Perdebatan klasik terkait hubungan agama dengan budaya masih menarik untuk diikuti. Begitupun yang terjadi dalam konteks Islam, di mana perbincangan Arabisasi begitu aktual di berbagai media. Tema inilah yang diangkat oleh Dr. Bernard Adeney-Risakotta pada Wednesday Forum CRCS-ICRS 9 November 2011 dengan presentasi berjudul ‘Islam and Culture: Educational Perspectives’
Ilmuwan berkewarganegaraan Amerika Serikat yang telah menetap di Indonesia kurang lebih 20 tahun ini menyatakan keterkesanannya dengan kebudayaan Islam Indonesia. Dia melihat kebudayaan yang dipraktekkan umat islam Indonesia tidak monolitik dan mengandung berbagai kompleksitas.
Paling tidak Dr. Bernard merumuskan 5 tipologi hubungan Islam dengan kebudayaan. Pertama, Islam mesti menggantikan kebudayaan manusia, kedua, kebudayaan Arab Islam adalah kebudayaan tertinggi, ketiga, Islam bermasalah dengan kebudayaan manusia, keempat, Islam membentuk kebudayaan baru yang beraneka, dan kelima, Islam dan kebudayaan memiliki ranah masing-masing dan saling berotonomi satu dengan yang lain.
Menurut Guru Besar Agama dan Ilmu-Ilmu Sosial ini, tipe pertama dan kedua berbahaya bagi pengembangan masyarakat Islam. Sedang yang tipologi yang terakhir merupakan pilihan terbaik di tengah interaksi umat Islam dengan umat lain. Namun, berdasarkan pengamatannya, mayoritas Muslim di Indonesia saat ini cenderung pada tipe ketiga.
Dr. Bernard memaparkan kelima variasi ini dalam bentuk diagram melingkar karena baginya 5 tipe itu dapat dikombinasikan dan disintesiskan untuk mencapai pemikiran Islam kritis terhadap budaya kapitalisme dan konsumerisme modern.
Menimpali pertanyaan seorang peserta tentang hadits Nabi yang berisi klaim masa Muhammad adalah yang terbaik dalam sejarah islam, Dr. Bernard berpandangan klaim itu sah-sah saja. Namun, akan lebih objektif jika kita memposisikan perkembangan suatu masyarakat sebagai proses perbaikan dari waktu ke waktu.
Ketika menjawab ambiguitas istilah kebudayaan Islam dan kebudayaan Arab, Doktor University of California ini menjelaskan kedudukan Islam sebagai keyakinan dan Arab sebagai konteks masyarakat. Menyamakan dua entitas ini sangat problematik. Agama adalah bentuk ‘pikiran Tuhan’ yang diterjemahkan dalam kehidupan manusia dan membutuhkan budaya termasuk bahasa. Tidak ada seorangpun yang mengerti esensi agama sesuai kemauan Tuhan kecuali memahaminya lewat budaya.
Dr. Mark Woodward yang turut dalam forum ini menyarankan agar para akademisi tidak mencoba mengeneralisasi kebudayaan Arab dalam satu warna mengingat Arab itu luas dan masyarakatnya memiliki berbagai bentuk kebudayaan. Oleh karena itu, menurut pakar Islam dan Jawa kenamaan ini, pemakaian istilah ‘Kebudayaan yang terislamkan’ atau “Kebudayaan Muslim” relatif lebih aman daripada istilah “kebudayaan Islam”. [MoU]