• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Crossculture Religious Studies Summer School
    • Student Service
    • Survey-2022
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Zainal Abidin Bagir
  • Zainal Abidin Bagir
Arsip:

Zainal Abidin Bagir

Mendedah Ragam Paradigma Pengelolaan Keragaman

BeritaBerita SPKBerita Utama Tuesday, 25 October 2016

Anang Alfian | CRCS UGM | SPK News
img_5791“Kita tidak akan mencoba mengurangi keragaman karena itu sia-sia, dalam konteks negara demokratis, semua punya hak dan kewajiban yang sama”.
Uraian Zainal Abidin Bagir, fasilitator SPK dari CRCS UGM, itu menjadi titik tolak diskusi para pertemuan SPK hari ketiga pada Kamis 6 agustus 2016. Bertempat di Disaster Oasis Kaliurang Yogyakarta, Bagir mengawali diskusi dengan memperkenalkan beberapa pendekatan terkini dari berbagai mahzab pengelolaan keragaman seperti seperti John Rawls (nalar publik), Abdullahi An-Naim (nalar kewargaan), Bikhu Parekh, Tariq Modood (kewarganegaraan multikultural), maupun Chantal Mouffe (“pluralisme agonistik”). Berbagai pendekatan ini memberikan gambaran bahwa metode pengelolaan keragaman pun tidak tunggal. Ide pluralisme kewarganegaraan ditawarkan sebagai pisau analisis dan perumusan model pengelolaan keragaman yang mampu menjawab tantangan Indonesia saat ini. Lantas fasilitator yang akrab dipangggil Pak Zain ini mengajak semua peserta memikirkan kembali paradigma pengelolaan keragaman yang tidak hanya mewadahi kerukunan tetapi juga mendorong ke arah keadilan sosial. “Isu pluralisme tidak semata-mata sebagai isu koeksistensi, yaitu kerukunan dan  perdamaian tapi juga keadilan sosial” ujar Pak Zain.
Pada sesi berikutnya, Trisno Susanto memfokuskan bahasan pada politik keragaman di Indonesia dengan mendalami masalah-masalah hukum terkait dengan RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) dan RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB) . Menurutnya, Indonesia menganut prinsip governed religion yaitu agama sebagai sesuatu yang dikendalikan oleh pemerintah. Namun, pada pelaksanaanya hal ini menjadi sangat problematis. Posisi penghayat, misalnya,  tidak mendapat jaminan hukum di hadapan RUU PUB. Ini berbeda dengan pemeluk enam agama yang diakui di Indonesia. Padahal pengakuan terhadap legalitas identitas ini menjadi penting ketika berhadapan dengan kebijakan publik.
Yang unikmenarik, pada sesi diskusi bertema“ Konseptualisasi Pengelolaan Keragaman” ini para peserta tak hanya mendengarkan suara sumbang terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga upaya- upaya pemerintah  yang sebenarnya sudah sejalan dengan kepentingan keragaman, “Pemerintah sebenarnya sudah mengutamakan pranata adat untuk penyelesaian masalah di wilayahnya sendiri,” cetus Fahdli, salah satu peserta SPK. Menurutnya, masalah yang kerap terjadi adalah tidak tersampaikannya aspirasi karena distorsi berbagai kepentingan. Untuk itu, advokasi harus dikawal dari bawah hingga ke atas, bahkan sampai pada implementasinya.
Antusiasme peserta semakin terlihat ketika mereka menjabarkan berbagai perspektif mulai dari peran pemerintah, diskriminasi yang terjadi, hingga berbagai pengalaman mereka di daerah. “Penghayat di Brebes itu gak bisa dimakamkan di pemakaman Muslim,” sebut Wijanarto, peserta dari Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Brebes. Tak dapat dipungkiri memang, diskriminasi terhadap identitas minoritas masih menjadi pertanyaan yang terus mencari jawaban penyelesaian. Materi pengelolaan keragaman ini tak hanya berusaha membantu khazanah teoritis para peserta sebagai aktivis dan pegiat kemanusiaan dalam advokasi mereka tetapi juga menjadi langkah awal dalam memahami tantangan pengelolaan keragaman yang makin kompleks di Indonesia.
 

Sekolah Pengelolaan Keragaman VIII: Menjembatani Aktivis dan Akademisi

BeritaBerita SPKBerita Utama Wednesday, 5 October 2016

Asep S. Sudjatna | CRCS UGM | SPK NEWS
“Sebenarnya di kalangan aktivis, penelitian itu juga tidak absen, pun sebaliknya,”  cetusan Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf , Ketua program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VIII itu memantik perhatian para peserta yang hadir pada pembukaan SPK VIII di Disaster Oasis Kaliurang, Yogyakarta. Selama ini, aktivis dan akademisi seolah diposisikan sebagai bagian terpisah yang bekerja di ranah masing-masing. Dikotomi inilah yang sedang dikritisi oleh CRCS UGM melalui program SPK VIII. “Di kalangan akademisi, banyak sekali akademisi yang aktivis, pun banyak pula aktivis yang peneliti. Sebenarnya irisan-irisan itu sudah ada” tukas Iqbal. Pengategorian ini tidak hanya menciptakan kesenjangan semu tetapi seringkali malah menimbulkan persoalan baru. Para aktivis yang getol terjun ke lapangan dalam penyelesaian berbagai konflik keragaman kerap terbentur masalah data riset dan basis pengetahuan sebagai landasan advokasi. Di sisi lain, para akademisi yang mencoba melibatkan diri dalam proses advokasi cenderung terpaku pada teori dan kurang menguasai medan. Dalam konteks inilah SPK VIII berusaha menjembatani kesenjangan antara dunia akademis dan aktivis. Kolaborasi kreatif antara aktivis-akademisi ini akan mampu memberi terobosan dalam penyelesaian masalah-masalah keragaman tersebut.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Prof. Ir. Suryo Purwono, MA.Sc., Ph.D, Direktur Sekolah Pascasarjana UGM, menggarisbawahi tentang kekayaan keragaman Indonesia sebagai sebuah kekuatan yang tidak dapat ditandingi negara mana pun. “Sayangnya,” ujar profesor yang menamatkan studi doktoralnya di University of Waterloo, Kanada, ini, “Pengelolaan keragaman ini belum dapat ditangani dengan baik” Lebih lanjut, Prof. Suryo berharap agar setelah selesai mengikuti kegiatan ini, para peserta SPK tak hanya dapat menjadi pemantik dan pelopor bagi komunitasnya tetapi juga membangun jejaring yang solid dalam pengelolaan keragaman di Indonesia.
Untuk mewujudkan hal itu, konsep pembelajaran SPK memadukan antara kuliah dan pelatihan. Secara garis besar, ada tiga tahapan penting dalam proses pembelajaran di SPK yang akan dilalui oleh para peserta. Ketiga tahapan tersebut yaitu pemetaan masalah, pengayaan teoretis, serta advokasi berbasis riset. Selain membekali dengan materi yang bersifat teoretis, program SPK juga mengasah dimensi praktis para peserta melalui studi kasus secara nyata. “Jadi, kita tidak mengajari peserta bagaimana cara melakukan advokasi, yang kita lakukan adalah memperkaya alat analisa peserta dalam merefleksikan pengalaman advokasi mereka,” ujar Iqbal.
Perlu diketahui, 25 peserta SPK VIII tak cuma berasal dari beragam latar belakang—seperti profesi, jenis kelamin serta agama dan suku—tetapi juga orang-orang yang aktif dalam mengadvokasi situasi keragaman di komunitasnya. Seluruh peserta ini merupakan hasil seleksi ketat terhadap ratusan calon peserta dari seluruh wilayah di Indonesia yang mengirimkan aplikasi lamaran peserta beberapa bulan sebelumnya. Selain itu, keterwakilan wilayah juga menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan peserta.
img_5358Pada hari pertama SPK ini, para peserta melakukan kontrak belajar yang akan menjadi tata tertib selama proses pembelajaran di SPK ini berlangsung. Nia Sjarifudin, fasilitator SPK VIII yang berasal dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) memandu sesi kontrak belajar ini. Selanjutnya, Dr. Zainal Abidin Bagir, fasilitator dari CRCS UGM, mengajak peserta SPK untuk bersama memetakan berbagai persoalan keberagaman. Dari diskusi yang gayeng tapi serius, dirumuskanlah lima pokok persoalan yang kerap hadir dalam persoalan keberagaman, yakni interfaith atau hubungan antar agama, perempuan, masyarakat adat, pendidikan, dan media. Kelima tema inilah—dengan segenap polemik dan persoalan turunannya—yang akan menjadi bahasan sepanjang SPK berlangsung. Malam semakin larut, namun para peserta masih bersemangat untuk berbagi pengalaman soal pengelolaan keragaman. Semangat ini pula yang menjadi titik pijak pertama kebersamaan dari serangkaian acara SPK yang masih akan berlangsung hingga sepuluh hari ke depan. 

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Beberapa waktu silam, kami berkunjung ke Lasem unt Beberapa waktu silam, kami berkunjung ke Lasem untuk studi lapangan. Kota kecamatan ini memang terkenal dengan toleransi dan harmoni masyarakatnya yang berlatar belakang Jawa, Cina, dan Arab. 

Namun, selama perjalanan kami di sana, ada yang mengganjal. Kami tak banyak menemui orang-orang keturunan Tionghoa di ruang publik secara aktif. 

Simak catatan reflektif dari @astridsyifa tentang eksistensi masyarakat keturunan Tionghoa di daerah yang pernah berjuluk "Little Tiongkok" ini di situs web crcs ugm.
Bagi sebagian besar yang merayakan, tahun ini adal Bagi sebagian besar yang merayakan, tahun ini adalah tahun kelinci air. Namun, di Vietnam, ini adalah tahun kucing. 

Sementara itu, sebagian komunitas keturunan Tionghoa di Tanah Melayu merayakannya sebagai tahun kancil. Iya betul, si kancil yang kerap dituduh mencuri timun oleh pak tani. Padahal, kancil mencuri timun karena hutannya habis dibabat oleh manusia. 

Apa pun hewan yang mewakili tahun ini, semoga damai bagi semesta sepanjang masa. 

xin nian kuaile, gongxi facai
Bagaimana jika ajaran agama saya memerintahkan say Bagaimana jika ajaran agama saya memerintahkan saya untuk membunuh manusia lain, sementara perbuatan itu dianggap melanggar hukum oleh negara? Apakah artinya kebebasan beragama saya sedang dikekang?

Apakah kebebasan beragama berarti juga bebas berganti-ganti agama? 

Kebebasan beragama ternyata tidak sesederhana soal seseorang bebas memilih dan menjalankan agama yang ia yakini. 

Dalam bukunya 𝘗𝘳𝘰𝘣𝘭𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘻𝘪𝘯𝘨 𝘙𝘦𝘭𝘪𝘨𝘪𝘰𝘶𝘴 𝘍𝘳𝘦𝘦𝘥𝘰𝘮 (2012), Arvind Sharma mengupas tuntas berbagai problematika Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Bung @vikry_reinaldo mengulasnya dengan apik.

Ulasan lengkapnya bisa dibaca di situs web crcs ugm.
Secarik oleh-oleh dari Seminar Agama-Agama (SAA) P Secarik oleh-oleh dari Seminar Agama-Agama (SAA) Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) sekaligus refleksi Natal dan Tahun Baru untuk Indonesia yang beragam dan inklusif dari @ika.iku.aku 

Selengkapnya di situs web crcs ugm
load more... @crcs_ugm

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju