Film title : Growing Cities (2013, USA)
Director : Daniel Susman
Producer : Dana Altman
Editor : Alexandru Moscu
Writers : Andrew Monbouquette, Daniel Susman
Storyline
In their search for answers, filmmakers Dan Susman and Andrew Monbouquette take a road trip and meet the men and women who are challenging the way this country grows and distributes its food, one vacant city lot, rooftop garden, and backyard chicken coop at a time. Join them as they discover that good food isn’t the only crop these urban visionaries are harvesting. They’re producing stronger and more vibrant communities, too.Written by IMDb: Titles With Plot Summary Written By “Growing Cities Official” Sorted by Title Ascending
We invite friends from Sekolah Petani Muda (School of Young Farmer) Sleman, Yogyakarta to share with us in the discussion. Join us!
CRCS’s location: click here
CRCS
Keberlangsungan suatu Program Studi sangat tergantung pada kinerja para staf di dalamnya. CRCS UGM pada tahun 2015 telah menempuh usia 15 tahun. Suatu perjalanan panjang dalam menanggapi isu keragaman di Indonesia. Di tengah perjalanan itu, Program Studi ini ternyata telah mendapat pengakuan tertinggi dari BAN PT dengan akreditasi A. Tentunya, ini adalah sebuah pencapaian berkat usaha dan kerja keras staf pelopor Ilmu Agama di Indonesia ini.
Berikut ini, tim website CRCS sengaja melakukan wawancara dengan salah satu sosok di balik pencapaian prodi ini, Linah Khairiyah Pary atau biasa dipanggil Mbak Lina yang telah menjabat sebagai office manager CRCS sejak tahun 2009. Perjalanan akademisnya cukup mengagumkan karena mampu lulus dari dua program master di dua universitas yang berbeda pada saat yang hampir bersamaan. Saat menempuh pendidikan S2 di CRCS, dia juga mengambil S2 jurusan manajemen pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Seorang kolega di CRCS mengisahkan, “Mbak Lina bahkan harus jalan kaki dari UNY ke UGM lebih dari satu kali setiap hari”. Nampaknya, pengalaman inilah yang menjadikan dia mampu menata semua urusan administrasi dan akreditasi secara memuaskan.
Untuk lebih jauh mengetahui bagaimana pengalaman Mbak Lina di CRCS, simak wawancara Subandri Simbolon berikut ini:
Berkaitan dengan proses akreditasi CRCS, bagaimana suka-duka yang dihadapi Mbak Lina? Apa saja yang dilakukan baik secara personal maupun team?
Akreditasi BAN PT merupakan proses sertifikasi 5 tahunan yang wajib dijalani oleh institusi pendidikan di Indonesia. Karena ini merupakan proses 5 tahunan, tentu kendala yang dihadapi adalah menghadirkan kembali dokumen-dokumen akademik, penelitian, kerjasama, pengabdian masyarakat dll. yang telah dilakukan CRCS selama 5 tahun. Selama proses persiapan akreditasi, saya tidak merasakan kendala yang berarti karena tim akademik, keuangan dan administrasi sangat solid dalam membantu mengisi borang akreditasi BAN PT. Selain itu, CRCS memiliki lumayan banyak pengalaman dalam bidang audit. Perlu diketahui, selain audit Akreditasi oleh BAN PT yang berlangsung 5 tahun sekali, CRCS juga diaudit oleh KJM (Kantor Jaminan Mutu) UGM setiap tahun. Selain itu setiap semester, CRCS juga di audit oleh auditor internal ISO SPs UGM dan setiap 3 tahun juga diaudit oleh auditor eksternal SGS. Sejak tahun 2009, CRCS telah tersertifikasi ISO 9001:2008 oleh SGS. ISO 9001 sendiri merupakan standar international dalam bidang sistem manajemen mutu. Dengan telah tersertifikasi ISO 9001:2008, sangat wajar jika CRCS mendapat akreditasi A dengan skor 373 (dari skor maksimum 400).
Sangat mengesankan, berkat kerja keras Mbak Lina dan tim, CRCS akhirnya memperoleh Akreditasi dengan nilai A. Apa saja strategi yang Mbak Lina lakukan sehingga mampu memperoleh nilai itu?
Sekali lagi ini bukan kerja keras saya saja, proses persiapan akreditasi merupakan kerja tim. Dalam hal ini saya sangat mengapresiasi mas Catur Agus Suprono yang sangat sabar dan telaten menyediakan data-data yang saya butuhkan dalam mengisi dan mengolah borang. Selain itu, saya juga sangat mengapresiasi Mbak Nurlina Sari, staf keuangan CRCS yang sabar dan cekatan membantu mengisi borang terkait pembiayaan. Dukungan Koordinator Akademik dalam mereview kembali borang sangat penting untuk memperbaiki kualitas borang. Selain itu, bantuan teknis dari mas Bibit Suyadi semakin mensolidkan kinerja kami dalam mempersiapkan proses reakreditasi CRCS.
Terkait dengan strategi untuk memperoleh nilai A (sangat baik), ada beberapa hal yang kami lakukan: 1). Membentuk tim dan membuat job deskrispi yang jelas untuk masing-masing staf dalam membantu mengisi borang akreditasi dan menyiapkan dokumen-dokumen pendukung. 2). Membuat deadline dan mentaati deadline terkait tahapan waktu pengisian borang, review borang, penyerahan borang ke KJM UGM dan pengiriman borang ke BAN PT. 3). Mentaati ketentuan KJM UGM untuk menyerahkan borang akreditasi ke KJM UGM untuk direview oleh auditor internal UGM. Proses ini sangat penting, karena auditor internal UGM merupakan auditor BAN PT juga. Auditor internal UGM bertugas menilai borang tersebut serta memberikan masukan-masukan perbaikan. Saya merasa fasilitas yang ditawarkan KJM ini sangat “wah” dan sangat berharga. Fasilitas ini kami manfaatkan dengan baik.
Apa yang Mbak Lina Rasakan selama proses dan setelah mendapat hasil?
Selama proses persiapan akreditasi, saya berusaha untuk fokus dan teliti dalam mengisi borang dan mempersiapkan dokumen-dokumen pendukung. Selama beberapa bulan berhadapan dengan borang tentu timbul rasa bosan dan bete. nah… untuk mengatasi rasa bosan, biasanya sambil mengisi borang saya pasang headset dan mendengarkan berbagai macam musik, mulai dari Adele, John legand, Sam Smith, Kitaro, hingga Jhoni Iskandar dan Rhoma Irama (variasi musik lumayan membantu mood saya dalam mengolah borang:). Bagi saya, akreditasi merupakan sesuatu yang sangat prestisius, CRCS juga merupakan lembaga pendidikan yang prestisius, sebagai staf, saya merasa wajib untuk memberikan kinerja terbaik saya agar CRCS mendapatkan akreditasi A. Dan alhamdulillah, atas kerja keras semua staf, CRCS berhasil memperoleh nilai A.
Kesan dan pesan apa yang ingin Mbak Lina sampaikan kepada seluruh Civitas Akademika CRCS?
Pesan saya untuk teman-teman staf, semoga kita selalu solid, guyup, dan hangat dalam bekerja. Saya merasa beruntung, bekerja di CRCS dan mendapat teman-teman kerja yang saling mendukung. Pesan saya untuk mahasiswa CRCS, fokus dalam studi, jalin persahabatan dengan teman-teman dan cepatlah lulus. CRCS hanyalah salah satu batu loncatan dalam mengeksplor dunia. Makanya… cepatlah lulus.
Protecting the Sacred: An Analysis of Local Perspectives on Holy Site Protection in Four Areas in Indonesia | Author: Dr. Suhadi Cholil | Pages: IX+94 Pages| Size: 16 x 23,5 cm | ISBN: 978-602-72686-4-7| Year Publishing: Januari 2016
Indonesia is home to communities of believers in the world’s major religions and traditions, in addition to various indigenous religions and other smaller world religions. Holy sites, varying from mosques to temples to churches to tombs, can be found in all corners of the archipelago. Despite this abundance of holy sites, there is a general lack of knowledge, understanding, and respect for these sacred spaces. Holy sites, particularly houses of worship and other sacred places, are often the target of violence during conflicts in Indonesia. That is why there is an urgent need to promote the significance of public understanding of houses of worship and holy sites.
This book investigates three key questions: (a) To what extent can the Universal Code of Conduct on Holy Sites be used to campaign for respect and protection towards houses of worship and holy sites in Indonesia? (b) What are the public’s perceptions and public knowledge about houses of worship and holy sites as well as its attitude towards the recognition and respect for them? (c) How does social change affect the relationship between religions and the protection of houses of worship and holy sites in certain areas of Indonesia? The investigation took place in four areas of Indonesia: Manado, Pontianak, Bali, and Bekasi.
Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
Persepsi tentang Papua kerap diliputi dengan isu-isu konflik. Selain konflik ekonomi-politik, juga ada konflik saudara (suku) serta kekerasan yang mengatas namakan agama. Fenomena-fenomena tersebut menggoda orang untuk mengimajinasikan wajah Bumi Cendrawasih yang ‘murung’ dan ‘menyeramkan’. Persepsi yang demikian semestinya tak boleh menutup harapan dan mata kita untuk menilik bahwa ada kisah kedamaian di Tanah Papua. Dalam hal ini, buku Papua Mengelola Keragaman berupaya menunjukkannya.
Buku tersebut merupakan tulisan reflektif hasil kunjungan peserta program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) ke-V ke Kampung Wonorejo, yang diselenggarakan oleh CRCS bekerjasama dengan STAIN Al-Fatah, STFT Fajar Timur, dan LSM Ilalang Jayapura. Buku ini memuat kisah pengalaman masyarakat Kampung Wonorejo, Kabupaten Keerom, Papua, dalam upaya merajut kedamaian di tengah-tengah keberagaman. Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian; setiap bagian terdiri dari beberapa tulisan dan diakhiri dengan sebuah cerpen. Tulisan-tulisan di dalamnya berupaya memberi gambaran interaksi masyarakat Wonorejo dan bagaimana pemerintah setempat mengelola perbedaan antar warga Wonorejo.
Tulisan-tulisan pada bagian pertama menggambarkan konteks kehidupan dan interaksi masyarakat di Kampung Wonorejo, sebuah desa yang terletak di daerah tapal batas antara Papua dan Papua New Guinea. Banyak warga Desa Wonorejo yang merupakan para transmigran yang berasal dari Pulau Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di desa ini, mereka dengan latar belakang kebudayaan, adat-istiadat, dan agama berbeda hidup bersama. Memiliki sejarah perjuangan hidup yang sama membuat mereka hidup senasib sepenanggungan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi masyarakat Wonorejo untuk membangun kehidupan yang toleran, seperti yang diceritakan oleh Yali dan Kleopas. Interaksi antaretnik yang terjadi di Wonorejo juga terwujud dalam proses transfer pengetahuan. Oktovina dalam tulisannya menjelaskan proses itu, yang terjadi di antara para perempuan transmigran dari Jawa dan para perempuan Papua dalam mengolah bahan makanan, seperti pengolahan singkong menjadi kue yang dipelajari perempuan Papua dari perempuan Jawa, dan pengolahan sayur pohon pisang yang dipelajari oleh perempuan Jawa dari perempuan Papua.
Bagian kedua buku ini, Praktik Pengelolaan Keragaman, memuat tulisan mengenai praktik konkret pengelolaan keragaman kultur dan agama yang ditransformasi oleh masyarakat dalam wujud toleransi dan kedamaian. Tulisan Roni Hamu, misalnya, menunjukkan praktek pengelolaan keragamaan melalui adaptasi dan transformasi dalam tradisi bakar batu, yang tidak menjadi tradisi ekslusif salah satu kelompok etnis, tapi melibatkan dan merangkul seluruh masyarakat yang ada di Desa Wonorejo. Praktik pengelolaan keragaman lainnya dapat dilihat adalah semangat gotong royong dalam membangun rumah ibadah, yang melibatkan seluruh warga, terlepas dari identitas keagamaan yang dianut. Selain itu, sikap toleran juga ditunjukkan melalui upacara atau perayaan keagamaan seperti Idul Fitri dan Natal, dengan saling mengunjungi dan menyampaikan ucapan selamat. Dalam hal ini, keterlibatan para tokoh agama, pemangku adat dan pemerintah lokal memiliki peran penting dalam proses pengelolaan keragamaan. Mereka menjadi fasilitator dalam proses penyelesaian konflik yang terjadi.
Meskipun secara umum Kampung Wonorejo dapat dinyatakan toleran, desa ini sempat mengalami ketegangan dan konflik. Pada bagian ketiga buku ini, Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya, para penulis memaparkan bagaimana ketegangan dan konflik diatasi oleh masyarakat Wonorejo. Melalui kisah-kisah dalam buku ini, diketahui bahwa konflik tidak hanya terjadi dari internal masyarakat setempat, namun karena adanya campurtangan pihak luar yang lebih bersifat politis. Selain itu, konflik yang terjadi tidak semata-mata berkaitan dengan masalah perbedaan etnik dan agama, tetapi juga masalah kesenjangan ekonomi. Namun demikian, dalam penyelesaiannya, masyarakat multietnik di Wonorejo menemukan pola-pola sederhana dalam penyelesaian konflik yang mereka hadapi. Misalnya dengan menetapkan balai kampung sebagai tempat pertemuan untuk melakukan dialog dalam upaya menyelesaikan setiap konflik yang terjadi. Dengan demikian, setiap warga dapat terlibat dan melihat langsung proses tersebut, sehingga menjadi pembelajaran bagi mereka. Mekanisme penyelesaian konflik lainnya misalnya, dengan membuat perjanjian dan penetapan sanksi terhadap mereka yang melakukan suatu kegiatan yang menimbulkan konflik. Arfan menjelaskan bahwa upaya tersebut merupakan antisispasi yang baik dalam mengurangi risiko konflik di tengah masyarakat. Secara singkat dapat dipahami bahwa proses penyelesaian konflik yang dilakukan di Wonorejo bersifat internal dan lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan.
Ada banyak pengulangan narasi dalam setiap tulisan, terutama berkaitan dengan data informatif tentang Kampung Wonorejo. Selain itu, harus diakui bahwa para penulis tidak melakukan sebuah analisis yang mendalam terhadap kisah yang telah dituliskan. Namun demikian, kisah-kisah tersebut dapat menyadarkan kita bahwa sikap toleran dan damai masih ada di Bumi Cendrawasih. Dengan menjadikan masyarakat Wonorejo sebagai studi kasus, buku ini bisa menjadi cermin untuk membantu kita bagaimana cara menemukan nilai-nilai kultural di masyarakat dalam upaya mengelola keragaman.
Judul : Papua Mengelola Keragaman | Editor : M. Iqbal Ahnaf, dkk. | Tahun Terbit : 2015 | Penerbit: CRCS
Papua Mengelola Keragaman
Azis Anwar Fachrudin | CRCS | Article
As the Islamic State (IS) organization destroyed ancient statues aged thousands of years at the Mosul museum in Iraq last month, almost at the same time some Muslims demanded that the Jayandaru statues in the Sidoarjo town square in East Java should be torn down too. Their reasons were similar: They regarded the statues as idols being worshipped and idolatry is considered part of polytheism or shirk, the biggest and most unforgivable sin in Islam. Sadly, the demands in Sidoarjo were primarily supported by GP Ansor, the youth wing of the supposedly “moderate” Nahdlatul Ulama (NU).
NU is often associated with being against “purification” (a literal interpretation of Islam) and it usually would be in the forefront of safeguarding “holy graves” against the threat of destruction, particularly the graves where those considered Muslim saints are buried. The NU highly condemns IS, including its blasting of holy shrines like the tomb of the Prophet Jonah (Yunus) in Iraq, and the actions of al-Nusra, such as its destruction of the grave of the leading imam an-Nawawi in Syria.
In fact, the embryo of NU in the early 20th century was a movement protesting the destruction of tombs of respected Muslim figures and sites that had historic importance for Muslims in Saudi Arabia (named Hijaz at that time). The destruction was carried out under the convictions of Wahhabism that regarded those shrines as sources of shirk.
What we are now dealing with is here, however, are statues, which is different from the contentious status of holy tombs. Many Muslims still visit graves of the holy figures; there is no clear prohibition of such a practice in primary Islamic sources of teachings. Yet there are several explicit prohibitions based on hadiths or prophetic traditions (which are secondary sources) of making full-figured statues or images of living creatures, either human or animal.
IS justifies its actions with those hadiths, relying also on the narrated story that the Prophet Muhammad commanded the destruction of statues (or, to be precise, idols) surrounding the Ka’ba in the eighth year following his conquest of Mecca.
The same justification was employed also by Afghanistan’s Taliban when in 2001 they blew up the two giant statues of Buddha in Bamiyan made in the 6th century — without knowing that there is no concept of a personal God in Buddhism, which is a non-theistic religion, and the statues of Shakyamuni Buddha are not subject to worship in the sense understood by monotheists.
That is it. Without denying the possibility of the political or economic factors in the aforementioned cases, the question here is whether Islam promotes iconoclasm or the destruction of idols. Iconoclasm is not unique to Islam (or, to be exact, Muslims); Judaism and Christianity also share history or scriptural teachings of iconoclasm. The story of the golden statue of a calf in the time of Moses is shared by the three religions. Iconoclasm was commanded by Hezekiah, the king of Judah (Two Kings 18:4) and King Josiah (Two Kings 23:1-20).
It appears also in the rabbinical Midrash, the story of Abraham as the iconoclast destroying idols made by his father. In Christianity, disputes over iconoclasm occurred in the Byzantine and Protestant Reformation era.
That is what is narrated in the scripture or “history”. As for Islam, while the Prophet Abraham is reported in the Koran to be destroying idols (asnam) of his people (Koran 21:52-67), the holy book says of King Solomon, considered a prophet by Muslims, that “they [the jinns] made for him [i.e. Solomon] what he willed: synagogues and statues [tamathil], basins like wells and boilers built into the ground.”
The Koranic terminology appears to differentiate between a mere statue (timthal) and an idol or statue being worshipped (sanam).
Muslim scholars all agree that it is prohibited for Muslims to worship statues because it makes them idolatrous. But that distinction between timthal and sanam matters very much when it comes to the contentious status of statues that are not worshipped.
Some Muslim scholars, such as the leading reformer Muhammad Abdul, Jadul-Haq (a former Grandsheikh of al-Azhar), and Muhammad Imarah (a renowned Muslim thinker), argued that it is allowed to have statues as long as they are not worshipped.
And in the fundamentals of Islamic jurisprudence (usul al-fiqh), “rulings are based on their raison d’etre [‘illah al-hukm]; when the raison d’etre disappears, the rulings do not prevail.”
That argument is supported by historical evidence of the early Muslim generations. The companions of the Prophet (such as Amr ibn al-Ash in Egypt and Sa’d ibn Abi Waqqas in Iraq) led conquests in many places, but did not destroy the ancient statues they found, because those statues were no longer worshipped.
Sphinxes still exist in Egypt. Those Mesopotamian statues had been there for centuries before being demolished by IS. The Bamiyan Buddha statues were there before being attacked by the Taliban.
In fact, when the Taliban were under Mullah Mohammed Omar, he once issued a decree in favor of the preservation of the Bamiyan statues by arguing that, besides the fact that a Buddhist population no longer existed in Afghanistan, the statues could be a potential major source of tourism income for Afghanistan.
Statues in the Borobudur Buddhist temple are also still there, although nine stupas were damaged during the 1985 Borobudur bombing. In general, most Muslims, either as a minority like in India or as a majority like in Indonesia, have no problem with statues, unlike those who prefer a literal interpretation of the Prophet’s sayings, or hadiths. Scripturalism is the very problem of IS-like Muslims; it denies the imperative that scripture must be contextualized with surrounding circumstances and contrasted with historical evidence.
Furthermore, in the heart of the holiest site for Muslims — the Ka’ba — there is a black stone (al-hajar al-aswad), that was venerated in the pre-Islamic pagan era and is kissed by Muslims while doing pilgrimage. That stone is considered sacred by many Muslims; some of them touch it to get sort of blessing or expiation of sins. And in regard to this practice, the second caliph Umar ibn al-Khattab has frequently been quoted as saying, “I know that you are a stone and can neither harm nor benefit anyone. Had I not seen the Messenger kissing you, I would not have kissed you.” That is, it is not statues, images, or stones that matter; it is Muslim minds that do.
For some nahdliyin (NU members), then, can we regard those statues in Sidoarjo as merely statues or stones that are not worshipped?
CRCS offers following courses during the second semester of 2015/2016 academic year. Those courses are open for graduate students (S2/MA and S3/PhD) of humanities and social science, but subject to availability of seats. Non CRCS students interested to enroll for a course(s) should contact Lina Pary (lina_pary@yahoo.com). All courses will begin the first week of February 2016 and continue for 14 weeks.