‘Sihir Quick Count’ dan Narasi Perang Pascapemilu
M. Iqbal Ahnaf – 7 Mei 2019
Dua hari setelah pemilu, Ustaz Bachtiar Natsir (UBN) menyampaikan ceramah merespons hasil Hitung Cepat (Quick Count/QC) yang memenangkan paslon 01 atas paslon 02 dengan selisih suara dalam kisaran 10 persen. Dalam ceramah itu, ia berkata, “Ini bukan hanya pemilu, Saudara-saudara… Apa yang terjadi saat ini sebetulnya adalah bangkitnya ghirah umat Islam… [dalam] bahasa sekarang, inilah yang disebut dengan Muslim people power.” Di samping itu, UBN juga menolak hasil QC dan menyebutnya sebagai “sihir sains”. [Lihat rekaman ceramahnya di Youtube.]
Ceramah UBN itu menyiratkan pandangan jangka panjangnya yang melampaui mekanisme demokrasi lima tahunan. Dengan melontarkan frasa “Muslim people power”, UBN menempatkan pemilu sebagai instrumen untuk merebut supremasi yang, dalam narasinya dan narasi kelompok lain yang sehaluan, telah diambil dari tangan umat Islam melalui penghapusan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. UBN menganggap Pilpres 2019 sebagai pertaruhan masa depan umat Islam seraya meyakini bahwa besarnya dukungan umat Islam terhadap paslon 02 adalah perwujudan dari apa yang ia sebut sebagai momentum bergesernya pendulum ke arah politik Islam.
Narasi Perang
UBN adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh di sebagian kalangan Muslim. Popularitasnya meningkat tajam antara lain berkat peran sentralnya dalam aksi-aksi kelompok 212. Pada masa menjelang pendaftaran pasangan capres-cawapres, UBN sempat mengurangi dukungan eksplisit kepada Prabowo, di antaranya karena Prabowo tak mengambil tokoh rekomendasi cawapres dari Ijtima Ulama I. Tetapi karena Pilpres 2019 kemudian dibaca sebagai pertaruhan politik Islam, pada akhirnya pasangan yang tidak ideal ini harus dinarasikan lebih berpihak pada kepentingan politik Islam ketimbang pemerintahan di bawah petahana.
UBN bukan satu-satunya tokoh yang menggambarkan kontestasi Pilpres 2019 sebagai “perang agama”. Sejumlah tokoh lain menabuh genderang serupa. Bedanya, sebagian tokoh itu boleh jadi hanya menjadikan identitas sebagai instrumen politik demi kepentingan pragmatis jangka pendek. Tokoh seperti Habib Rizieq Syihab, misalnya, mungkin melihat kalah menang dalam Piplres 2019 lebih pada nasibnya yang tersangkut banyak jerat hukum. UBN bervisi lebih jauh. Bila bagi para pialang politik (political entrepreneurs), kemenangan pemilu adalah tujuan dan identitas adalah instrumen, bagi UBN pemilu hanya instrumen untuk mewujudkan cita-cita yang lebih tinggi, yakni supremasi Islam.
Dalam visi yang demikian, tidak mengherankan bila kontestasi politik digambarkan dalam narasi teologis seperti “perang badar”, sehingga kalah-menang dalam ‘perang’ ini akan menuntut pemaknaan teologis pula. Inilah konteks ketika UBN melontarkan kata-kata simbolik bernuansa perang kosmik ketika menyebut temuan QC sebagai “sihir”.
Thalut & Jalut
Kekalahan pasangan 02 menurut versi QC memberikan pukulan berat terhadap semangat sebagian pendukung militan mereka. Bagi mereka, kontestasi Pilpres merupakan ruang ekspresi bagi akumulasi ‘kemarahan’ umat atas apa yang mereka persepsikan sebagai kezaliman rezim. Dalam narasi yang demikian, kekalahan tidaklah bisa diterima, karena mereka meyakini bahwa diri mereka berada di pihak kebenaran (al-haqq) yang diniscayakan akan mengalahkan kezaliman (al-bathil). Implikasi dari narasi ini ialah: kekalahan mereka akan menjadi kekalahan al-haqq itu juga. Maka, agar narasi ini bertahan, QC dibaca sebagai rekayasa kubu 01, layaknya sihir yang dikirim oleh musuh untuk meruntuhkan moral para pejuang.
UBN merujukkan narasi tentang sihir ini ke kisah perang epik antara Thalut melawan Jalut (QS 2:246-251). Sosok protagonis dalam kisah ini adalah Thalut, orang biasa yang digambarkan sebagai pemuda kuat, berhati bersih, dan diramalkan akan menjadi raja bani Israel. Ia memimpin pasukan dalam perang melawan tentara Jalut yang dikisahkan sebagai sosok ‘raksasa’ yang kejam dan zalim, dengan pasukan yang jumlahnya jauh lebih besar dan senjata lebih lengkap. Tetapi pada akhirnya tentara Thalut, dengan bantuan pemuda yang kemudian menjadi nabi (Dawud) mampu mengalahkan pasukan raksasa Jalut.
UBN menggarisbawahi salah satu momen penting dalam kisah ini, yakni ketika tentara Thalut kelelahan dan kehabisan air minum setelah melewati padang pasir. Mereka istirahat di satu sisi sungai, sementara di sisi lain sungai tentara Jalut telah menunggu. Dalam situasi lemah dan berhadapan dengan tentara Jalut yang jauh lebih kuat, moral tentara Thalut runtuh. Di sinilah UBN menemukan rujukan bagi istilah sihir QC. Ia menyebut sebagian tentara Thalut mengalami keruntuhan moral karena silau akan kedigdayaan tentara Jalut. ‘Sihir Jalut’ tidak dimaknai dalam pengertian klenik ilmu hitam, tetapi mewujud dalam bentuk teror kemegahan senjata dan kebesaran jumlah pasukan. Jadi peran QC dalam pemilu disamakan dengan gambaran tentang besarnya kekuatan tentara Jalut yang menyihir tentara Thalut sehingga moral mereka runtuh.
UBN membandingkan para pejuang yang runtuh moralnya akibat QC dengan tentara Thalut yang terlalu banyak minum sehingga menjadi lemas. Terlalu banyaknya air yang diminum ia samakan dengan ‘serangan fajar’ pada masa pemilu sehingga para pasukan yang tidak cukup kuat imannya memilih mundur dan tidak ikut melanjutkan peperangan.
Muara dari cerita ini adalah upaya UBN untuk membangkitkan kembali semangat juang para jemaahnya dengan mengatakan bahwa hanya orang-orang terpilih yang tidak mudah terpukau dengan sihir Jalut—mereka berdiri tegak, tidak silau dengan kebesaran pasukan Jalut dan melanjutkan peperangan. Merekalah, lanjut UBN, “orang-orang yang yakin akan berjumpa dengan Allah dan terus berjuang meskipun jumlahnya sedikit.” Sama halnya dengan kemegahan pasukan Jalut yang tidak mampu menyelematkannya dari takdir kemenangan tentara Allah, kalah menang dalam pemilu tidak ditentukan oleh QC. UBN mengidentifikasi lembaga survei sebagai musuh Allah ketika mengatakan, “Orang-orang yang yakin bakal menjumpai Allah itu [meyakini] keputusannya terserah Allah; silakan bayar semua survei, silakan sihir kami dengan science kamu.”
Kontekstualisasi kisah Thalut-Jalut ke dalam narasi mengenai politik 2019 ini menaikkan derajat kontestasi pemilu ke level peperangan antara yang haqq dan yang bathil. Narasi perang kosmik seperti ini mengasumsikan totalitas di masing-masing pihak yang bertarung, antara pembela Tuhan dan musuh Tuhan. Tentu saja, narasi ini menafikan kenyataan bahwa semua kandidat dalam Pilpres 2019 adalah Muslim dan masing-masing paslon mendapatkan dukungan dari kalangan ulama dan umat Islam.
Banyak tokoh Muslim yang eksplisit memberikan dukungan kepada salah satu paslon dalam Pilpres, tetapi sedikit yang membawa kontestasi politik ini ke level kesadaran tentang perang kosmik. UBN masuk dalam yang sedikit ini. Tokoh lain, seperti Ustaz Abdul Somad (UAS), Ustaz Adi Hidayat, dan Aa Gym menemui paslon 02 dan menyatakan bahwa Prabowo didukung oleh banyak umat Islam. UAS menyampaikan adanya isyarat ulama kasyaf (penglihatan batin) yang mengimplikasikan bahwa Prabowo akan menjadi presiden. Namun narasi tentang perang kosmik tidak muncul dari tokoh-tokoh ini. Ustaz Adi Hidayat menyelipkan peringatan bahwa jika Prabowo berbuat zalim, ia terancam masuk neraka. Peringatan seperti ini membuat derajat pilihan atas apa yang salah dan benar tidaklah absolut.
Pascapemilu: Situasi Revolusioner?
Narasi UBN tentang QC sebagai sihir, tentang tentara Jalut, dan tentang kecurangan pemilu menyiratkan pesan tentang langkah pascapemilu jika pada akhirnya Prabowo-Sandiaga secara resmi dinyatakan gagal memenangi Pilpres. Ia menyatakan, “Kamu mau menjabat silakan, tapi otoritas, kekuasaan di seluruh lapisan langit dan di bumi kami yakin hanya diberikan kepada orang-orang beriman yang yakin berjumpa dengan Allah. Apa gunanya menjabat tetapi tidak berkuasa?”
Kalimat “menjabat tetapi tidak berkuasa” memberikan gambaran tentang sebuah kondisi perubahan yang ingin ia tuju. Ungkapan demikian bisa dipahami sebagai bahasa lain dari sebuah kondisi dalam proses perubahan politik yang dalam kajian gerakan sosial disebut “situasi revolusioner”. Dalam uraian Jeff Goodwin dalam bukunya, No Other Way Out: State and Revolutionary Movement, 1945-1991 (2001), situasi revolusioner ditandai oleh adanya dua kekuasaan (double power) atau sejumlah kedaulatan yang bertarung (multiple sovereignty) yang masing-masing mempunyai kemampuan memaksa (coercive) dalam taraf tertentu. Dalam situasi revolusioner, tidak berarti bahwa Negara menjadi sepenuhnya kehilangan kendali, tetapi legitimasi kendali dan kemampuan koersif Negara mulai dipertanyakan atau ditandingi oleh kekuatan-kekuatan lain di dalam negara.
Apa yang dibutuhkan untuk mencapai situasi revolusioner? Salah satu kunci partisipasi dalam gerakan sosial adalah adanya keresahan (grievance). Situasi ini bisa terbentuk dari persepsi tentang ketidakadilan yang terakumulasi dan memuncak menjadi kemarahan (outrage). Kasus Ahok adalah contoh grievance yang dipialangi untuk melahirkan outrage, yang pada gilirannya berguna untuk menggerakkan massa.
Karena itu, narasi tentang pemilu curang, pasukan Jalut, dan sihir QC dapat dibaca sebagai bagian dari narasi untuk melahirkan momentum gerakan sosial. Hanya kemarahan memuncak yang bisa memunculkan musuh bersama, dan dengan demikian meningkatkan partisipasi bagi gerakan sosial dalam cakupan yang lebih luas. Nuansa outrage terasa kuat dari ceramah UBN yang agitatif, seperti ketika ia mengatakan, “Kita disuruh damai dan santun, tapi pemilu tidak jujur dan adil; jadi siapa yang memancing chaos sebenarnya… Kalau kita bicara pemilu, dan pemilu ini perang, dalam pengertian perang ideologi, perang perebutan kekuasaan, [dan dalam perang] yang namanya curang itu pasti; tidak usah mengeluh; jangan berharap ke MK; MK nggak akan bisa selesaikan ini.”
Narasi yang dibangun UBN dengan demikian memiliki makna lebih dari sekadar pemilu. Narasi-narasi ini dibingkai guna merawat semangat outrage itu, yang diperlukan guna melahirkan gerakan sosial, memobilisasi massa, dan memperluas basis sosial, yang disebut UBN sebagai “Muslim people power” itu.
Narasi-narasi yang demikian absolutis ini tidak mudah diredam, bahkan oleh hasil pemilu resmi dari KPU. Yang kemudian terdampak adalah kohesivitas kehidupan sosial keagamaan kita: dengan terus dirawatnya narasi perang itu, kita tak bisa berekspektasi bahwa polarisasi berbasis identitas keagamaan hasil kontestasi politik 2019 ini akan hilang dalam waktu dekat.
____________
Penulis, M. Iqbal Ahnaf, adalah pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM.
Gambar header: UBN berceramah di depan kediaman Prabowo di Jln Kertanegara, Jaksel, 17 April 2019. Gambar diambil dari tangkapan layar (screen capture) cuplikan video ceramah itu di Youtube.