Ali Ja’far | CRCS | Artikel
“Perubahan besar-besaran pada Klenteng-Vihara Buddha terjadi setelah peristiwa 1965, dimana semua yang berhubungan dengan China dilarang berkembang di Indonesia. Nama-nama warung atau orang yang dulunya menggunakan nama China, harus berubah dan memakai nama Indonesia” kata Romo Tjoti Surya di Vihara Buddha kepada mahasiswa CRCS-Advanced Study of Buddhism, yang melakukan kunjungan pada selasa 22 Maret 2016. Beliau menjelaskan juga bahwa pada waktu itu, umat Buddha juga harus mengalami masa sulit karena banyaknya pemeluk Buddha yang berasal dari China.
Salah satu dampak anti China ada pada Klenteng-Vihara Buddha Praba dan daerah disekitarnya adalah pada nomenclature. Pada awalnya, toko-toko itu mengunakan nama-nama China, tetapi mereka harus mengganti nama itu menjadi nama Indonesia. Begitu juga pemeluk Konghucu disini, mereka punya dua nama, nama Indonesia dan nama China. Bahkan bertahun-tahun mereka harus memperjuangkan keyakinan mereka sampai pada akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid mencabut pelarangan itu dan Konghucu diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Tempat pemujaan yang berusia lebih dari 100 tahun ini merupakan gabungan dari Klenteng dan Vihara. Klenteng berada di depan dan Vihara berada di belakang. Penyatuan ini karena adanya kedekatan historis antara pemeluk Buddha dengan orang China di Indonesia. kedekatan Buddha dengan China bisa dilihat dalam rupang Dewi “Kwan Yin” dalam dialek Hokkian yang merujuk pada Avalokitesvara, Buddha yang Welas Asih. Selain itu juga ada kedekatan ajaran, dimana dalam Buddha, label agama tidaklah penting, yang paling penting adalah pengamalan dan pengajaran Dharma. Selama ajaran Dharma itu masih ada, maka perbedaan agama pun tidak masalah.
Vihara Buddha Praba sendiri adalah Buddha dengan aliran Buddhayana, yaitu aliran yang berkembang di Indonesia yang menggabungkan dua unsur aliran besar Buddha, Theravada dan Mahayana. Aliran Mahayana berada di Utara dan Timur Asia yang melintas dari China sampai ke Jepang dan lainya. Sedangkan Theravada menempati kawasan selatan, seperti Thailand, Burma. Namun begitu, Budhayana melihat dua aliran ini sebagai “Yana” atau kendaraan menuju pencerahan seperti yang diajarkan sang Guru Agung. Penggabungan Theravada dan Mahayana dalam aliran Buddhayana awalnya juga dilandasi alasan politis dimana terdapat asimilasi antara agama dan kebudayaan yang ada.
Dalam Kunjungan ini, mahasiswa CRCS diajak untuk keliling Klenteng-Vihara dan mengenal ajaran Buddha lebih dalam, terutama bagaimana Vihara ini bisa bersatu dengan Klenteng, melihat budaya China lebih dekat dan mengenali ajaran Buddha yang lebih menekankan pada penyebaran Dharma dari pada penyebaran agama.
Vihara kedua yang dikunjungi adalah Vihara Karangdjati yang beraliran Theravada. Berbeda dengan sebelumnya, Vihara Karangdjati tidak bernuansakan China, tetapi lebih ke Jawa, dimana terdapat pendopo untuk menerima tamu dan ruang meditasi yang khusus. Pak Tri Widianto menjelaskan bahwa pokok ajaran Buddha bukanlah ajaran eksklusif yang tertentu untuk pemeluk Buddha saja, tetapi untuk seluruh umat manusia. Bahkan di Vihara Karangdjati, ada juga dari agama lain yang datang saat meditasi.
Hal yang sering disalahartikan selama ini adalah meditasi hanya milik umat Buddha, tetapi tidak. Meditasi adalah laku spiritual untuk mengenali gerak gerik otak kita dan mengasah mental menghadapi masalah. Ini adalah latihan mengolah kepekaan yang tidak dibatasi oleh agama tertentu. Pengolahan kepekaan ini penting karena betapapun banyaknya kata bijak yang kita miliki, itu tak ada manfaatnya ketika tidak dipraktikkan.
Didirikan pada tahun 1958, usia Vihara Karang Jati yang juga berlokasi di desa Karang Jati, lebih tua dari pada usia kampung itu. Sehingga, meskipun mayoritas penduduk sekitar beragama Islam, tidak pernah ada keributan atau gesekan antar agama. Hal ini karena Vihara Karang Jati selalu menekankan keharmonisan dan perasaan kasih (compassion), pada seluruh umat manusia.
Vihara Karang Jati menaungi Puja bakti, pusat pelayanan keagamaan, dan pendidikan. Khusus untuk meditasi, kegiatan ini dibuka untuk umum. Artinya, siapapun dan dari agama dan golongan manapun boleh mengikutinya. Kegiatan yang dilakukan tiap malam jumat ini bahkan pernah diikuti oleh beberapa turis mancanegara.
CRCS-UGM
Abstract
My thesis is a critical analysis of the galleries of Islamic Art in the Metropolitan Museum of Art (Met) in New York as a case study for contemporary understandings and representations of Islam through the display of Islamic art in a post-9/11 context. I explore the revival of Islamic art exhibitions since the events of September 11, 2001, where museums across the world have found themselves tasked with building and reconfiguring the display of Islamic art objects to provide visitors with a counter-narrative to the widespread fear of Islam propagated by mass media. By tracing the intertwined histories of the Islamic art discipline, colonial and post-colonial collecting practices, Orientalism and the universal survey museum, I situate my critique of the galleries within the complex realities of cultural heritage management in order to address the problematic limitations of this curatorial counter-narrative.
Speaker
Ruby Robina Saha is a Shansi English Language Teaching Fellow at Universitas Gadjah Mada. She divides her time between CRCS, where she co-teaches the Academic English course and the preparatory Summer Intensive course, and the English Language & Literature Department in the Faculty of Cultural Sciences (FIB). Prior to her appointment as a Shansi Fellow, Ruby received her BA(Hons) from Oberlin College, where she majored in Art History and Middle Eastern Studies. In 2013, she was awarded the Laurine Mack Bongiorno Prize for Art History majors, and she studied Art History and Politics at the University of Paris, where she carried out research on the galleries of Islamic art at the Louvre Museum. She wrote her graduating thesis on the politics of displaying Islamic art in Western museums after 9/11. Ruby has worked as an editor and contributing writer for several publications including The Wilder Voice, The Oberlin Review and Jurnal Humaniora. Since returning to Indonesia, her research interests have shifted to the intersection between culture and education policy, contemporary art and alternative media. After her fellowship, she plans to continue working in education and culture and intends to pursue a graduate degree in Arts Education in 2017.
Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
Keberagaman merupakan salah satu konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang telah disadari sejak awal berdirinya republik ini, sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dijadikan menjadi salah satu falsafah hidup Bangsa Indonesia. Terjadinya konflik-konflik yang berkaitan dengan keberagaman, baik agama dan etnitsitas, memunculkan keresahan sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman dan damai. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator kurangnya kesadaran dan/atau pemahaman masyarakat akan arti keberagaman. Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah merupakan salah satu ruang yang dianggap penting untuk mengakomodir pengetahuan dan pemahaman keberagaman. Sekolah tidak hanya dimaknai sebagai ruang untuk memperoleh pengetahuan untuk mengukur kemampuan kognitif dan prestasi akademis, melainkan sebagai ruang untuk memeroleh nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara kontekstual.
Buku berjudul “Mengelola Keragaman di Sekolah” yang diterbitkan oleh CRCS pada Februari 2016, merupakan salah satu buku yang berkaitan dengan pengelolaan keberagaman di Indonesia, khususnya di sekolah. Buku ini memuat tiga belas artikel yang ditulis oleh para guru yang berasal dari beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melalui Kompetisi Esai Guru yang diselenggarakan oleh penerbit. Ide dalam artikel-artikel tersebut berdasarkan pada pengalaman proses belajar-mengajar yang dialami langsung oleh para penulis.
Secara holistik, keberagaman yang ditampilkan dan dibahas dalam buku ini tidak terbatas pada agama, etnis, budaya/adat-istiadat, bahasa, gender dan status sosial. Keberagaman dalam pengertian yang lebih luas mencangkup keberagaman kecerdasan naradidik, yang dibahas oleh Sangidah Rofiah dalam artikel berjudul “Pembelajaran Berbasis Keragaman Kecerdasan dengan Pendekatan Neuro Linguistik Programming (NLP) pada Mata Pelajaran PAI”, sampai pada keberagaman respon dan metode mengajar yang diterapkan oleh para pendidik. Dengan demikian, buku ini menyediakan pemahaman yang lebih luas pada makna keberagaman itu sendiri.
Buku ini menunjukkan potret pengelolaan keragaman melaui pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah negeri dan swasta baik yang berbasis agama dan bersifat homogen, maupun sekolah inklusi. Ada beberapa sekolah yang secara institusional sudah menerapkan kurikulum dan metode pengelolaan keragaman dalam proses belajar mengajar untuk membangun toleransi peserta didik, seperti yang diterapkan di Sekolah Negeri Satu Muntilan, Sekolah Tumbuh Yogyakarta, dan Yayasan Budi Mulia Yogyakarta. Sementara itu, beberapa penulis masih berupaya mengelola keragaman melalui mata pelajaran yang diampu dengan menerapkan metode pengajaran yang kreatif. Pentingnya pengelolaan keragaman dalam konteks Indonesia dan peran sekolah dalam upaya tersebut diutarakan oleh semua penulis dalam buku ini, meski sebagian menyampaikan secara implisit.
Pengelolaan keragaman dalam lingkup sekolah bukan sesuatu yang mudah dilakukan, dimana hal tersebut menuntut kesadaran banyak pihak, mulai dari naradidik, pendidik, dan para pemangku kepentingan di sekolah. Metode-metode yang telah diterapkan oleh para penulis, seperti debat, fieldtrip, diskusi kelompok, menempatkan naradidik sebagai subjek aktif dalam proses belajar-mengajar dalam upaya menggali nilai-nilai keragaman. Upaya yang demikian diharapkan dapat memperdalam pemahaman naradidik tentang keberagaman yang tidak terfokus hanya pada ranah kognitif dan bersifat normatif, tetapi juga pada ranah afektif dan praksis. Dengan demikian, pemahaman akan makna kebhinakaan diwujudkan dalam hidup yang toleran dan damai. Peran para pendidik dan pemangku kepentingan juga sangat penting dalam upaya pengelolaan keragaman. Wawasan pengetahuan dan kreatifitas para guru serta kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh stakeholders memiliki peran yang sangat penting dalam upaya tersebut. Imam Mutakhim secara khusus memaparkan hal tersebut dalam artikelnya di bagian akhir buku ini. Mutakhim berpendapat bahwa seluruh unsur meliputi guru, kepala sekolah, karyawan, dll., merupakan elemen yang saling terkait dan penting dalam mengelola keragaman di sekolah (p.178). Jika salah satu pihak bersifat pasif maka kemungkinan hal tersebut sulit terlaksana.
Book Title: Mengelola Keragaman di Sekolah, Gagasan dan Pengalaman Guru | Author: Anis Farikhatin, Arifah Suryaningsih, Dani Bilkis Saida Aminah, dkk | Pubhlisher: CRCS UGM | Year: Februari 2016 | Paperback: xi + 96 pages | ISBN: 978-602-72686-5-4
Download books here
Sembilan mahasiswa CRCS dari dua angkatan yang berbeda berhasil memeroleh gelar Master of Art dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya pada prosesi wisuda Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Selasa, 19 April 2016. Sebagian besar dari mereka mendapatkan penghargaan sebagai wisudawati-wisudawan berprestasi dengan predikat cum laude. Tema thesis mereka pun cukup beragam mulai dari etika, budaya lokal, kesehatan, media online, humanitarian, tato, aliran kepercayaan, lingkungan hingga gerakan keagamaan. Berikut nama-nama dan karya thesis mereka:
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Graduate School, Gadjah Mada University proudly announces the call for Thesis Award. The Award is aimed to encourage CRCS students of batch 2015 to write a high quality of master thesis and a publishable article out the thesis on “Religious Education in Higher Education.”
The requirements of the Thesis Award are:
Aziz Anwar Fachrudin | CRCS | Article
Among the challenges Muslims face when they are engaged in the recently overwhelming debate on whether Islam is a religion of violence/peace is the fact that the Quran contains many verses which, at least when seen at a glance, promote violence. Indeed, there are verses in the Quran that even encourage fighting and killing, addressed to those considered unbelievers/infidels (kuffar) and/or polytheists (mushrikin); and when they are read and interpreted literally, they can be seen as preaching hatred toward non-Muslims. Moreover, some of those verses have been picked by the Islamic State (of Iraq and al-Sham, or ISIS) to justify its atrocities toward those having different beliefs. On the other hand, those “violent verses” are often cited by many involved in the debate, particularly by Islamophobias in the West, to discredit Islam and to show that Islam is a religion of violence, instead of peace.
This paper is going to examine those “violent verses’; not all, but some of them that have similar redaction. That is, those verses which read, more or less, “kill them wherever you find them”. There are three verses which are like that: (1) QS. al-Baqarah [2]:191; (2) QS. al-Nisa’ [4]:89; and (3) QS. al-Tawbah [9]:5. It is to examine both the classical and the modern interpretations of those three verses. By classical interpretations I mean the interpretations and commentaries of those verses as in classical books of tafsir written by medieval, pre-modern Muslim scholars of exegesis, to which very often many Muslims today still refer. By modern interpretations I mean the interpretations and commentaries that are written by modern Muslim exegetes. Along this line of elaboration, I shall compare both in order to know to what extent there has been a change in interpretations of the abovementioned verses.
This paper shall therefore be intended to convey three things. First is to show both classical and modern interpretations of those verses. Second is to point out what we will get when we compare those two types of interpretations and how the verses have been interpreted differently. Third, this paper shall be finished by some hermeneutical reflections resulting from the examination of both the classical and the modern interpretations. As for the classical interpretations, the books of tafsir that shall be mostly referred to in this paper are that of al-Tabari (839-923), Al-Razi (1149-1209), al-Qurtubi (1214-1273), and Ibn Kathir (1301-1373). While for the modern interpretations, the books of tafsir that shall be referred to are that of Rashid Rida (1865-1935), al-Sha‘rawi (1911-1998), Al-Zuhayli (1932-2015), and Quraish Shihab (1944-…). All these books of tafsir contains exegeses that are elaborated in chronological, chapter-based way, or verse by verse conforming to the way the verses are serially organized in the Quran. (This way is technically known as al-tafsir al-tajzi‘i or tafsir based on chapters or partitions of the Quran, as compared to al-tafsir al-mawdu‘i or tafsir based on themes/topics.) In this paper, when I mention a name of a mufassir (exegete) of them, it means I refer to his interpretations/commentaries that come after the verse being discussed. Read more in religio.uinsby.ac.id
*Aziz Anwar Fachrudin is CRCS Student batch 2014