Sehari bersama Ari Gordon: Mengenal Yahudi dan Yudaisme
Vikry Reinaldo Paais – 25 Mei 2023
Apa itu Yahudi (Jewish), apa itu Yudaisme (Judaism), apa itu Israel? Masih banyak orang awam, bahkan akademisi, yang salah kaprah terhadap istilah-istilah tersebut. Yahudi cenderung diasosiasikan dengan sebuah agama sekaligus suku bangsa, bahkan negara dalam konteks modern. Secara terminologi, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Yahudi merujuk pada suku, etnis, atau kelompok masyarakat; sedangkan Yudaisme adalah nama agama yang dipeluk oleh mayoritas orang Yahudi. Sementara, Israel adalah nama negara di kawasan Timur Tengah yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 14 Mei 1949 dan memiliki penduduk dengan suku yang beragam (tidak hanya dari etnis Yahudi, tetapi juga Arab, Druze, hingga suku-suku dari Afrika) dan agama yang bermacam pula (Yudaisme 73,6%, Islam 18,1%, Kristen 1,9%, dll.).
Memahami perbedaan dari ketiga istilah dan entitas tersebut sangat penting di Indonesia. Banyak konspirasi dan isu terkait politik, ekonomi, dan agama yang mengatasnamakan Yahudi. Salah satu narasi yang sering muncul ialah orang Yahudi merupakan pengatur ekonomi dunia dan biang dari segala ketidakadilan terhadap Islam—utamanya dalam kasus Palestina. Teori konspirasi tersebut begitu mengakar sehingga muncul doktrinasi di sebagian kalangan umat Islam Indonesia untuk menghindari konsumsi produk yang diklaim milik Yahudi. Pada akhirnya, berbagai macam konspirasi dan stigma tersebut bermuara pada paham antisemistisme yang menumbuhkan kebencian terhadap apa pun yang terkait dengan Yahudi dan Yudaisme.
Becermin dari fenomena ini, lokakarya bertajuk “Jews and Judaism: Understanding a World Religion in History and Today” yang diselenggarakan oleh CRCS UGM dan ICRS pada Minggu, 7 Mei 2023 ini menjadi kontekstual dan penting. Dalam lokakarya ini, Dr. Ari Gordon, seorang Yahudi berkebangsaan Amerika, menguraikan secara singkat dan padat karakteristik dan serba-serbi Yahudi dan Yudaisme. Saat ini Ari Gordon menjabat sebagai Direktur Hubungan Muslim-Yahudi, American Jewish Committee (AJC), sebuah organisasi yang mengupayakan hubungan muslim-Yahudi yang kuat dan produktif sekaligus memerangi antisemitisme, fundamentalisme, dan ekstremisme.
Doktrin Monoteisme dan Eksistensi Manusia
Gordon memulai lokakarya dengan menandaskan kisah penciptaan dunia dalam tradisi Yahudi. Tradisi penciptaan semesta dalam 6 hari ini serupa dengan kepercayaan Kristen yang tertulis dalam kitab Kejadian. Yahudi mengakui bahwa dunia serta isinya diciptakan oleh Tuhan yang satu. Gagasan inilah yang mengawali sekaligus menjadi akar konsep monoteisme. Bagi Gordon, konsep “Tuhan yang satu” melambangkan suatu kestabilan. Semua ciptaan akan tunduk hanya di bawah satu kuasa atau satu hakikat yang dipercaya sebagai Yang Awal dan Yang Akhir—dalam tradisi Yunani disebut Alfa dan Omega. Artinya, Tuhan yang satu itulah yang bekerja pada masa lalu dan akan terus bekerja hingga masa yang akan datang.
Memahami keberadaan manusia dalam monoteisme berarti mengakui bahwa diri manusia sebagai salah satu dari sekian banyak ciptaan yang menempati bumi. Singkatnya, Tuhan itu satu (mono) tetapi ciptaan-Nya beragam (multi). Namun, jika ditelisik kembali pada kisah penciptaan, orang akan bertanya, “Mengapa Tuhan hanya menciptakan manusia (Adam) seorang diri? Bukankah itu antitesis terhadap multikreasi?” Menurut Gordon, kisah tersebut mengajarkan kita bahwa siapa pun yang menghancurkan satu jiwa, sama saja dengan ia menghancurkan seluruh dunia; dan, sebaliknya, siapa yang menjaga satu jiwa, sama dengan ia menjaga seluruh dunia. Hakikatnya terletak pada martabat manusia. Keberadaan Adam sebagai muasal manusia juga menjadi peringatan agar tidak seorang pun dengan arogan membandingkan satu dengan yang lainnya. Yang ditekankan bukanlah komparasi siapa yang lebih baik, melainkan pada kesetaraan dan kestabilan.
Hubungan antara Tuhan dan manusia tidak berhenti ketika manusia sudah diciptakan dan ditempatkan di Taman Eden. Lebih jauh lagi, Yudaisme mengakui adanya perjanjian yang dibangun antara tuhan dan manusia. Perjanjian itu adalah larangan untuk mengonsumsi salah satu buah dari pohon yang terletak di tengah-tengah taman. Pohon tersebut dikenal sebagai Pohon Pengetahuan yang Baik dan yang Jahat. Konsekuensi dari larangan tersebut adalah “kematian”. Sayangnya, manusia melanggar perjanjian tersebut dan seketika itu pula manusia menyadari bahwa dirinya telanjang. Tuhan, sebagai pencipta, berjalan di tengah taman untuk mencari manusia dan berseru, “Di manakah Engkau?” Dalam perspektif tertentu, kisah ini bisa ditafsirkan bahwa Tuhan tidak tahu di mana manusia berada, padahal Ia Maha Tahu. Justru, menurut Gordon, kisah ini menegaskan relasi antara Tuhan dan Manusia yang bersifat mutual. Banyak teori agama dimulai dengan realitas pencarian manusia terhadap Tuhan seolah Tuhan itu diam dan manusialah yang mencari-Nya. Karenanya, kisah ini paradoksal. Tuhan yang berjalan dalam Taman Eden serta memanggil manusia justru menunjukkan pencarian Tuhan terhadap manusia. Artinya, Tuhan yang disembah Yahudi adalah Tuhan yang bersama dengan manusia, meski dalam konteks tertentu menekankan sifat transenden-Nya.
Dalam tradisi Yahudi, relasi mutual Tuhan dan manusia ini juga diperkuat oleh beberapa cerita lain, seperti kisah Abraham dan anaknya yang tersayang, Izak; serta kisah Musa yang menuntun Israel keluar dari Mesir. Kisah-kisah tersebut—dalam perspektif Yahudi—menegaskan bahwa Tuhan juga aktif dalam sejarah, bahkan bagian dari dunia. Ia yang dianggap transenden justru hadir dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain Tuhan adalah pencinta dan penyelamat. Sehingga tanda terima kasih dan syukur, manusia melaksanakan kebebasan yang ia dapat dengan penuh tanggung jawab kepada Tuhan.
Kehidupan dan Praktik Orang Yahudi
Catatan historis yang tertuang di kitab suci tersebut ikut membentuk praktik keagamaan orang Yahudi. Singkatnya, praktik-praktik Yahudi merupakan bentuk tanda terima kasih atas apa dialami nenek moyangnya pada masa lalu. Bentuk terima kasih tersebut dilakukan lewat beberapa perayaan atau hag (selebrasi, hari raya). Beberapa hag yang dijelaskan, antara lain Pesakh, Sukkot, dan Shavuot.
Pesakh atau Paskah adalah perayaan untuk mengenang kisah keluarnya Israel dari Mesir (exodus). Mesir tercatat sebagai bangsa yang memperbudak Israel selama kurang lebih 400 tahun. Oleh sebab itu, dalam dalam perayaan Pesakh, terdapat roti paskah atau matza yang dimaknai sebagai tanda untuk mengenang nenek moyang mereka yang menderita di tanah Mesir. Selain roti, sayuran pahit juga disediakan sebagai simbol dalam memaknai pahitnya kesengsaraan pada masa lalu. Perayaan lainnya, Sukkot—dalam bahasa Indonesia berarti Pondok Daun—adalah bentuk terima kasih orang Yahudi atas hasil panen sekaligus perlindungan Tuhan. Shavuot berkaitan dengan kisah turunnya sepuluh perintah Tuhan kepada Musa di atas Gunung Sinai. Dalam perayaan yang berlangsung selama tujuh hari ini, orang Yahudi akan membangun sebuah pondok kecil yang digunakan untuk meletakan hasil panen berupa buah-buahan. Perayaan
Salah satu hal yang sangat penting dalam tradisi Yudaisme adalah keberadaaan Torah atau Taurat. Secara umum Torah dikenal sebagai sebagai kitab suci orang Yahudi. Namun, makna “Torah” bukan hanya melekat pada teks tertulis. Gordon menjelaskan, Torah merujuk pada beberapa hal, seperti gulungan lima kitab Musa; 24 Kitab Yahudi atau yang disebut Tanakh (terdiri dari Torah [taurat], Neviim [nabi-nabi], dan Ketuvim [tulisan-tulisan]); Torah yang tertulis dan Torah lisan (Talmud dan Midrash); serta segala kebijaksanaan, pengajaran, dan pemikiran Yahudi sepanjang masa. Torah dibacakan di sinagoge—tempat ibadat orang Yahudi—setiap Senin dan Kamis, saat bulan baru, Sabat, dan hari raya dengan wajib dihadiri minimal sepuluh orang.
Ari juga memperlihatkan beberapa simbol kebudayaan Yahudi: Kippah, yang berbentuk menyerupai topi kecil yang dianyam; Tallit Katan yang adalah kain atau selendang yang digunakan dalam peribadatan Yahudi, dengan pinggirannya yang disebut tzitzit; Tefillin yang menyerupai tali yang diikatkan dan digulungkan pada tangan serta diikatkan di kepala; shofar, jenis alat musik yang terbuat dari tanduk domba; serta berbagai macam kitab.
Meski memiliki corak dan simbol kultural yang serupa, orang Yahudi juga sangat beragam. Paling tidak di Amerika, orang Yahudi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok Yahudi Ortodoks, yaitu mereka yang dengan “keras“ berpegang pada doktrin dan teks kitab suci. Kedua, kelompok Yahudi Reformis, yaitu kelompok yang terbuka dengan perkembangan dan teknologi dengan corak utama yang bertumpu pada nilai etis. Jika nilai etika dan hukum agama bertentangan, maka etika lebih diutamakan. Ketiga, kelompok Yahudi Konservatif yang mengambil posisi di antara Yahudi Ortodoks dan Yahudi Reformis.
Kompleksitas Yahudi dan Yudaisme tersebut memperlihatkan bahwa keduanya merupakan realitas yang dinamis dan saling berkelindan. Oleh karenanya, tidak salah jika menyebut Yahudi sebagai “people with memory”. Artinya, memori masa lalu selalu menjadi narasi yang diinternalisasi hingga hari ini. Eksistensi bangsa Yahudi terbentuk lewat berbagai macam proses sejarah yang sangat panjang. Semenjak masa perbudakan di Mesir, bangsa Yahudi telah mengalami berbagai macam perang, hingga menjadi korban holocaust Nazi Jerman, dan bahkan hingga hari ini dalam konflik politis Israel-Palestina. Inilah juga yang menjadi alasan mengapa orang Yahudi sangat sulit menerima orang lain menjadi bagian dari Yudaisme.
Pada akhirnya, penjelasan Ari Gordon tidak hanya menambah pengetahuan tentang corak keyahudian, tetapi juga membuka wawasan bahwa Yahudi dan Yudaisme bukanlah sekelompok orang dengan agama yang mendukung kekerasan dan perang—seperti yang selama ini distigmakan.
______________________
Vikry Reinaldo Paais adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Vikry lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini oleh Menahim Kahana/AFP/Getty Images diambil dari history.com