Abstract:
Urban people are always exposed to soundscape, to sounds and noises in their everyday life. With the aid of technology, the soundscape of Yogyakarta has dramatically changed in the last 30-40 years. The sounds which once gave certain characteristics to the city have changed both quantitatively and qualitatively. For most people it does not bother them if they do not pay attention to them. However, people accept certain sounds as acceptable sounds while some other may reject them as disturbing noises. The result of such perceptions create spsychologically different responses, either positively or negatively. Therefore, exploring how people in the City of Tolerance responding to the religious soundscape of the place where they live is an effort to see an interfaith relationship from a different perspective, the auditory angle.
Speaker:
Jeanny Dhewayani, Ph.D. is the Associate Director of Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta.She got her Master degree from University of New Mexico and Ph.D. from Australian National University, both in Anthropology. Now, She is also a professor of anthropology at Duta Wacana Christian University.
tolerance
Asep A.S | CRCS | News
Gunungkidul ditengarai sebagai kabupaten dengan tingkat intoleransi paling tinggi di Yogyakarta. Setidaknya, itulah salah satu hal yang terungkap dalam acara launching buku sekaligus diskusi mengenai laporan advokasi kebebasan beragama bertajuk “Yogyakarta City of (In)tolerance?,” Senin, 2 Mei 2016, di Sekolah Pascasarjana UGM. Informasi mengenai masih tingginya angka kasus intoleransi di Kabupaten ini diketahui setelah Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) melakukan pendokumentasian atas kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan di kabupaten tersebut yang terjadi selama kurun waktu 2011 hingga 2015. Di dalam laporannya, ANBTI mengkategorikan beragam kasus pelanggaran tersebut ke dalam empat kategori, yakni (1) pelanggaran oleh negara atas keinginan mengontrol ekspresi keagamaan; (2) pelanggaran yang terjadi akibat perilaku intoleran yang dilakukan oleh negara dan non-negara; (3) pelanggaran yang terjadi akibat kegagalan negara di dalam mengatasi baik diskriminasi ataupun pelanggaran sosial atas kelompok-kelompok agama tertentu; serta (4) pelanggaran yang terjadi karena menerapkan kebijakan tertentu yang merugikan agama-agama minoritas.
Pada diskusi yang dihelat oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau CRCS melaui program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dan ANBTI ini pembicara dari ANBTI, Agnes Dwi Rusjiati, menyebutkan beberapa contoh peristiwa pelanggaran yang terjadi di Gunungkidul, seperti pengusiran Pendeta Agustinus, penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Semanu dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Playen yang telah memiliki IMB, penyerangan dan penutupan atas Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII) Widoro, penolakan acara perayaan Paskah Adiyuswo Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gunugkidul yang disertai penganiayaan terhadap aktivis lintas iman, serta penolakan pendirian Gua Maria Wahyu Ibuku di wilayah Giriwening. Memang, belakangan ini Yogyakarta yang kerap disebut-sebut sebagai City of Tolerance sedang dirundung banyak problema dalam hal toleransi, baik antar maupun antara umat beragama maupun antar kelompok ormas. Terbukti, sebagaimana disebutkan oleh Agnes, kasus-kasus intoleransi seperti penyerangan dan pembubaran diskusi, perusakan situs makam, penyerangan terhadap doa rosario, intimidasi terhadap kelompok tertentu seperti Syiah dan LGBT, penghentian ibadah di gereja, serta usaha penutupan rumah ibadah kerap terjadi di provinsi yang berjuluk kota budaya ini.
Di dalam kesempatan tersebut, Agnes juga memaparkan bahwa peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di kerap kali seputar persoalan penolakan pelaksanaan ibadah maupun keberadaan rumah ibadah umat Kristen, baik yang telah dibangun maupun masih dalam proses pembangunan. Selain itu, ia juga mengeluhkan bahwa setiap pertemuan yang difasilitasi oleh Pemda mengenai persoalan rumah ibadah ini akan berujung pada penghentian rumah ibadah, selain juga proses yang berlarut-larut dan kurangnya peran aktif pemerintah dalam menangani kasus-kasus semacam ini. Kerap kali, pemerintah baru bertindak setelah ada inisiasi dari warga. Isu kristenisasi, pemurtadan, dan adanya penolakan dari masyarakat muslim yang kemudian mendesak pemerintah daerah untuk melakukan penghentian rumah ibadah menjadi pola khas dalam kasus kebebasan beragama dan berkepercayaan yang terjadi di ini.
Senada dengan Agnes, Kristiana Riyadi—pembicara dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)—menyebutkan bahwa peran FKUB di dalam membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama masihlah sangat minim. Bahkan, FKUB sendiri secara internal masihlah menyisakan konflik, hal ini sangat berbeda dengan kondisi sebelum adanya FKUB yang merupakan keputusan menteri, di mana kala itu forum komunikasi antar agama masih bernama Forum Lintas Iman. Hal ini terjadi, menurut Kristiana, disebabkan oleh penekanan pada proporsionalitas yang diatur dalam SK menteri tahun 2006. Tentu saja, Islam yang mayoritas akan memiliki jumlah wakil yang lebih banyak di dalam FKUB. Sebagai contoh, pimpinan FKUB yang berjumlah lima orang dengan asumsi merupakan wakil dari setiap agama yang diakui oleh negara, tiga di antaranya diduduki oleh wakil dari umat Islam. Sehingga, dengan pertimbangan tertentu, akhirnya khusus FKUB , sesuai dengan keputusan Bupati , memiliki tujuh orang pimpinan agar dapat mengakomodir semua agama.
Persoalan lain yang dihadapi oleh FKUB adalah soal menyerap aspirasi. FKUB semestinya menyerap semua aspirasi masyarakat dan umat beragama. Namun, proses ini menjadi bumerang tersendiri bagi tujuan didirikannya FKUB saat harus berhadapan dengan aspirasi dari kelompok ormas intoleran yang mau tidak mau harus diserap juga. Selain itu, keterpusatan keputusan pada ketua menjadi persoalan tersendiri yang tak dapat dihindari. Sebab, hal ini kerap kali tidak mencerminkan keterwakilan umat beragama yang minoritas. Belum lagi persoalan pengambilan beberapa keputusan terkait persoalan keagamaan ini tidak sepenuhnya berada dalam lingkup FKUB, melainkan pada rapat Muspida, di mana FKUB hanya diwakili oleh satu orang saja, yakni ketua FKUB. Tak heran jika keputusan-keputusan yang dihasilkan kerap kali kontraproduktif dengan visi dan misi didirikannya FKUB itu sendiri. Persoalan lainnya, misalnya, sosialisasi perbedaan peraturan pendirian rumah ibadah sebelum 2006. Sosialisasi mengenai hal ini hampir dapat dikatakan tidak dilakukan. Sehingga masyarakat menganggap peraturan mengenai pembangunan rumah ibadah setelah 2006 bersifat general, sehingga kerap kali terjadi konflik di lapangan karena adanya ketidakpahaman ini. Biasanya kasus perizinan keberadaan rumah ibadah lama yang muncul sebagai akibatnya. Padahal perizinan rumah ibadah yang telah dibangun sebelum tahun 2006 berbeda dengan perizinan rumah ibadah yang dibangun setelah tahun tersebut.
Mengenai persoalan penolakan rumah ibadah ini, pembicara lainnya yang merupakan alumni SPK, Pendeta Stefanus Iwan Listyanto, menyebutkan bahwa terjadinya hal tersebut juga disebabkan oleh adanya persoalan internal dalam golongan agama tertentu. Tak dapat dipungkiri, menurut pendeta dari Semanu ini, adanya persaingan antar gereja membuat umat Kristen pasif saat ada gereja di luar golongannya yang dipersoalkan keberadaannya oleh umat lain. Hal ini menjadi gejala global yang terjadi sehingga kelompok Kristen yang sedang menghadapi masalah dengan rumah ibadahnya kerap harus berjuang sendiri tanpa adanya bantuan dari sesama pemeluk Kristen lainnya. Menurutnya, belum adanya kesadaran mengenai perspektif HAM dan adanya persaingan antar gereja juga memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan penyelesaian konflik. Hal ini menandakan masih adanya persoalan di antara umat beragama secara internal. Dengan nada bercanda dan sindiran, ia berkata bahwa mungkin saja ada golongan seagama yang sorak sorai saat sebuah rumah ibadah ditutup atau dipermasalahkan. Karenanya, ia menekankan pentingnya membangun jejaring baik antara maupun antar umat beragama. Dengan berjejaring, menurutnya, seseorang atau kelompok bisa saling bantu melengkapi data pendokumentasian jika terjadi persoalan yang mungkin akan memudahkan proses penyelesaian masalah. Selain itu, memiliki sudut pandang dari pihak korban juga penting untuk membangun empati, agar persaingan itu dapat tetap berjalan secara sehat.
Sedangkan pembicara terakhir, M. Iqbal Ahnaf dari CRCS, menyebutkan bahwa maraknya tindakan intoleransi yang terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini disebabkan oleh banyak faktor. Namun secara ringkas, Iqbal mengerucutkannya ke dalam tiga faktor yang saling terkait dan berinteraksi satu sama lain, yaitu (1) krisis keistimewaan; (2) industrialisasi; dan (3) penebalan identitas. Walaupun masih berupa hipotesis, menurut Iqbal, namun gejala yang menunjukkan ke arah tersebut cukup jelas adanya. “Saya kira, ini sangat terkait dengan pemegang otoritas tertinggi di Jogjakarta. Saya kira kita ingat belum lama ini RUU keistimewaan Jogjakarta mulai mengusik otoritas yang paling mapan di Jogjakarta.” Ungkapnya mengawali penjelasan mengenai persoalan krisis keistimewaan ini. Menurut Iqbal, perubahan peraturan di tampuk pimpinan Yogyakarta ini mencerminkan proses perubahan sosial yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian memicu krisis otoritas keistimewaan yang meniscayakan kebutuhan akan kekuatan basis sumber daya di Yogyakarta. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan citra keistimewaan itu. Oleh sebab itu kebutuhan akan sumber daya ini kemudian melibatkan perkembangan industrialisasi sebagai salah satu usaha mendapatkan suplai sumber daya.
Menurut Iqbal, pembangunan hotel yang kian marak serta bentuk pembangunan dan industrialisasi lainnya kemungkinan dilakukan untuk memapankan basis-basis sumber daya itu. Konsekuensi dari adanya industrialisasi ini adalah sekuritisasi. Sebab, para investor maupun pengusaha tentu membutuhkan stabilitas keamanan yang cukup untuk menjalankan bisnisnya itu. Karena itu diperlukan kekuatan-kekuatan yang bisa mempertahankan dan mendukung keamanan tersebut. Di bagian inilah kemudian perubahan sosial yang terjadi di masyarakat yang melaju pada arah penebalan identitas dan kian rigidnya batas-batas sosial, baik berlandaskan agama maupun etnik, bertemu dengan realitas kebutuhan akan sekuritisasi ini. Sehingga, tak heran jika kemudian aspek skuritisasi ini diambil alih oleh kelompok-kelompok atau kekuatan-kekuatan yang bergerak di arena penebalan identitas itu. Hal ini semacam simbiosis mutualisme. Kita dapat memahami dengan mudah bahwa ketika seseorang mengalami krisis, maka ia akan membutuhkan dukungan untuk mengembalikan sumberdaya yang hilang. Sumberdaya itu bisa bersifat ekonomi maupun sosial. Industrialisasi ini dapat diidentifikasi sebagai sumber daya yang bersifat ekonomi, sedangkan dukungan kelompok tertentu itu merupakan sumber daya yang bersifat sosial. Kebutuhan akan dukungan sosial inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu—baik keagamaan maupun etnik—untuk merapat pada otoritas kekuasaan di Yogyakarta. Kontestasi antar kelompok itulah yang terkadang menghadirkan konflik. Pergulatan ketiga hal tersebut itulah yang kemudian meniscayakan hal-hal lainnya semisal institusionalisasi kelompok-kelompok pelaku kekerasan dan semakin lemahnya kekuatan moderat kritis. Institusionalisasi ini merupakan bentuk pemapanan oleh sistem yang ada terhadap kelompok-kelompok tertentu. Sehingga, walaupun minoritas, kelompok-kelompok ini dapat bertahan, eksis, dan dominan. Akibatnya, ada kasus-kasus serupa yang kemudian direspons berbeda, tergantung kelompok mana yang merespons dan apa kepentingannya. Kasus pembangunan hotel atau sampah visual, misalnya, menurut Iqbal, diprotes sedemikian rupa. Namun, saat ada rumah ibadah ditutup, tak banyak orang yang peduli.
Di dalam sesi tanya jawab, terungkap pula beberapa fakta mengenai tindakan intoleran yang ternyata tak hanya didominasi oleh ormas atau kelompok-kelompok tertentu, melainkan pula dilakukan oleh negara. Menurut Agnes, pemerintah pernah melakukan kerja sama dengan ormas intoleran dalam melakukan intimidasi terhadap kelompok tertentu, seperti yang terjadi pada kasus GKII. Selain itu, aparat yang berjaga di lapangan saat terjadi konflik akibat adanya tindakan intoleransi kerap tidak bertindak mencegah tindakan intoleransi yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu, mereka justru terkesan hanya menjaga kelompok tertentu itu agar tidak melakukan tindak kekerasan sehingga tidak dapat dikriminalisasikan. Sedangkan perilaku intoleransinya dibiarkan begitu saja. Selain itu, dalam sesi ini juga terungkap bahwa soal tindakan intoleransi terutama dalam hal keberagamaan tidaklah didominasi oleh agama tertentu, melainkan seringnya dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas, baik internal maupun antar agama. Di Atambua misalnya, menurut Agnes, pernah pula terjadi penolakan pembangunan rumah ibadah agama tertentu dari kelompok minoritas yang dilakukan oleh umat agama yang sama yang mayoritas. Atau, dalam kasus Tolikara dan beberapa wilayah di Indonesia Timur, misalnya, tindakan intoleransi kerap pula menimpa kaum muslim yang minoritas, sebagaimana halnya yang terjadi terhadap umat Kristen dan umat lainnya yang tinggal di wilayah mayoritas umat Islam. Sehingga, menurut Iqbal, menjadi penting untuk memperkuat kelompok-kelompok rentan yang ada. Selain itu, penting pula untuk menanamkan sikap toleransi, kesadaran akan HAM, dan menghilangkan kecurigaan di antara para pemeluk agama yang ada. Sebab, sebagaimana disimpulkan oleh moderator pada acara tersebut, Subandri Simbolon, kedamaian tidak hadir bukan hanya sebab bangkitnya kaum intoleran, namun juga sebab diamnya para pecinta perdamaian.
Azis Anwar Fachrudin | CRCS | Article
In two consecutive days of this week, the world’s two biggest religions commemorate the birth of their respective “founders”: Islam’s Prophet Muhammad (Maulid) and Christianity’s Jesus Christ (Christmas). This is certainly a rare event that will not happen for dozens of years to come.
In Indonesia, both commemorations have officially been declared national holidays. Indonesia is among most Muslim-majority countries in which Maulid constitutes a national public holiday. It is only in Saudi Arabia and Qatar, out of all Muslim majority countries, where Maulid is not a holiday, probably because of the views of clerics there who regard Maulid celebration as Islamically illegitimate and bid’ah (heretical). Besides, Indonesia is among several Muslim-majority countries that recognize Christmas as a national holiday.
This is a momentous time for both Muslims and Christians to reinforce interfaith dialogue — it probably could be incorporated in the agenda of the commemorations.
For Indonesians in particular, it is worth being grateful that the annually held debate among people at the grassroots — on whether saying “Merry Christmas” to Christians is religiously allowed for Muslims — is coming to an end. Additionally, another annual debate on whether Muslims may celebrate Maulid has generally begun decreasing.
In fact, these two debates on Maulid and Christmas are mostly fueled by Wahhabist views. Across the Muslim world, it is mostly the Wahhabists who claim that saying “Merry Christmas” is tantamount to affirming Christian belief on Jesus’ divinity and as such forbidden.
And why is the debate now not as heated as in the previous years? I heard a satirical comment in social media saying that it is because the Wahhabists are nowadays preoccupied with declaring the Shiites infidels. A plausible explanation! The sense of “feeling threatened” has now been shifted from Christians to Shiites, as well as to communists (whose political party no longer exists).
As for interreligious dialogue, now is a good time to recall and to remind Muslims and Christians of the document, A Common Word Between Us and You, which was launched in 2007. Originally an open letter to the Catholic pope, it has now been signed by hundreds of the world’s leading Muslim scholars and intellectuals (it can be accessed at acommonword.com). The document basically conveys that there are more common grounds for peace between Muslims and Christians than conflicting teachings. The document was then responded to by Loving God and Neighbor Together: A Christian Response to A Common Word, which was initially signed by more than 300 Christian leaders and scholars.
These kinds of documents should be more endorsed by respective leaders, clerics and scholars, for at least two reasons. First because, particularly in Indonesia, the document seems to be less exposed to the public. Second, nowadays we see a rising intolerance in the respective worlds. The rise of Islamophobia in the West, not only in Europe but also in the US given the recent phenomenon of presidential hopeful Donald Trump, is a good example.
On the other side, the Muslim world is now suffering from radicalization, resulting in the emergence of the Islamic State (IS) movement. This is why peace-building and tolerance activists should work harder to win the discourse in the respective worlds, including for example by exposing their respective communities to the documents.
As for the Muslim world, the Maulid commemoration can be a good time to reread the Prophet’s biography, not only to praise or glorify him but also to deal with how we should understand his having been a leader of wars in today’s context. Around the globe, Muslims usually celebrate Maulid by reciting salawat (prayers) or madah nabawi (a kind of eulogy to praise the prophet). In Indonesia particularly, Muslims recite books containing Arabic poetry of salawat or madah nabawi.
I think that in today’s context such a reading of the Prophet’s biography, while good, should be furthered with rereading about the violence surrounding his life. This is important because some Muslims who do violence nowadays quite often justify their acts by citing examples of the violence commanded by the prophet.
Prophet Muhammad, unlike Jesus, was a leader in war. He was involved in nine wars. Furthermore, he dispatched military expeditions at least 38 times. Some early biographers of the Prophet emphasized this aspect; this is why their books were entitled Maghazi (literally “wars”) and it became a genre of biography at the time. All these wars left hundreds of victims and happened during eight years from 2 AH to 9 AH, a period in the last phase of Muhammad’s prophetic ministry when Muslims became quite powerful.
How then should today’s Muslims read those wars led by the Prophet? This has very much to do with Islamic jus ad bellum, especially on what circumstances violence can be justified under Islamic teachings. Rereading these, I think, is more important as a counter interpretation of violent Muslims rather than saying normatively that “Islam is a religion of peace” or that “rahmatan lil-‘alamin” (“the prophet was sent as a mercy for all creatures”).