Terorisme dalam Sudut Pandang Politik Identitas
Imanuel Geovasky – 18 Mei 2018
Perhatian masyarakat Indonesia, bahkan dunia, sepekan ini tersedot pada rentetan aksi teror di berbagai kota besar di Jawa: mulai dari pembunuhan lima polisi di Rutan Salemba Mako Brimob, Depok (9 Mei); bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya (13 Mei) oleh enam orang sekeluarga—pada hari yang sama, bom meledak prematur di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo; bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya (14 Mei) lagi-lagi oleh satu keluarga. Selang dua hari kemudian (16 Mei), penyerangan teroris terjadi di Mapolda Riau. Kini Densus 88 memburu dan menangkap terduga teroris dengan tidak sedikit dari mereka yang terpaksa dilumpuhkan oleh tim Densus 88 karena dianggap mengancam keselamatan petugas dan masyarakat.
Dari rangkaian kejadian tersebut, muncul beberapa analisis dari para pakar mengenai aksi terorisme yang terjadi, dengan berbagai sudut pandang, dari segi studi keamanan, politik, psikologi politik, agama, konflik, dan seterusnya, guna memahami aksi terorisme untuk selanjutnya menyusun strategi konkret bersama agar aksi-aksi serupa dapat dicegah baik oleh aparat kepolisian maupun warga masyarakat. Di esai ini, penulis hendak menelisik latar belakang dan mekanisme aksi teror dari perspektif politik identitas.
Mekanisme politik identitas
Tidak ada definisi tunggal mengenai politik identitas. Tetapi beberapa ahli sepakat bahwa pada dasarnya politik identitas adalah suatu upaya politis yang mendasarkan cara berpikir maupun tindakan pada kesamaan identitas suatu kelompok dengan tujuan memperjuangkan kepentingan kelompok tersebut (Castells, 2010; Buchari, 2014; Lawler, 2014). Politik identitas tidak terjadi di ruang hampa; ia muncul dalam suatu konteks atau kondisi tertentu.
Faktor eksternal seperti diskriminasi atau marginalisasi yang membuat suatu kelompok sosial kurang mendapat akses terhadap sumber-sumber ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun politik turut berkontribusi bagi kemunculan politik identitas. Selain itu, faktor internal seperti primordialisme dan etnosentrisme, yang menganggap bahwa kelompok sendiri sebagai yang paling baik, unggul, suci, dan benar dibanding kelompok lain, juga dapat menguatkan politik identitas berdasarkan kesamaan identitas agama, kesukuan, etnisitas, bahasa, teritorial, paham/ideologi, pemahaman teologis, dan sebagainya. (Buchari, 2014).
Politik identitas muncul melalui beberapa tahapan: (1) suatu kelompok sosial merasakan pengalaman sebagai korban ketidakadilan yang terus-menerus berulang dari dulu hingga sekarang. Pengalaman ketidakadilan ini baik karena represi dari pihak penguasa maupun karena adanya kelompok sosial lain yang lebih mendominasi. (2) Pengalaman ketidakadilan ini juga dianggap mengancam identitas suatu kelompok tersebut karena dipandang lambat-laun akan menyingkirkan keberadaan kelompok tersebut. (3) Atas dasar itu, suatu kelompok sosial menghimpun sumber daya atau modal baik secara ekonomi, sosial maupun politik untuk melakukan resistensi terhadap situasi yang menekan mereka. (4) Resistensi tersebut dilakukan semata-mata untuk kepentingan survival atau bagian dari mekanisme resilensi kelompok tersebut (Buchari, 2014; Lawler, 2014).
Suatu kelompok sosial lazimnya ingin diketahui dan diakui kehadirannya di ruang publik (rekognisi) dan mendapat kesempatan yang adil dengan kelompok lain dalam redistribusi akses ke berbagai bidang yang selama ini tidak mereka peroleh secara setara sebagaimana kelompok lain.
Tahapan menuju aksi teror
Sekarang mari melihat aksi-aksi teror belakangan ini yang, berdasarkan keterangan Kapolri Jendral Tito Karnavian, dilakukan oleh para anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Indonesia, yang merupakan bagian dari jaringan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). Di Irak dan Suriah, ISIS berupaya mendirikan khilafah. Namun usaha ini tampaknya tidak berhasil sempurna karena ISIS mendapat gempuran dari kekuatan militer gabungan negara-negara Barat dan negara-negara Timur Tengah sehingga posisi mereka kian terjepit, wilayah yang mereka kuasai makin menyempit, dan kekuatan militer mereka menurun drastis. Situasi ini membuat ISIS merasakan marginalisasi yang luar biasa.
Beberapa orang Indonesia yang sempat bergabung dengan ISIS mengalami situasi marginalisasi yang sama, karena solidaritas berdasarkan kesamaan identitas sebagai jaringan ISIS. Hal ini juga mereka rasakan ketika kembali ke Indonesia karena keberadaan mereka diawasi pihak kepolisian. Belum lagi masyarakat mempunyai stereotipe tertentu terhadap mereka yang pulang dari bergabung dengan ISIS.
Narasi bahwa kelompok ISIS telah diperlakukan tidak adil dalam sistem politik global dan menjadi korban kekalahan perang di Irak dan Suriah terus digemakan pada para pengikutnya, termasuk pada anggota jaringan JAD di Indonesia. Mereka juga memiliki narasi yang sama dan merasa perlu untuk memperjuangkan keberadaan, kepentingan, dan identitas mereka. Oleh karena itulah, mereka merasa perlu untuk melakukan perlawanan (resistensi) sekaligus dalam rangka perjuangan agar keberadaan mereka dapat dilihat dan menyedot perhatian publik (upaya mendapatkan rekognisi).
Noorhaidi Hasan, dosen dan peneliti terorisme dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berpandangan bahwa “terorisme lahir dari krisis identitas yang tercipta dari situasi kompleks sehingga pelaku tidak bisa berlaku normal. Mereka hidup dalam sistem politik yang dianggap mengkolonisasi diri, sehingga timbul rasa frustasi. Mereka menyalahkan negara sebagai pengendali sistem yang mereka benci, yang dianggap berciri kapitalis, kafir, dan sebagainya”. Pelaku teror berpandangan bahwa aksi terornya merupakan upaya membangun kembali identitas mereka yang tercerabut.
“Mereka (para teroris) meyakini (aksi terornya) sebagai cara membantu keluar dari kehidupan yang kacau dan brengsek ini; juga tindakan yang bersifat altruistik sebab percaya ‘pengorbanan’ itu membuat kehidupan orang lain jadi lebih baik. Ya daripada hidup tertekan dan mati konyol, lebih baik mati yang mereka anggap syahid,” demikian lanjut Noorhaidi.
Berdasarkan pandangan tersebut, jelas bahwa aksi yang dilakukan oleh para teroris itu dapat dipahami kerangka politik identitas. Namun perlu ditekankan di sini bahwa politik identitas yang mereka lakukan adalah politik identitas dalam pengertian yang amat negatif dan buruk.
Menuju masyarakat tanpa terorisme
Lalu apa? Tentu penelusuran ini tidak hanya ingin menunjukkan bahwa aksi terorisme tersebut bisa dipahami sebagai upaya politik identitas, tetapi juga dalam rangka agar upaya kita bersama sebagai masyarakat sipil dapat mencegah aksi terorisme terjadi kembali.
Jika dilihat dari latar belakang dan mekanisme politik identitas di atas, di antara beberapa hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah dengan mengasah kepekaan terhadap situasi ketika terjadi diskriminasi dan marginalisasi, khususnya terhadap kelompok-kelompok sosial yang terlihat mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat.
Jika suatu kelompok sosial mengasingkan diri dan lalu mendapatkan stigma tertentu dan dijauhi oleh masyarakat, anggota kelompok sosial ini akan semakin menarik diri dan hanya bergaul dengan kelompok mereka sendiri. Maka akan besar kemungkinannya bahwa ideologi radikal mereka semakin menguat karena “efek ruangan bergema” (echo chamber effects), yakni bahwa mereka hanya akan mendengar terus-menerus narasi-narasi dan paham-paham radikal, sebagaimana dialami oleh istri dan anak-anak dari pelaku terorisme sekeluarga di Surabaya itu.
Jika memang benar bahwa aksi terorisme terkait dengan masalah (krisis) identitas, perlu kiranya masyarakat merenungkan kembali makna identitas keagamaan kita di ruang publik. Identitas dan cara beragama yang lekat atau bahkan mendukung narasi kebencian dan kekerasan harus dihentikan!
Munculnya aksi kekerasan selalu melalui tahapan-tahapan yang dapat ditengarai: dari ujaran kebencian (hate speech) terhadap kelompok lain hingga upaya dehumanisasi atau penyebaran pandangan yang menganggap kelompok lain “kurang manusia” (less than human) dibanding kelompok sendiri. Pandangan yang mendehumanisasi kelompok lain ini pada gilirannya menjadi bahan bakar yang membuat aksi kekerasan dan terorisme dapat berlaku kejam dan mengerikan.
________________
Gambar header: Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, setelah mendapat serangan teror bom bunuh diri. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat.