Sejauh Mana Agama Berperan dalam Krisis Lingkungan?
Krisharyanto Umbu Deta – 13 Nov 2020
Deforestasi, pengalihan lahan, krisis air bersih, kekeringan, polusi, persoalan kesehatan masyarakat, perusakan ekosistem oleh industri ekstraktif, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati merupakan serangkaian persoalan yang menjadi pertanda bahwa saat ini dunia sedang menghadapi krisis lingkungan yang amat hebat. Terhadap krisis ini, manusialah yang paling bertanggung jawab dalam menyebabkan dan sekaligus berkewajiban untuk memperbaikinya. Karena inilah dalam pembabakan geologis, era sekarang disebut dengan Anthropocene, yakni periode ketika manusia telah menjadi spesies yang paling memberi dampak bagi perubahan atmosfer, hidrologis, dan biosfer bumi.
Apa penyebab ideologis yang membuat manusia jadi spesies yang paling mengancam kelestarian ekologi? Sejumlah sarjana menjawab, penyebabnya adalah pandangan dunia modern yang mencerabut manusia dari alam, yang pada gilirannya membuat manusia memandang alam sebagai ‘objek eksploitasi’. Pandangan dunia modern ini juga merembesi dan turut disebarkan oleh agama-agama. Karena itu, bagi para sarjana ini, upaya mengatasi krisis lingkungan juga mesti melibatkan kajian ulang pada agama-agama dan kemungkinannya untuk ditransformasi, direformasi, ditafsir ulang, dan seterusnya.
Kajian tentang hubungan agama dan ekologi ini dikaji di CRCS dalam mata kuliah Religion, Science, and Ecology, dengan tinjauan pada ranah teoretis maupun praktis. Esai ini akan mengulas salah satu bacaan awal di mata kuliah ini yang menguraikan hubungan antara agama dan ekologi di ranah teoretisnya.
Tiga Respons
Paling tidak ada tiga bentuk respons yang dapat diambil agama dalam menyikapi krisis ekologis. Pertama, ‘penemuan kembali’ (recovery), yaitu usaha untuk kembali ke tradisi. Kedua, reformasi (reformation), yaitu usaha untuk menafsirkan ulang tradisi. Ketiga, penggantian (replacement) atau usaha mencari agama baru. Tipologi ini dapat ditengarai antara lain melalui dua pemikir besar di era awal kemunculan diskursus agama dan ekologi, yaitu Lynn White Jr. (1907-1987) dan Seyyed Hossein Nasr (1933-…). Keduanya menerbitkan karya berpengaruhnya di waktu yang hampir bersamaan. White dapat dikatakan merepresentasikan dua respons yang terakhir, terutama yang kedua, sementara Seyyed Hossein Nasr mewakili jenis respons yang pertama. Masing-masing juga memiliki analisis yang berbeda tentang sejauh mana agama telah berperan dalam menyebabkan krisis lingkungan.
Lynn White Jr
Lynn White Jr adalah seorang profesor Amerika pada bidang sejarah abad pertengahan di Princeton dan kemudian Stanford. Pengaruhnya dalam diskursus ini tampak dari apa yang sering disebut sebagai “Tesis White” dalam percakapan di dunia akademik tentang agama dan lingkungan. Tesis ini ia bangun dalam artikelnya yang berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis yang dipublikasikan dalam jurnal Science pada tahun 1967 dan kemudian menjadi salah satu tonggak penting dalam pembahasan agama dan ekologi.
White memulai tesisnya dengan melihat bagaimana sains dan teknologi sebenarnya juga telah hadir di peradaban-peradaban lain, namun hanya di peradaban Baratlah keduanya melebur. Di peradaban Yunani misalnya, ada pemisahan yang tegas antara sains dan teknologi, dengan sains dipahami sebagai pengetahuan tentang kebenaran, sementara teknologi adalah alat yang dilihat dari segi kebergunaannya. Penggabungan keduanya terekam dalam pemahaman ala Baconian mengenai pengetahuan saintifik yang teridentifikasi dalam kekuatan/kuasa (power) teknologi atas alam. Seturut pandangan ini, pengetahuan tentang alam adalah juga kuasa atas alam. Bagi White, di sinilah krisis ekologi memulai babak baru yang belum pernah terjadi sebelumnya (“ecological crisis of no precedence”).
Bagi Lynn White, bagaimana seseorang memperlakukan lingkungan sangat tergantung pada apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka dalam keterhubungannya dengan segala sesuatu di sekitar mereka. Pandangan ekologis yang dimiliki masyarakat era modern awal sangat ditentukan oleh keyakinan-keyakinan (beliefs) mereka tentang alam (nature) dan takdir (destiny) yang banyak dipengaruhi agama. Lebih lanjut, White mengatakan bahwa para ilmuwan modern awal adalah orang-orang beragama, dan sains modern berkembang dengan pengaruh kuat dari kerangka teologi Kristen.
Dengan melihat keterkaitan antara krisis ekologi dan sains, yang juga berhubungan erat dengan agama, White kemudian menyebut bahwa kekristenan memikul beban kesalahan yang besar (“a huge burden of guilt”). Ide tentang kuasa manusia dalam kekristenan telah membentuk dominasi manusia terhadap alam yang kemudian mendasari kombinasi sains modern dan teknologi dalam menciptakan krisis lingkungan. Mempertegas pengaruh ide kuasa dalam kekristenan yang dianggap sebagai akar dari kerusakan lingkungan tersebut, White menunjuk momen ketika manusia (Adam) menamai binatang-binatang sebagai momen ketika dominasi tersebut juga sekaligus ditancapkan. “Man named all the animals, thus establishing his dominance over them,” kata White.
Akhirnya, menurut White, sebab dari persoalan ekologis kini memiliki akar yang sangat religius sehingga perbaikannya pun juga harus menyasar religiositas masyarakat. Perkembangan yang kian canggih dari sains dan teknologi tidak akan membawa kita keluar dari krisis lingkungan bila kita tidak menemukan sebuah agama baru atau memikirkan kembali agama yang sudah ada (“find a new religion or rethink our old one”). Pada titik inilah kita melihat kecenderungan Lynn White pada tipologi replacement dan reformation.
Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang filsuf Muslim kelahiran Iran dan hingga kini masih menjadi profesor studi Islam di George Washington University. Karya berpengaruhnya dalam diskursus agama dan ekologi ialah Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, kumpulan empat seri kuliah yang ia sampaikan di Chicago pada tahun 1966—setahun sebelum publikasi “Tesis White”—dan kemudian dibukukan pada 1968.
Dalam karyanya, Nasr menyebut beberapa penyebab yang mendasari krisis modern terkait isu ekologi. Pertama, pandangan triumvalistik modernitas dan paradigma materialistik tentang ide kemajuan (progress) yang membawa pada dominasi manusia terhadap alam dan berdampak kuat pada desakralisasi alam. Kedua, krisis sains modern dalam dua aspek, yakni dari segi pemahaman—yang dalam tesis White disebut sebagai pengetahuan tentang kebenaran—dan dari segi penerapan, yang dalam tesis White merujuk pada teknologi sebagai alat.
Nasr lebih lanjut menguraikan latar belakang deskralisasi alam dan sekularisasi pengetahuan tentang alam. Ia mengatakan, demi kemunculan sains modern, hakikat dari alam semesta harus terlebih dahulu dikosongkan kesakralannya dan dijadikan profan. Pandangan dunia dari sains modern itu sendiri berkontribusi pada proses sekularisasi alam dan hakikat alam.
Pada titik ini, Nasr kemudian memaparkan dua pilihan, yaitu pandangan dunia yang religius atau pandangan dunia yang tersekularisasi (religious worldview or secularized worldview); konsepsi tentang dunia yang bersifat mekanis atau konsepsi tentang dunia yang bersifat religius. Dalam kontras antara agama dan sekularisasi ini, menurutnya, semua agama tanpa terkecuali ditantang oleh pandangan dunia sekuler yang telah mendasari sains dan teknologi modern.
Di sinilah Nasr memiliki pandangan yang berbeda dengan Lynn White yang menyebut kekristenan telah melahirkan konsepsi dunia modern ala Baconian yang bersifat mekanis. Bagi Lynn White, kekristenan telah menggiring kita pada dominasi terhadap alam yang kemudian dengan sains modern dan teknologi membawa kita pada krisis ekologi. Namun bagi Nasr, penyebab dari krisis ekologi pada mulanya bukan kekristenan per se, melainkan kekristenan yang telah tersekularisasi atau termodernisasi. Dengan demikian sekularisasi dan modernisasi itu tidak hanya terjadi pada pengetahuan tentang alam, melainkan juga pada agama. Sebab bagi Nasr, agama itu sendiri merupakan pengetahuan tradisional yang jika direvitalisasi akan membawa pada resakralisasi alam.
Dalam hal ini, baik kekristenan maupun agama-agama lain menghadapi tantangan yang sama yaitu, apakah mereka membiarkan dirinya termodernisasi dan tersekularisasi atau tetap setia pada tradisi dan menjadikan perspektif tradisional mereka sebagai alternatif dari perspektif modern.
Dalam kajian agama dan ekologi, tesis White dan Nasr adalah bacaan awal yang memaparkan diagnosa terhadap problem ekologi di era modern, khusunya menyangkut peran agama di dalamnya. Sejauh mana tesis-tesis ini terkonfirmasi dalam praktik riilnya dalam beragam kasus membutuhkan pembahasan dalam tulisan tersendiri.
______________
Krisharyanto Umbu Deta adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020.
Gambar header: lukisan Jan Siberechts tahun 1666 tentang Santo Fransiskus dari Assisi yang sedang berkhotbah di hadapan hewan-hewan.