yang terbuka dengan perkembangan dan teknologi dengan corak utama yang bertumpu pada nilai etis. Jika nilai etika dan hukum agama bertentangan, maka etika lebih diutamakan. Ketiga, kelompok Yahudi Konservatif yang mengambil posisi di antara Yahudi Ortodoks dan Yahudi Reformis.

Kompleksitas Yahudi dan Yudaisme tersebut memperlihatkan bahwa keduanya merupakan realitas yang dinamis dan saling berkelindan. Oleh karenanya, tidak salah jika menyebut Yahudi sebagai “people with memory”. Artinya, memori masa lalu selalu menjadi narasi yang diinternalisasi hingga hari ini. Eksistensi bangsa Yahudi terbentuk lewat berbagai macam proses sejarah yang sangat panjang. Semenjak masa perbudakan di Mesir, bangsa Yahudi telah mengalami berbagai macam perang, hingga menjadi korban holocaust Nazi Jerman, dan bahkan hingga hari ini dalam konflik politis Israel-Palestina. Inilah juga yang menjadi alasan mengapa orang Yahudi sangat sulit menerima orang lain menjadi bagian dari Yudaisme.

Pada akhirnya, penjelasan Ari Gordon tidak hanya menambah pengetahuan tentang corak keyahudian, tetapi juga membuka wawasan bahwa Yahudi dan Yudaisme bukanlah sekelompok orang dengan agama yang mendukung kekerasan dan perang—seperti yang selama ini distigmakan.

______________________

Vikry Reinaldo Paais adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Vikry lainnya di sini.

Foto tajuk di artikel ini oleh Menahim Kahana/AFP/Getty Images diambil dari history.com

Tags: vikry reinaldo paais Yahudi

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju