Mahkamah Konstitusi: Pengosongan Kolom Agama bagi Penghayat Kepercayaan Bertentangan dengan UUD 1945
MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan di KK dan KTP.
MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan di KK dan KTP.
Redaktur Web | CRCS | Berita
Dalam aturan perundang-undangan, para penghayat kepercayaan atau penduduk yang agamanya “belum diakui” diminta untuk tidak mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), “tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.
Namun pada kenyataannya di lapangan, para penghayat kepercayaan yang mengosongkan kolom agama di KTP tidak mendapatkaan pelayanan yang setara sebagaimana warga negara pada umumnya, bahkan mengalami diskriminasi.
Kenyataan itu mendorong sejumlah pemohon mengajukan pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon yang berasal dari kepercayaan Marapu (Sumba Timur), Parmalim (Sumatera Utara), Ugamo Bangsa Batak (Sumatera Utara), dan Sapto Darmo (Jawa) memohon judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) jo. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Adminduk 2006.
Beberapa dari perlakuan diskriminatif yang menimpa para pemohon berupa ketidaksetaraan dalam akses terhadap pekerjaan, akses terhadap hak atas jaminan sosial, dan tidak diakuinya perkawinan adat mereka yang berimbas pada akta kelahiran anak dan pendidikannya. Dalam beberapa kasus juga ditemukan stigma-stigma negatif dalam kehidupan sosial mereka. Dalam kasus lain ditemukan ada yang terpaksa mengisi kolom agama dengan agama yang bukan kepercayaannya agar administrasi pembuatan KTP “lebih mudah”.
Para pemohon menilai bahwa pengosongan kolom agama untuk pemeluk agama yang “belum diakui” bertentangan dengan prinsip kesetaraan warga negara di depan hukum. Para pemohon juga menekankan bahwa kebebaasan dari perlakuan diskriminatif telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar, UU Hak Asasi Manusia Tahun 1999, dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia.
Dalam rangkaian judicial review di MK itu, salah satu dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Dr. Samsul Maarif, hadir sebagai salah satu saksi ahli pada Rabu 3 Mei 2017. Alumnus dan kini pengajar di CRCS ini meraih gelar Ph.D. dari Arizona State University pada 2012 dengan disertasi tentang praktik keagamaan masyarakat Ammatoa di Sulawesi Selatan.
Di hadapan 9 hakim konstitusi, Samsul menguraikan hubungan negara, agama, dan kepercayaan yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah politik Indonesia. “Sejarah relasi negara, agama, dan kepercayaan senantiasa berada dalam konteks politik rekognisi,” demikian ujarnya sebagaimana terkutip dalam Risalah Sidang MK.
Presentasi Samsul memaparkan bahwa pada era Orde Lama, agama didefinisikan dengan sangat eksklusif, yaitu yang memiliki kitab suci, nabi, dan pengakuan internasional. Definisi ini menjadi penentu siapa yang dilayani (penganut agama “resmi”) dan siapa yang tak dilayani (penganut kepercayaan). Pemerintah Orde Lama bahkan membentuk Pengawas Aliran Kepercayaan (PAKEM) pada 1953.
Meski mendapat pengawasan, para penganut aliran kepercayaan berhasil berkonsolidasi. Departemen Agama pada waktu itu melaporkan bahwa pada 1953 telah ada 360 organisasi Kebatinan/Kepercayaan. Terwadahi dalam Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI), organisasi-organisasi kebatinan itu berhasil menyelenggarakan kongres pertama pada 1955 dengan ketuanya Mr. Wongsonegoro, salah satu perumus UUD 1945.
Pergolakan politik sempat terjadi pada 1965. Pada tahun ini lahir Penetapan Presiden (yang nantinya menjadi UU PNPS 1/1965 tentang Penodaan Agama) yang ingin melindungi agama dari penodaan oleh aliran kepercayaan. Setelah peristiwa 30 September 1965, aliran kepercayaan mendapat tekanan besar: mereka dicurigai sebagai bagian dari komunisme.
Nasib penghayat kepercayaan sempat membaik ketika pada 1970 Golkar membentuk Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan (SKK). BKKI lalu bertransformasi menjadi Badan Kongres Kepercayaan Kejiwaan Kerohanian Kebatinan Indonesia (BK5I). Pada 1973 TAP MPR tentang GBHN menyatakan bahwa agama dan kepercayaan adalah ekspresi kepercayaan terhadap Tuhan YME yang sama-sama “sah”, dan keduanya “setara”.
Momen yang paling berimbas terhadap nasib aliran kepercayaan terjadi pada 1978. Pada tahun ini keluar Ketetapan MPR yang menyatakan bahwa kepercayaan bukanlah agama, melainkan kebudayaan. TAP MPR Nomor 4 Tahun 1978 ini juga mengharuskan adanya kolom agama (yang wajib diisi dengan salah satu dari 5 agama) dalam formulir pencatatan sipil. Mulai tahun inilah kolom agama tercantum dalam KTP. “Pada periode kedua Orde Baru, mulai 1978, agama mulai ‘diresmikan’—saya pakai tanda kutip, [karena] ini politik,” ujar Samsul, yang mengajar mata kuliah Indigenous Religions (Agama-agama Lokal) di CRCS.
Pada era pascareformasi, dengan masuknya klausul-klausul HAM dalam instrumen legal negara, para penganut kepercayaan kembali mendapat pengakuan. Dengan instrumen HAM, para penganut kepercayaan terlindungi dari pemaksaan untuk pindah ke agama “resmi”. Namun diskriminasi masih ada, yaitu dengan adanya Pasal 61 UU Adminduk 2006: identitas kepercayaan tidak dicatatkan dalam kolom agama.
Dengan peraturan semacam itu, menurut Samsul, negara telah melanggengkan ‘politik rekognisi’. “[Maksud politik rekognisi itu] agama dipakai untuk membedakan warga negara.”
Lebih dari itu, lanjut Samsul, “[Dengan UU Adminduk itu] negara masih melanggengkan stigma sosial terhadap penganut kepercayaan.” Stigma-stigma yang dimaksud adalah tuduhan sesat, ateis, penganut animisme, dan orang-orang belum beragama yang sah sebagai target konversi.
Mengakhiri presentasinya, Samsul merekomendasikan agar permohonan perbaikan UU Adminduk diterima. “Kepercayaan perlu dicatatkan sebagai identitas, sebagaimana kelompok agama lain… Pembedaan tersebut adalah diskriminasi.”
“Saya sadar masalah yang dihadapi kelompok penghayat ini besar, banyak sekali. Yang untuk ini saja sebenarnya saya membayangkan tidak mampu mengatasi semuanya, tetapi akan mengatasi secara signifikan sebagian besar yang dihadapi oleh penghayat kepercayaan.”
Dalam sidang, hampir semua hakim mengajukan pertanyaan. Di antara satu yang paling krusial adalah pertanyaan mengenai kompatibilitas “agama” dan “kepercayaan”. Menurut hakim yang mempertanyakan hal ini, agama perlu dipahami secara teologis dan eskatologis, bukan sosiologis, dan karena itu agama bukan sekadar persoalan administrasi.
Menanggapi pertanyaan ini, Samsul menjawab bahwa konsep agama yang teologis itu pun bukan tak mengalami konstruksi politik, dan karena itu tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah kemunculannya sebagai diskursus. “Agama, yang merupakan terjemahan literal dari religion,” ungkap Samsul, “dipahami dengan menjiplak konsep religion di Eropa.” Para intelektual Eropa menjadikan Kristen sebagai prototype untuk menilai apakah praktik-praktik yang mereka temui di wilayah kolonial layak disebut religion atau tidak. Model konstruksi agama di Barat yang didasarkan pada (teologi) Kristen dijiplak di Indonesia, tetapi prototype-nya adalah (teologi) Islam.
“Jika definisi agama di Eropa dulu adalah untuk menegaskan superioritas Barat atas non-Barat, definisi agama di Indonesia adalah untuk menegaskan politik rekognisi: mengistimewakan kelompok warga negara tertentu dan sekaligus mendiskriminasi kelompok warga negara lain, seperti penghayat kepercayaan,” demikian Samsul menjawab pertanyaan hakim. [CRCS/aaf]
Zainal Abidin Bagir | CRCS UGM | Opini
Tak sedikit tokoh, pejabat, politisi bahkan polisi yang memuji gelombang aksi protes terhadap ucapan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kontroversial itu. Pujian-pujian itu beralasan, karena meskipun kelompok yang memobilisasi atau mendukung demo tampaknya berasal dari spektrum yang amat luas, mulai dari yang sangat moderat hingga yang disebut garis keras, tuntutan akhir mereka sama, yaitu menuntut agar Ahok diproses di jalur hukum, secara adil dan berkeadilan.
Supremasi hukum demi tegaknya keadilan tentu adalah jalan beradab, demokratis dan moderat. Tapi benarkah demikian? Saya khawatir, imajinasi tentang keadaban dan sikap moderat seperti ini terlalu cetek. Tentu tidak keliru, tapi tidak cukup. Penyelesaian masalah melalui jalur hukum harus dipuji, jika alternatifnya adalah respon kekerasan. Namun, khususnya dalam kasus “penistaan agama”, ada banyak alasan untuk meragukan bahwa seruan itu adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah, dan mungkin justru tak menjanjikan keadilan.
Sebab utamanya adalah bahwa peristiwa ini (ucapan Ahok dan pembingkaian atas peristiwa itu sebagai “penistaan agama”), jika masuk pengadilan, kemungkinan besar merujuk merujuk pada Pasal 156A KUHP, yang tidak memiliki karir gemilang dalam sejarah Indonesia. Ini adalah bagian dari pasal-pasal karet “kejahatan terhadap ketertiban umum” dalam KUHP. Pasal yang ditambahkan pada tahun 1969 atas perintah UU 1/PNPS/1965 ini memiliki nilai politis yang amat kuat. Target awalnya adalah untuk membatasi aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang terutama bersaing dengan kekuatan politik Islam pada tahun 1950 dan 1960an.
Setelah tahun 1998, target itu bergeser. Target lama tetap ada, meskipun bukan mengenai aliran-aliran kebatinan lama, tapi gerakan-gerakan baru seperti Salamullah yang dipimpin Lia Eden, atau Millah Abraham. Tak ada isu politik penting dalam mengejar kelompok-kelompok itu, namun alasan utamanya adalah “pemurnian” Islam (dan mungkin alasan soisal-ekonomi-politik lain). Selain itu, tujuan baru penggunaan pasal ini adalah sebagai upaya peminggiran intraagama, yaitu kelompok-kelompok dalam komunitas Muslim sendiri, seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang sebetulnya sudah eksis di Indonesia sejak jauh sebelumnya. Dalam Kristen, ada beberapa kasus serupa. Pasal penodaan agama jarang digunakan sebagai ekspresi perselisihan antaragama, kecuali dalam beberapa kasus.
Melihat rentang wilayah penggunaan pasal KUHP itu, kita bisa segera mencurigai efektifitasnya. Bagaimana mungkin keyakinan (misalnya bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir dalam Islam) dijaga dengan pasal yang sama yang memenjarakan orang selama 5 bulan karena memprotes speaker masjid yang terlalu keras (seperti di Lombok pada 2010; seorang perempuan Kristen yang mengomentari sesajen Hindu (seperti di Bali pada 2013); atau seorang “Presiden” Negara Islam Indonesia yang mengubah arah kiblat dan syahadat Islam, namun kemudian pada 2012 hakim memberi hukuman setahun, untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Itu hanyalah beberapa contoh yang bisa diperbanyak dengan mudah.
Selain rentang implementasi yang demikian luas, persoalan lain adalah amat kaburnya standar pembuktian kasus-kasus semacam itu. Kasus-kasus yang diadili dengan Pasal 156A tersebut biasanya menggunakan cara pembuktian serampangan, dengan pemilihan saksi ahli yang tak jelas standarnya pula (dalam satu kasus pada tahun 2012, seorang yang diajukan sebagai saksi ahli agama bahkan tidak lulus sekolah). Penistaan atau penodaan bukan sekadar pernyataan yang berbeda, tapi—seperti dinyatakan Pasal 156A itu—mesti bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan, bahkan mesti ada maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Apakah Ahok, yang membutuhkan suara mayoritas Muslim Jakarta, berpikir untuk memusuhi mereka?
Selain itu, apakah ia dianggap menghina Islam, atau ulama? Yang dikritiknya adalah Muslim yang disebutnya membohongi pemilih DKI dengan menggunakan ayat 51 surat Al-Maidah. Apakah muslim seperti itu identik dengan Islam, sementara banyak ulama dan terjemahan Al-Qur’an memberikan tafsir berbeda?
Dalam kenyataannya, jika kasus ini masuk ke pengadilan, seperti dapat dilihat dalam banyak kasus, pertanyaan-pertanyaan tentang standar pembuktian kerap diabaikan. Yang menjadi pertimbangan yang tak kalah penting adalah “ketertiban umum” (yang menjadi judul Bab KUHP yang mengandung pasal tersebut). Persoalannya, ancaman terhadap “ketidaktertiban umum” itu lebih sering dipicu oleh pemrotes yang merasa tersinggung, dan bukan pelaku itu sendiri. Karena itulah, demonstrasi besar jilid satu dan dua pada 4 November nanti—dan bukan ucapan Ahok itu sendiri—menjadi penting sebagai dasar untuk menggelar pengadilan atas Ahok.
Pemurnian sebagai politik
Penting dilihat bahwa dalam kenyataannya, Pasal 156A dipakai hanya selama sekitar 10 kali sejak tahun 1965 hingga 2000, dan tiba-tiba dalam 15 tahun terakhir demikian populer, telah digunakan sekitar 50 kali! Apakah setelah Reformasi ada makin banyak para penoda agama atau orang-orang yang sesat? Atau ada penjelasan lain dengan melihat transisi politik pada 1998?
Seperti halnya pasal-pasal kriminal serupa di banyak negara lain tentang “penodaan”, “penistaan”, atau “blasphemy”, upaya seperti ini biasanya memang menggabungkan dua tujuan sekaligus: tujuan penjagaan “kemurnian agama” (tentu dalam versi kelompok yang memiliki kuasa untuk mendiktekannya) dan tujuan politik. Pasal ini menjadi instrumen efektif untuk menjalankan politik “pemurnian” agama, yaitu penegasan kuasa politik suatu kelompok keagamaan.
Pada tahun 2010, UU ini dan Pasal 156A diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Benar MK mempertahankan pasal ini, namun perlu dilihat juga catatan panjang yang diberikan para hakim MK tentang kelemahan-kelemahannya, dan saran agar pasal ini direvisi supaya tidak diskriminatif serta mendukung pluralisme Indonesia. Bahwa ada unsur politik, bukan semata-mata pidana, dalam pasal ini, tampak dalam pertimbangan MK yang panjang, hingga mengelaborasi persoalan filosofis mengenai hubungan agama dan negara, dan sejarah Indonesia sebagai negara berketuhanan.
Bagaimana mengatasi Ahok: Imajinasi yang lebih kaya
Maka kita bisa bertanya, apa sebetulnya tujuan dari keinginan besar untuk mengadili Ahok sebagai penista agama? Soalnya mungkin bukan tentang umat Islam yang sudah seharusnya tersinggung atas upaya penistaan agamanya. Pertama, ketersinggungan itu mungkin dirasakan setelah pernyataan Ahok itu dibingkai orang dan kelompok tertentu, yang lalu memobilisasi massa. (Sekali lagi, ini mirip dengan kasus “penodaan” lain, seperti kasus kartun Denmark.)
Selain itu, jika tak ada alasan politik praktis menjelang pilgub DKI atau yang lain, tapi ini soal menjaga kemurnian agama, benarkah kita mau menggantungkan kemuliaan agama pada satu pasal karet yang sama yang telah digunakan untuk mengadili orang dengan gangguan kejiwaan, pencabut speaker masjid, seorang ibu rumah tangga yang mengomentari sesajen Hindu, atau banyak kasus-kasus lainnya?
Baca lagi –> https://islamindonesia.id/
_________
Penulis adalah seorang Dosen Center for Religious and Cross-cultural Studies – Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.