• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Academic Documents
    • Student Satisfaction Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • SPK
  • SPK
Arsip:

SPK

Call for Applications: SPK Tingkat Lanjut

BeritaBerita Utama Monday, 7 August 2017

SPK Tingkat Lanjut mencari 15 orang alumni SPK dari semua angkatan untuk mengikuti pelatihan tingkat lanjut di Yogyakarta, 2-8 Oktober 2017.

Mendengar Suara Keberagaman dari Alam

BeritaBerita SPKBerita Utama Tuesday, 11 October 2016

Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
img_5739-1Dapatkah bumi, air atau bahkan banjir berbicara? Pertanyaan ini disodorkan Dewi Candraningrum, fasilitator pada pada hari ke dua Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VIII. Pada sesi ke tiga yang bertema “Politics of Identity: Gender, Sexuality, Ecology”, Dewi menggugah peserta SPK VIII untuk menggumuli kembali perbincangan tentang subyektivitas yang tak terbatas pada manusia.
Alam dan bahkan bencana alam juga memiliki suara dan mereka telah berbicara kepada kita semua dengan suara yang sangat keras. Banjir telah berbicara kepada kita bahwa saat ini ia sudah tidak punya rumah lagi. Hutan sudah gundul dan tidak ada lagi daerah resapan air yang cukup menampung semua air hujan, hingga banjir pun berkata. “Aku sudah tidak punya rumah, sekarang aku akan masuk rumah mu!” Melalui kisah ini, Dewi Candraningrum mengajak peserta untuk memaknai bahwa keberagaman tidak hanya terbatas pada manusia tetapi juga entitas selain manusia. Mereka setara dengan manusia dan dapat pula berkomunikasi dengan manusia. Untuk itu manusia harus peka terhadap bahasa-bahasa dari entitas lain yang ‘bersuara dalam keheningan’, sebagaimana alam telah berbicara pada kita.
Berbicara tentang keberagaman mustahil dilakukan tanpa penghargaan terhadap identitas dan subyektivitas. Menurut dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta ini, identitas dapat tampil dalam tiga ruang: pertama, ruang diskursif, sebagaimana ia hadir pada pembicaraan-pembicaraan manusia; kedua, ruang performatif sebagaimana ia ditampilkan; dan yang ketiga ruang historis, artinya identitas yang terkait dengan jejak konteksnya di masa lalu. Dengan kata lain, sebuah identitas tidak dapat dinilai apalagi dihakimi tanpa melihat konteks dan jejak pembentukannya. Mengutip Julia Kristeva, Candraningrum menyatakan, “dalam hidup manusia modern atau bahkan posmodern saat ini ada sebuah horor yang terjadi ketika kita menjadikan sang liyan atau yang berbeda dengan kita sebagai abject atau yang ditakuti dan dianggap merusak tatanan.” Teman-teman LGBTQ dan kelompok-kelompok lain yang berbeda dari kebanyakan orang seringkali menjadi pihak yang di-abject-kan. Padahal, dari keberadaan sang liyan itu kita justru belajar bahwa sesungguhnya kita memang beragam dan kita perlu menerima keberagaman tersebut. “Ini bisa dimulai dengan menghargai sesuatu sebagai subjek, menghargai ia sebagai ia, bukan sebagai benda,” ujar Dewi. Sehingga apapun bentuk atau identitas seksualitas seseorang—laki-laki, perempuan, laki-laki yang hidup sebagai perempuan, perempuan yang hidup sebagai laki-laki, atau seseorang yang hidup dalam kedua identitas tersebut—patut dan perlu kita hargai sebagai subyek. Muara dari ini adalah penumbuhan dua nilai dalam diri kita, yakni kesadaran dan penghormatan terhadap yang lain di luar diri kita.
Sebenarnya keberagaman bukanlah hal baru bagi masyarakat kita. Namun, menurut Dewi, manusia modern pada hari ini tengah mengalami disartikulasi narasi akar dan teritorialisasi manusia dan alam. Yang pertama, kita telah terputus dari narasi-narasi akar. Nenek moyang kita pada zaman dahulu telah lebih dulu menghadapi realitas subjektifitas yang sangat kaya dan mereka dapat menghargainya. Dewi Candraningrum menunjukkan video dokumenter singkat mengenai Suku Bugis. Tak hanya dua jenis gender, Suku Bugis mengenal hingga lima gender. Selain laki dan perempuan, Suku Bugis mengenal Callalai, Callabai, dan Bissu. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam hibiriditas identitas laki-laki dan perempuan. Kelima gender tersebut merupakan kesatuan dan saling terlibat aktif dalam segala praktik kultur di masyarakat, terutama persembahan terhadap alam dan pertanian. Masyarakat Bugis justru memaknai keberagaman identitas itu secara positif dan terkait erat dengan keberlangsungan kesuburan alam.
Yang kedua, Candraningrum menceritakan pengalamannya meng-advokasi para ibu di Kendeng, Jawa Tengah yang menolak eksploitasi alam oleh perusahaan-perusahaan semen nasional adan multinasional. Eksploitasi tersebut terjadi karena teritorialisasi  manusia dari alam. Manusia tidak lagi merasa terlibat dan terikat pada alam atau peristiwa alam yang tengah terjadi di tempat lain. Menurut Candraningrum, bumi adalah satu kesatuan dan tidak terbatasi oleh wilayah administratif. Bahkan kita manusia, adalah juga bagian dari bumi. Sehingga, walaupun ia adalah orang Solo ia merasa perlu terlibat dalam advokasi ibu-ibu Kendeng. Alam adalah Ibu yang tidak boleh dieksploitasi sebab ia adalah ibu kita, sumber hidup kita.
Pada akhirnya, Candraningrum mengingatkan bahwa kita perlu waspada dan hormat terhadap semua subjek dan subjektivitasnya. Kesadaran dan penghormatan terhadap yang liyan itu akan lebih baik jika dipadukan dengan pengetahuan. Sebuah advokasi hanya menjadi baik dan berhasil jika basis kekuatannya adalah pengetahuan yang dijiwai oleh semangat menebar bagi kebaikan seluruh subjek.

Instagram

K I S A H Sejarah perjuangan gender di Indonesia a K I S A H
Sejarah perjuangan gender di Indonesia adalah kisah panjang tentang tubuh, ingatan, dan perlawanan.
Kini, perjuangan itu hadir dalam banyak wajah: perempuan adat, gerakan queer, hingga ulama perempuan. Kesemuanya itu menantang warisan kolonialitas, patriarki, dan kapitalisme, sambil merumuskan ulang masa depan yang lebih adil bagi semua. 
Mari bergabung dalam ruang bincang lintas gerakan ini untuk menapaktilasi jejak perjuangan  dan menenun kembali makna kebebasan dan keadilan gender hari ini.

Selasa, 21 Oktober 2025, Pukul 15:15 WIB
di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM
B E R S I H “Bersih” tidak cukup berarti hanya B E R S I H
“Bersih” tidak cukup berarti hanya ramah lingkungan.
Energi yang benar-benar berkelanjutan juga harus adil bagi manusia dan semesta. Upaya penghadiran energi bersih sudah selayaknya menyatu dengan kearifan lokal, relasi sosial, dan spiritualitas yang hidup di dalamnya.
Mari bergabung dalam sesi ini untuk menimbang ulang makna “energi bersih” yang sejati:
energi yang tidak hanya mengalirkan listrik, tetapi juga kehidupan. ⚡️

Selasa, 21 Oktober 2025, Pukul 13:30 WIB
di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM
D I A L O G Meski sering dipinggirkan oleh epistem D I A L O G
Meski sering dipinggirkan oleh epistemologi modern dan institusi agama, pengetahuan lokal terus hidup dan  mengada. Ia bertumbuh dalam keseharian, menuntun manusia memahami kedirian, serta merawat relasi dengan sesama dan semesta. Kini, tradisi dan kebijaksanaan lokal menghadirkan jalan lain menuju keadilan, kesetaraan, dan keselarasan. Karenanya, dialog antarsistem pengetahuan menjadi ruang penting untuk saling belajar dan menemukan kemungkinan baru dalam merawat kehidupan bersama. 

Yuk gabung dalam diskusi bernas ini sembari merayakan bagaimana tradisi dan pengetahuan lokal membuka cara pandang baru terhadap dunia.

Selasa, 21 Oktober 2025, Pukul 09:30 WIB
di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM
The hijab is not just a piece of cloth. It’s a s The hijab is not just a piece of cloth. It’s a symbol of faith, choice, and strength. 
When women are forced to wear or banned from wearing it, it’s not only their clothing that’s being controlled. It’s their voice, identity, and freedom. This talk sheds light on the deep psychological toll of such coercion and prohibition, but at the same time  celebrates the courage of women who continue to stand tall.

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY