Sudahkah Indonesia Benar-Benar Merdeka?
Teresa Astrid Salsabila – 24 September 2022
Seperti Belanda
mereka suguhi kami anggur hingga kami mendengkur
lalu dengan leluasa mengeruk perut kami
gas alam, minyak, emas, hutan, sampai akar rumput bumi
…
Melebihi Belanda
mereka perkosa istri-istri kami
mereka tebas leher putra putri kami
mereka bunuh harapan dan cita-cita kami
Melebihi Belanda
Itulah Jakarta!
Suara Fikar W. Eda menggema di kelas kami saat video pembacaan puisi bertajuk “Seperti Belanda” itu diputar. Karya yang ia buat lebih dari dua dekade lalu mengabadikan kasus kekerasan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap warga setempat pada peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) pada 1999 silam. Meski telah ditetapkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat oleh Komnas HAM, sampai hari ini belum ada titik terang penyelesaian tragedi itu oleh pemerintah. Dilahirkan sebagai anak Aceh, kemarahan Fikar terhadap pemerintah pusat di Jakarta tertera jelas dalam puisi tersebut. Baginya, kekerasan yang dilakukan oleh TNI sama dengan—atau bahkan lebih kejam dari—kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda.
Melalui puisi “Seperti Belanda”, Katrin Bandel selaku dosen pengampu dalam mata kuliah Agama, Gender, dan Pascakolonialisme mengajak kami berpikir kembali mengenai kondisi yang sedang dialami Indonesia. Apakah Indonesia sudah terbebas dari segala penjajahan? Atau malah Indonesia, dan negara bekas kolonialisme Eropa lainnya, masih terperangkap dalam jaring kolonialisme itu sendiri?
Mengenal Kolonialisme
Kolonialisme berasal dari kata colonia yang dalam bahasa Latin memiliki arti “tanah pertanian” atau “pemukiman”. Oxford English Dictionaries (OED), sebagai salah satu rujukan utama genealogi suatu kata dalam bahasa Inggris, mendefinisikan kolonialisme sebagai:
“A settlement in a new country … a body of people who settle in a new locality, forming a community subject to or connected with their parent state; the community so formed, consisting of the original settlers and their descendants and successors, as long as the connection with the parent state is kept up.”
Ania Loomba, sarjana pascakolonialisme asal India, dalam Colonialism/Postcolonialism (2015) mengkritisi definisi OED tersebut karena ketiadaan penyebutan penduduk lokal sebagai masyarakat yang telah menempati kawasan itu sebelum kedatangan pengoloni. Definisi OED itu mengeksklusi keberadaan penduduk lokal dengan menciptakan anggapan bahwa tanah yang diduduki para pendatang memang tidak berpenghuni dan komunitas yang terbangun murni dari para pendatang. Padahal pembentukan masyarakat yang dilakukan para pendatang juga melibatkan penduduk asli—misalnya melalui perdagangan, pendudukan paksa, negosiasi, perang, bahkan genosida. Oleh karena itu, praktik kolonialisme selalu diikuti dengan penaklukan warga setempat, perampasan tempat tinggal, dan tak jarang berujung pada eksploitasi sumber daya alam.
Tak heran, kata “gold” memang tepat untuk ditempatkan pada awal semboyan kolonialisme modern yang dilakukan negara-negara Eropa: gold, glory, gospel. Istilah “gold” tidak hanya mengacu pada emas atau harta, tetapi kemakmuran yang dapat tercipta dari kegiatan ekonomi yang dilakukan terhadap wilayah koloni. Kolonialisme menata kembali sistem ekonomi negara koloni hingga menciptakan perpindahan sumber daya alam dan manusia untuk keuntungan negara induk. Karenanya, bagi penganut marxisme, kolonialisme modern ini lahir beriringan dengan kapitalisme di Eropa Barat.
Dalam lintas sejarah dunia, praktik menduduki wilayah lain sudah berkembang sebelum kolonialisme Barat, misalnya penaklukan Konstantinopel di bawah Turki Utsmani. Meski demikian, kolonialisme Eropa begitu menonjol dan kuat karena memengaruhi sistem ekonomi dan melahirkan rasisme sistemik di wilayah koloni. Dampak kolonialisme ini juga masih dirasakan di negara terjajah dan dianggap sebagai kewajaran oleh masyarakatnya—bahkan jauh setelah mereka merdeka. Salah satunya adalah rasisme, yang memisahkan kelompok masyarakat berdasarkan ras atau perbedaan fisik. Dalam sejarah Indonesia, rasisme ini dapat ditemui pada stratifikasi masyarakat era Hindia Belanda. Bangsa Eropa sebagai kolonialis menjadikan kelompoknya masyarakat kelas pertama yang memiliki privilese terbesar di wilayah koloni. Kemudian, kelas kedua diisi oleh masyarakat campuran Eropa dan pribumi beserta orang-orang asing non-Eropa, misalnya Tiongkok dan Timur Tengah. Posisi paling bawah adalah warga pribumi yang memiliki hak paling terbatas. Pemisahan sosial ini diterapkan di seluruh kehidupan masyarakat Hindia Belanda, mulai dari pendudukan posisi dalam pemerintah hingga penggunaan fasilitas publik.
Rasisme ini mengakar begitu kuat hingga menjadi suatu budaya baru di wilayah koloni meskipun bangsa Eropa sudah tidak melakukan kolonialisme secara fisik. Istilah “pribumi” atau “bumiputera” yang digunakan untuk memisahkan penduduk asli pada masa Hindia Belanda memiliki implikasi yang diskriminatif hingga saat ini. Kata ini seringkali menjadi justifikasi penolakan terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa, meskipun mereka secara turun-temurun—bahkan hingga lebih dari 10 generasi—telah menjadi penduduk dan bertempat tinggal di Nusantara. Kerusuhan Mei 1998 yang menimbulkan banyak korban dari warga negara Indonesia keturunan Tionghoa adalah salah satu warisan mengerikan dari rasisme tinggalan Hindia Belanda.
Mengkaji yang Tertinggal dengan Pascakolonialisme
Kata “pasca“ dalam pascakolonialisme tidak hanya dimaknai sebagai kajian tentang hal-hal yang terjadi setelah era kolonialisme dan menjadi tanda era yang baru. Pascakolonialisme juga melihat warisan dari kolonialisme dan resistensi terhadap dominasi kolonial tersebut. Selain itu, pascakolonialisme tidak hanya terbatas pada kolonialisme modern dari Eropa dan segala dampaknya, tetapi juga turunan dari kolonialisme tersebut. Dengan kata lain, paham dan pola dari kolonialisme Eropa bisa jadi dikemas kembali untuk melakukan kolonialisme di masa kini, baik oleh negara induk maupun bekas negara koloni. Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi suatu negara mengalami fase pascakolonialisme tetapi, di saat yang sama, praktik kolonialisme tetap berlangsung.
Sebagai sebuah kritik, pascakolonialisme berusaha menimbang ulang dunia yang sedang dijalani dengan menampilkan perspektif dari kelompok yang merasakan dampak kolonialisme secara subjektif—baik dampak sosial maupun budaya kontemporer. Oleh karena itu, untuk melihat transformasi yang secara aktif terjadi pada masa kini, teori pascakolonialisme tidak dapat melepaskan diri dari masa lalu. Misalnya, meski banyak negara koloni telah merdeka dan masing-masing mengembangkan sistem pemerintahannya, tidak ada pilihan bagi mereka kecuali mengikuti sistem ekonomi yang telah dibentuk oleh bekas negara induk. Padahal, ekonomi suatu negara sangat memengaruhi kehidupan dan kedaulatan negara tersebut hingga ke berbagai bidang. Dalam konteks yang demikian, kemerdekaan secara politis terasa semu sebab kebebasan politis tidak selalu disertai dengan kebebasan ekonomi. Tidak akan ada kebebasan politis tanpa adanya kebebasan ekonomi.
Ashis Nandy, salah satu kritikus pascakolonialisme, menjelaskan dua fase kolonialisme dalam bukunya The Intimate Enemy (1983). Pertama, kolonialisme dilakukan dengan gaya bandit atau menggunakan kekerasan. Keganasan ini dilakukan untuk memperlihatkan kekuatan kolonialis terhadap warga setempat. Kedua, kolonialisme diwujudkan melalui kontrol pemikiran dengan mendiktekan nilai dan budaya tertentu kepada masyarakat koloni sehingga menjadi norma baru. Orang-orang yang tidak mengikuti nilai-nilai yang diterapkan oleh kolonialis akan dianggap primitif dan tertinggal.
Indonesia dan (Pasca)kolonialisme-nya
Lantas, sudahkah Indonesia beranjak dari kolonialisme?
Tak bisa dimungkiri, Indonesia tidak akan hadir tanpa adanya kolonialisme. Tanpa adanya campur tangan kolonialis, negara ini mungkin masih akan dihuni oleh berbagai kerajaan dengan kekuasaan yang otonom di setiap pulaunya. Meski akhirnya merdeka secara konstitusional dan banyak orang yang beranggapan bahwa kolonialisme juga “memajukan”, efek buruk kolonialisme tidak serta-merta hilang dari negara ini. Trauma yang dialami juga tidak akan pernah sepenuhnya hilang.
Meski setiap 17 Agustus kita merayakan kebebasan dari penjajah dengan selebrasi besar-besaran, ingatan tentang kolonialisme dengan segala kompleksitasnya masih menghujam dan terwariskan karena beberapa faktor. Pertama, kekerasan fisik yang secara masif dilakukan pada masa kolonialisme menciptakan trauma yang besar bagi masyarakat; kedua, kolonialis tidak selalu ditentang oleh penduduk asli. Terkadang mereka juga mengagumi, bahkan ingin menjadi seperti kolonialis; ketiga, sejarah juga menunjukkan bahwa masyarakat setempat juga bekerja sama dengan kolonialis. Terakhir, kolonialisme ini rupanya belum berakhir, ia hanya berubah bentuk. Para mantan kolonialis masih mengontrol bekas koloninya melalui neokolonialisme atau kolonialisme internal yang melibatkan pemerintah dengan kelompok tertentu dalam negaranya.
Tragedi Simpang KKA menjadi salah satu dari banyaknya bukti bahwa kolonialisme masih ada dan dilakukan secara internal di Indonesia. Kolonialisme internal saat ini tidak hanya mengacu pada opresi pada suku dan etnis tertentu, tetapi juga kelompok-kelompok lain yang dieksploitasi oleh pemerintah. Kolonialisme initernal ini juga bisa berwujud kekerasan maupun kebijakan yang memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi, kelompok tertentu.
Para penganut pascakolonialisme meyakini bahwa kolonialisme tidak dapat diubah. Upaya untuk menghilangkan dampak kolonialisme ataupun menerapkan kembali budaya “asli” adalah sebuah kemustahilan. Akan tetapi, kolonialisme masih dapat dilawan dengan menciptakan budaya alternatif. Puisi Seperti Belanda melahirkan kontestasi terhadap kolonialisme yang dikemas dan diterapkan kembali kepada warga Aceh di Indonesia. Melalui pascakolonialisme, Indonesia diajak kembali berpikir: apakah “merdeka” yang diteriakkan pada setiap perayaan 17 Agustus adalah sesuatu yang benar-benar dirasakan oleh segenap masyarakatnya? Ataukah itu simbol kolonialisme baru?
______________________
Teresa Astrid Salsabila adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Astrid lainnya di sini.