Setelah Kunjungan Raja Saudi: Melawan Ekstremisme?
Azis Anwar Fachrudin – 7 Maret 2017
Di mata banyak orang, kunjungan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud boleh jadi menampakkan gestur yang positif. Namun satu hal yang tetap tak boleh terlupa ialah bahwa beberapa janji menunggu untuk segera dipenuhi. Satu pernyataan juga penting mendapat respons serius.
Setidaknya dua janji layak disebut di sini. Pertama, kompensasi terhadap korban cedera (42 orang) dan kelurga korban yang meninggal (12 orang) dari jamaah haji Indonesia dalam tragedi jatuhnya derek (crane) di Masjidil Haram pada 2015. Kedua, jaminan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi, khususnya yang bekerja di sektor informal, serta penyelesaian dialogis dua negara untuk kasus 25 WNI yang terjerat pidana dengan ancaman hukuman mati.
Di luar itu, pernyataan sang raja dalam pertemuan dengan 28 tokoh lintas agama Indonesia penting untuk tak dihapus dari memori. Dalam pertemuan itu, sang raja mengapresiasi keragaman dan toleransi antarumat beragama di Indonesia. Sang raja juga menyatakan pentingnya kerja sama dua negara—Arab Saudi sebagai “pelayan dua kota suci” dan Indonesia sebagai negara muslim terbesar dunia—dalam “memerangi radikalisme dan ekstremisme”. Pernyataan yang disampaikan sang raja di hari terakhir sebelum bertolak ke Bali untuk liburan ini harus dihargai, meski menyisakan ironi.
Perihal Wahhabisme
Ironi yang sulit untuk terus dipendam ialah fakta bahwa Arab Saudi, negara yang para perempuannya diharamkan menyetir mobil itu, berbicara tentang toleransi dan perlawanan terhadap ekstremisme.
Sebagai negara yang menjadi asal muasal ideologi keagamaan yang disebut Wahhabisme, Arab Saudi telah secara langsung maupun tak langsung ikut berkontribusi terhadap persebaran sektarianisme di penjuru dunia Islam. Jejak akan hal ini bisa diurut dari sejarah berdirinya Arab Saudi itu sendiri.
Segera setelah Arab Saudi dideklarasikan sebagai kerajaan yang merdeka dari Imperium Utsmaniyyah, wangsa Saud yang menjadi penguasa menitahkan pemberantasan keragaman tradisi dan praktik-praktik yang dianggap ulama Wahhabi sebagai bid’ah dan syirik. Di Indonesia, organisasi Islam terbesar Nahdlatul Ulama berdiri pada mulanya demi membendung gerakan anti-tradisi ini. (Catatan sampingan bagi yang keberatan dengan nama Wahhabisme/Wahhabiyah: istilah ini sebenarnya netral saja, dan dalam bahasa Arab tak ada masalah dengan mengambil penisbatan dari nama ayah Muhammad ibn Abdil Wahhab, sebagaimana tak masalah dengan nama mazhab Hanbali dan Syafi’i yang diambil dari nama kakek pendirinya.)
Sejak terjadinya ledakan minyak (oil boom) pada 1970-an, Arab Saudi, baik melalui penguasanya maupun lembaga swasta, terlimpahi uang minyak yang menjadi sumber dana untuk lembaga pendidikan-keagamaan yang memungkinkan tersebarnya Wahhabisme ke segala penjuru dunia Islam, tak terkecuali Indonesia. Entah proyek ini disengaja maupun tidak, pada faktanya banyak—kalau bukan sebagian besar—alumni universitas atau lembaga pendidikan-keagamaan yang didanai (pemerintah atau lembaga swasta) Arab Saudi telah menyebarkan paham keagamaan yang eksklusif dan sektarian itu.
Yang berdiri di Indonesia, satu institusi yang segera terlintas di benak ialah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), cabang Universitas Muhammad bin Sa’ud, yang berdiri sejak 1980 di Jakarta dan belakangan akan membuka cabang di tiga kota besar: Surabaya, Medan, dan Makassar. Memang tak semua alumnus LIPIA mengikuti jalur “Wahhabi arus utama” sebagaimana dominan di lingkaran elite ulama Saudi. Sebagian mengambil jalan lain dari varian Salafi dengan ragam orientasi politiknya (haraki, sururi, hizby, dll.) Namun ada satu kecenderungan umum: banyak alumninya menjadi pemeluk teguh ajaran Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan penyebar ajarannya; dan karakter sektarian secara umum menjadi satu fitur utama.
Dengan suntikan petrodolar, lembaga dan para alumni (baik dari LIPIA atau langsung dari Arab Saudi sendiri) mampu membangun yayasan dan pesantren, ‘mengambil alih’ kegiatan taklim di masjid-masjid, menyuplai penceramah dan khatib, dan perlahan mengubah diskursus keislaman di Indonesia dengan, antara lain, memasuki organisasi keagamaan arus utama dan memenuhi wacana keagamaan di jagat maya. Para ulama Saudi yang dalam beberapa dekade lalu terasa asing kini sudah terdengar akrab di telinga umat Islam sebab fatwa-fatwanya sering dijadikan rujukan, bahkan kadang diperlakukan seolah-seolah satu-satunya yang mewakili Islam. (Tautan bacaan ringkas tentang Wahhabisme di Indonesia: ini, ini, dan ini.)
Geopolitik Timur Tengah
Di samping pendanaan lembaga pendidikan-keagamaan, rivalitas Arab Saudi dengan Iran dalam geopolitik Timur Tengah dan perangnya dengan proxy Iran di Suriah dan Yaman juga telah memperparah rembesan sektarianisme ke negara-negara mayoritas muslim. Kini permusuhan Saudi-Iran makin sengit dan susah diredakan setelah tahun lalu Saudi memutus total hubungan diplomatik dengan Iran menyusul eksekusi terhadap ulama Syiah Nimr al-Nimr, sementara serangan Saudi terhadap Yaman sejak dua tahun terakhir masih berlangsung hingga kini dan telah memakan korban ribuan rakyat sipil.
Dalam isu terorisme, Arab Saudi berada di peringkat dua dari negara-negara yang warganya paling banyak bergabung dengan the Islamic State in Iraq and al-Sham (ISIS). Sulit untuk ditampik bahwa diskursus yang diproduksi Wahhabisme melapangkan jalan menuju diskursus keislaman yang lebih keras dan radikal—yang sebagian kalangan menyebutnya ‘Salafi-jihadi’. Banyak dari buku-buku yang menjadi panduan akidah dan ajaran Islam di lingkaran orang-orang ISIS dan diajarkan di sekolah yang dikendalikan ISIS ialah karya Muhammad ibn Abdil-Wahhab. Menyangkut brutalitas, Arab Saudi telah mengeksekusi mati banyak orang (dengan kurang lebih setengahnya dipenggal kepalanya, sebagaimana yang dilakukan ISIS) dengan jumlah yang dalam tahun terakhir adalah yang tertinggi dalam dua dekade mutakhir.
Bila Arab Saudi ingin melawan ekstremisme dan radikalisme, hal pertama yang harus dilakukannya—entah bagaimana caranya—ialah dengan mengubah politik luar negerinya di Timur Tengah, khususnya dalam hubungannya dengan rival-rival geopolitiknya, sebab inilah yang menjadi bahan bakar menjalarnya sektarianisme di penjuru dunia Islam. Di era globalisasi dan internet ini, terus menerus berkonfrontasi dengan kubu Iran (dan ini juga berlaku untuk dari sisi sebaliknya, dari Iran dan proxy-nya terhadap kubu Saudi) tidaklah sehat bagi tubuh umat Islam secara keseluruhan.
Kedua ialah dengan mengubah diskursus keagamaan di dalam negeri sendiri dengan, antara lain, mereformasi pendidikan keislaman yang telah memproduksi pada ustad/dai yang esksklusif, mengawasi laju pendanaan lembaga-lembaga keislaman yang berorientasi sektarian (termasuk yang diam-diam mendanai gerakan teroris), dan mulai mengangkat figur-figur reformis-inklusif yang sudah mulai tumbuh dari dalam lingkungan Salafi sendiri.
Hal di atas tentu saja tidak mudah bagi Arab Saudi, sebab itu berarti mengendorkan aliansinya dengan para “Aalus-Syaikh” (keturunan Muhammad ibn Abdil-Wahhab) yang telah terjalin sejak abad 18. Namun aliansi politik-keagamaan itu sesungguhnya tidak sebanding dengan imbas sektarianisme yang kini menjangkiti dunia Islam. Dan dalam kalkulasi di atas kertas, dinasti Saud agaknya mampu melakukannya (meski belum tentu mau), karena kekusaan negara ada di tangan mereka.
Pada kenyataanya banyak figur dari keluarga Saud yang perilakunya rileks dan tidak sekaku fatwa-fatwa ulamanya, sebagaimana kentara dari kunjungan Raja Salman itu sendiri: bersalaman dengan perempuan, melakukan wefie dengan anak dan cucu Soekarno, dan bicara dalam vlog bersama Presiden Joko Widodo. Ini hal-hal yang jauh dari kesan rigid Wahhabi sebagaimana umumnya orang mengasosiasikannya—sama seperti tidak Wahhabi-nya Putri Ameera al-Taweel yang tak memakai jilbab.
Serius?
Hanya saja, yang di atas itu berlaku jika pernyataan Raja Salman tentang perlunya kerja sama Saudi-Indonesia dalam memerangi ekstremisme betul-betul serius. Jika memang serius akan dieksekusi, ini akan menjadi satu bentuk ‘investasi’ tersendiri, setelah investasi finansial tak sesuai harapan: dari yang semula digadang-gadang akan mendapat 25 miliar USD, dari 11 nota kesepahaman Raja Salman ternyata hanya menjanjikan investasi 7 miliar USD (1 miliar untuk infrastruktur dan 6 miliar untuk kilang minyak Pertamina), jumlah yang sama yang diberikan ke Petronas-Malaysia dalam kunjungan sebelumnya. “Investasi keagamaan” itu juga bisa menambal jumlah investasi Saudi yang terhitung minim di Indonesia, bahkan jauh di bawah rival geopolitiknya (Iran), sementara Indonesia adalah penyumbang jamaah haji terbesar.
Sekali lagi, itu berlaku jika pernyaatan di atas benar-benar serius. Lain halnya jika pernyataan itu sekadar formalitas kunjungan kenegaraan karena sedang menjadi tamu yang mau tak mau harus mengapresiasi tuan rumah. Jika demikian, hal-hal di atas boleh jadi hanya mimpi.
Bila Arab Saudi ingin melawan ekstremisme dan radikalisme, hal pertama yang harus dilakukannya—entah bagaimana caranya—ialah dengan mengubah politik luar negerinya di Timur Tengah …
“Entah bagaimana caranya” itu terbaca begitu getir. Mungkin karena kita sendiri sadar, jalan ke sana, setidaknya hari ini, nyaris tak ada 🙁