A. S. Sudjatna | CRCS | Event Report
Tasawuf adalah nafas dari ihsan, satu sifat yang mesti dimiliki seorang muslim untuk menyempurnakan iman dan islam. Dengan mempelajari dan melaksanakan ajaran tasawuf, seorang hamba diharapkan memanifestasikan sifat-sifat ketuhanan di muka bumi; manusia yang mencintai seluruh entitas tanpa membedakan identitas. Setidaknya itulah yang dapat diringkas dari acara International Conference on Sufism (ICS) bertema Building Love and Peace for Indonesian Society yang diadakan pada 18 November 2016 di Fakultas Filsafat UGM, dan dihelat atas kerja sama Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Fakultas Filsafat, dan Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM. Konferensi ini juga mengungkap kembali sejarah bahwa tasawuf merupakan pendekatan utama dari para pendakwah Islam di Nusantara.
Konferensi ini tak hanya menampilkan para akademisi kajian sufisme, filsafat dan agama Islam seperti Mukhtasar Syamsuddin, Ph.D., dosen Fakultas Filsafat UGM; Prof. Madya Dr. Mohd. Syukri Yeoh, profesor di AkademiTamadun Melayu, Universitas Kebangsaan Malaysia; serta Prof. Dr. Morteza Zarvani dari Iran. Konferensi ini juga menghadirkan para praktisi tasawuf dan pendidikan Islam, seperti Dr. Dhiauddin Quswandi Azmatkhan, pimpinan Rabithah Azmatkhan, mursyid tarekat Syattariah dan Akmaliah, tarekat Tasawuf Nusantara Walisongo; Syeikh Dr. Rohimuddin Nawawi al-Bantani, ketua Kerukunan Ulama Nusantara (KUN), khalifah tarekat Syadziliyah-Darqowiyah dan tarekat Qadiriyah juga guru besar Babad Kesultanan Banten, serta Gus Mustafied, Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Aswaja Nusantara, Mlangi, Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh para akademisi dari berbagai bidang dan disiplin ilmu serta praktisi tasawuf dari berbagai kalangan masyarakat.
Di dalam pembukaan acara konferensi ini, Dekan Fakultas Filsafat Dr. Arqom Kuswanjono mengungkapkan kekhawatirannya akan jauhnya umat dari filsafat dan, lebih khususnya, tasawuf yang disebutnya sebagai ruh agama. Mengutip Profesor Mulyadi Kartanegara, Dr. Arqom Kuswanjono menyebutkan bahwa Islam maju dikarenakan empat pilar utama, yakni ilmu pengetahuan, filsafat, tasawuf, dan kekuatan syariah. Saat ini, menurutnya, filsafat mulai banyak ditinggalkan. Di Indonesia sendiri, tak sedikit para dosen filsafat yang mengalami penolakan saat hendak mengajar filsafat di pesantren, misalnya, karena stigma-stigma negative tertentu. Padahal, menurut Kuswanjono, filsafat itu dapat membantu umat memahami kebenaran agama. “Kata iqra’, menurut kami, juga berarti membaca alam semesta, dan itu adalah berfilsafat,” ucapnya menguatkan.
Setali tiga uang dengan filsafat, menurut Kuswanjono, tasawuf juga mulai dijauhi umat. Meski pada kenyataanya memang masih ada para praktisinya, membicarakan tasawuf secara akademis merupakan hal yang langka. “Kita sekarang tinggal memiliki pilar syariah saja, yang juga sering bentrok,” ungkapnya. Kini, tak banyak orang dan bahkan referensi yang membicarakan persoalan tasawuf ini baik dari segi praksis maupun konsep, termasuk pemikiran-pemikiran yang dikembangkan di dalam tasawuf yang dapat menjadi antitesis bagi radikalisme.
Jantung Semesta
Senada dengan Dr. Arqom Kuswanjono, Dr. Khalid Al-Walid dari Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra yang bertindak sebagai keynote speaker juga menegaskan bahwa tasawuf merupakan ruhnya Islam. Menurutnya, hanya melalui jalan tasawuflah manusia akan sampai pada pemahaman dan kesadaran mengenai hakikat dirinya, suatu kondisi yang dapat mengantarkan manusia pada pemahaman akan Tuhannya. Menurut Al-Walid, problem manusia modern saat ini adalah hilangnya kesadaran mereka akan hakikat diri. “Manusia modern,” ungkapnya, “hanya menempatkan manusia pada posisi sebagai makhluk material.” Kondisi ini membuat manusia terjebak dalam hal-hal yang bersifat lahiriah atau empiris semata, termasuk dalam hal beragama. “Ketika manusia beragama secara lahiriah semata, ia akan memandang orang lain sebagai bentuk yang berbeda dari dirinya; agama lain sebagai agama yang berbeda dari dirinya; sehingga yang terjadi adalah permusuhan,” ucap Al-Walid menegaskan.
Menjelaskan perihal kesejatian manusia yang semestinya tak dipahami hanya sebagai makhluk material, Al-Walid mengutip Ibnu ‘Arabi yang menjelaskan bahwa manusia sejatinya memiliki dua naskah pada dirinya, yakni naskah lahir dan naskah batin. Artinya, manusia bukanlah semata makhluk material, namun juga sekaligus makhluk spiritual yang, mengutip Alexis Carrel, terpenjara di alam material. Secara lahir, manusia dapat disebut sebagai ekstrak dari semesta, di mana bukan hanya susunan struktur tubuhnya secara jasmani memang merupakan saripati unsur-unsur semesta, namun bagian-bagian tubuh tersebut juga dapat menjadi simbol dari semesta.
Dari sisi batin, menurut Al-Walid, malaikat yang dianggap selalu taat pada Tuhan saja tidak dapat disejajarkan dengan manusia, sebab malaikat di dalam dirinya hanya mewakili salah satu dari sekian banyak nama-nama Tuhan; hanya menempati posisi parsial untuk tugas-tugas tertentu. Sementara manusia merangkum sifat-sifat Tuhan di dalam dirinya, sehingga manusia bisa dikatakan dapat berlaku apa saja. Ia dapat mencabut nyawa, mengajarkan ilmu, memberi rezeki, dan seterusnya. Menurut Abdurrahman Jami, inilah tafsir dari ayat 31 surat al-Baqarah, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya…”, yakni nama-nama Tuhan. Artinya, seluruh nama-nama tersebut dimasukkan ke dalam diri manusia. Karenanya, tak heran jika kemudian para malaikat yang merupakan bagian parsial itu diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, manusia.
Mengenai hal ini, Sayyidina Ali berkata, “Jangan mengira kalian adalah butiran debu; kalian adalah alam raya yang besar.” Bertolak dari hal ini, sebagian sufi menyebut batin manusia sebagai “qalbul-‘alam”, jantungnya semesta. Dengan menyadari dan terus menerus menyempurnakan sisi batin ini, manusia dapat menjadi manifestasi cinta-Nya di bumi. Dan pemahaman akan sisi batin ini hanya dapat dicapai melalui tasawuf.
“Aku” Universal
Dalam diskusi selanjutnya, apa yang dikemukkaan oleh Al-Walid dibahas lebih mendalam oleh Dr. Dhiauddin Quswandi Azmatkhan. Ia mengatakan bahwa inti dari tarekat Syattariah adalah bagaimana mencintai Allah tanpa syarat dan tanpa batas serta mencintai manusia tanpa sekat. Sebab cinta inilah kesejatian iman yang sebenar-benarnya. Cinta ini menjadi penanda sekaligus pembeda utama antara mu’min (orang yang beriman) dan bukan mu’min. Dhiauddin mengkritik makna iman yang oleh sebagian besar orang dipahami hanya sebagai percaya. Jika iman itu hanya percaya, menurut Dhiauddin, iblis seharusnya didapuk sebagai makhluk paling beriman, sebab ia pernah langsung bertemu dengan Allah; beraudiensi dengan Allah. Dengan kata lain, iblis percaya akan keberadaan sekaligus ketuhanan Allah.
Dengan memahami tasawuf yang bernafaskan cinta, yang seharusnya menjadi ruhnya agama, keberislaman seseorang tidak membuatnya kian eksklusif; membuat sekat-sekat pemisah yang tegas antara satu dengan lainnya. Dhiauddin juga mengkritik makna agama yang menurutnya saat ini telah direduksi sedemikian rupa, sehingga agama yang seharusnya dipahami sebagai shirath, thariq, atau jalan untuk merelasikan manusia dengan Tuhan serta manusia dengan manusia lainnya kini menjadi kotak-kotak pemisah atau identitas pembeda antara manusia satu dengan lainnya. Yang terjadi kemudian: eksklusivisme dan disintegrasi sosial yang menjadi prasyarat munculnya konflik agama.
Dhiauddin juga melanjutkan, cinta dalam tasawuf bukanlah cinta aqliyah atau rasional yang meniscayakan syarat dan batas; atau cinta yang bermakna keinginan mendapatkan imbalan atau barter. Cinta kepada Allah adalah cinta tanpa syarat dan batas; cinta yang hadir bukan sebab diberi anugerah atau karena diselamatkan dari musibah. Ia adalah cinta yang menerima kamal, jamal, dan jalal-nya Allah. Dalam Syattariyah, cara menggapai cinta semacam ini dilakukan melalui pengenalan diri atau aku, hingga seorang salik tiba pada aku yang universal, bukan aku yang personal; aku yg melampaui jasad, pikiran dan personalitas, bukan aku yang diskontinu dan terbatas pada ruang dan waktu tertentu.
Cara ini dapat mengantarkan seorang salik pada posisi mulat salira, identifikasi diri. Kondisi kesadaran akan aku yang universal ini dapat digambarkan seperti mengupas bawang: setiap satu lapisan dikupas maka akan tampak lapisan yang lain, dan begitu seterusnya hingga bawang itu habis tak tersisa. Analogi bawang ini mengandung metafora bahwa setiap lapis itu adalah bagian dari yang satu, dan yang satu itu sekaligus tersusun dari lapisan-lapisan itu. Aku sebagai manusia itu adalah satu dengan aku dalama entitas lainnya, laiknya binatang, tumbuhan dan semesta. Maka muncullah perasaan dan pemahaman akan hakikat bahwa aku adalah semua dan semua adalah aku.
Insan Kamil
Pembicara selanjutnya, Syeikh Dr. Rohimuddin Nawawi al-Bantani, membahas tentang tiga pilar agama, yakni iman, islam, dan ihsan, yang tak bisa dilakukan secara parsial. Praktisi tarekat Syadziliyah-Darqowiya dan tarekat Qadiriyah ini menjelaskan bahwa kalimat “an ta’budallah” (hendaklah engkau menyembah Allah), yang diisyaratkan dalam hadis tentang ihsan, dapat dipahami sebagai basis iman, sedangkan kalimat “ka`annaka tarahu wainlam takun tarahu fainnahu yaraka” (seolah engkau melihat Allah, dan jika kau tak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu) adalah cara penunaian ibadah tersebut sesuai dengan syariat Islam. Di sinilah pentingnya kedudukan tasawuf. Meninggalkan tasawuf berarti seorang muslim tidak akan dapat sempurna dalam beriman dan berislam.
Syekh Rohimuddin juga membahas terma tajalli, pengejewantahan Tuhan. Mengutip Ibnu ‘Arabi, ia mengatakan bahwa manusia itu adalah “shuratu wujudillah,” atau citra Tuhan, yang diciptakan sebagai manifestasi cinta-Nya. Di dalam lafal basmalah, kata “Allah” adalah nama ahadiyah atau nama Dzat, sedangkan ar-rahman adalah tajalli wujud-Nya. Ar-rahman ini menciptakan semua manusia—dalam hal ini, kata “menciptakan” dipahami sebagai tajalli wujud. Karenanya, para sufi memandang bahwa, sebagai manifestasi atau pengejawantahan kasih sayang Tuhan, manusia pada dasarnya tak boleh dianiaya, baik muslim maupun bukan muslim. Sedangkan kata ar-rahim berarti Allah menciptakan manusia dengan tujuan untuk mengenal-Nya, maka Dia wujudkan hal ini dalam tajalli sifat rahim-Nya. “Dengan sifat rahman dan rahim ini,” ujar Syekh Rohimuddin, “seseorang yang menjadi manifestasi sifat-sifat Tuhan adalah pewaris cinta.”
Menegaskan kedudukan tasawuf ini, berbeda dengan pembicara lainnya, Prof Dr. Ali Misbah—putra Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi—memilih istilah irfan sebagai pengganti istilah tasawuf di dalam penjelasannya. Menurutnya, istilah ini menunjukkan proses pengenalan akan Tuhan melalui jalan ruhaniah, syuhud atau hudhur, dan merupakan jalan paling dekat dan komprehensif dalam upaya mengenal Tuhan, dan berbeda dari jalan lainnya, seperti jalan istidlal atau argumentasi yang membutuhkan perantara dan akan menciptakan jarak. Menurutnya, kerinduan untuk mengenali Tuhan adalah fitrah manusia yang menjadi tujuan penciptaannya. Sebab itu pulalah, Tuhan kemudian mengutus para rasul-Nya agar manusia tak salah jalan dalam mengenali Tuhan, sehingga tergelincir ke dalam perilaku esktrem. Hanya dengan melalui jalan yang telah ditetapkan inilah manusia dapat tiba pada puncak kemuliaan yang bahkan melebihi malaikat, karena hanya manusialah yang dapat menghimpun nama-nama ilahi, sementara malaikat, sebagaimana sudah disebut di muka, menampung nama-nama itu secara parsial. Inilah yang disebut dengan insan kamil, manusia yang mengaktualisasikan nama-nama Tuhan di dalam dirinya; manusia yang senantiasa memiliki kesadaran akan kebersamaan dengan Tuhan di dalam segala kondisi dan situasi.
Tarekat di Nusantara
Islam dengan corak yang didominasi tasawuf atau irfan inilah yang dibawa oleh para pendakwah ke Nusantara sejak puluhan abad lalu, dan karena itu, sebagaimana jamak dicatat para sejarawan, Islamisasi Nusantara secara umum berlangsung dengan damai, melalui perdagangan, dan bukan dengan ekspansi militer. Penjelasan tentang ini dipaparkan oleh Dr. Mohd. Syukri Yeoh dari Akademi Tamadun Melayu, Universitas Kebangsaan Malaysia. Menurutnya, hubungan perdagangan yang terjalin antara Nusantara saat itu dengan Timur Tengah, termasuk juga Mesir, membuka interaksi sosial yang intens, hingga sebagaian berlanjut ke hubungan pernikahan. Islam mula-mula tiba di Nusantara melalui para pedagang ahlila (orang yang bertarikat sufi). Hingga di abad 8 mulailah bermunculan para pemeluk Islam di wilayah-wilayah pesisir Aceh, dan puncaknya adalah munculnya Kerajaan Perlak Islam pada abad 9.
Hadirnya komunitas-komunitas muslimin di Nusantara dalam jumlah besar juga dipicu oleh serangan Hulagu Khan terhadap Baghdad pada abad 13. Hal ini membuat banyak ulama hijrah ke Nusantara dengan alasan keamanan. Bukti akan hal ini dapat dilihat dari kuburan-kuburan dengan tulisan al-baghdadi di nisan yang berasal dari masa itu, seperti Muhammad al-Bagdadi dan Syekh Fairus al-Bagdadi di Aceh. Lebih jauh, Islamisasi Nusantara juga dipengaruhi oleh kebijakan politik Daulah Utsmaniyah yang dalam dakwahnya ke Nusantara turut membawa para mursyid tarekat, dengan bukti munculnya zawiyah dan pusat pendidikan Islam pertama, di Langsa, Aceh Timur, yakni Zawiyah Cot Kala pada sekitar abad 10-11.
Perkembangan Islam di Nusantara yang didominasi corak tasawuf juga dapat dilihat dari sebuah manuskrip abad 12. Di sana, disebutkan bahwa Syekh Abdullah Arif, salah seorang ulama kala itu, adalah mursyid tarekat Qadariyah. Para alumni Zawiyah Cot Kala, semisal Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Ampel, adalah mursyid tarekat Syattariyah. Sedikit lebih belakangan, Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut tarekat Rifaiyyah; Hamzah Fansuri adalah pengikut tarekat Qadiriyah; dan Syekh Syamsuddin as-Sumatrai dan Abdurrauf Singkil adalah pengikut tarekat Syattariyah.
Menurut Dr. Mohd. Syukri Yeoh, di dalam penelitiannya—berdasarkan kajian atas manuskrip-manuskrip kuno—yang telah berlangsung selama kurang lebih lima tahun dan masih berlangsung hingga saat ini, penyebaran Islam ke seluruh alam Melayu atau Nusantara ini menggunakan lebih dari 40 tarekat dengan tarekat Syattariyah sebagai mayoritas. Hilangnya tarekat dan catatan-catatan atasnya di Nusantara sangat dipengaruhi oleh adanya kolonialisasi bangsa Eropa yang memicu reaksi penolakan dan aksi perlawanan dari pribumi. Dalam perjuangan melawan kolonialisasi itu, banyak ulama tarekat yang gugur dan belum sempat mewariskan keilmuwan tarekat serta kemursyidannya.
Penelusuran dan pengungkapan kembali jejak-jejak tasawuf di Nusantara ini penting untuk menunjukkan bahwa tasawuf bukan hanya menjadi ruh agama secara konsep, sebagaimana dijelaskan di atas, melainkan juga secara praksis telah menjadi corak utama ketika Islam mula-mula tumbuh dan menyebar di Nusantara.
*Penulis, A.S. Sudjatna, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2015