Nihayatul Wafiroh |
Pernikahan melalui perjodohan merupakan fenomena sosial menarik yang terjadi di masyarakat. Pesantren yang dianggap sebagai “lembaga suci” seringkali dijadikan rujukan untuk percarian pasangan dengan peran kyai sebagai “mak comblang” terpercaya. Sedikit berbeda dengan perjodohan tradisional dimana kuasa orang tua begitu besar terhadap anak perempuan sehingga mengabaikan proses pengenalan, pesantren menjadi solusi atas kegamangan orang lewat konsep ta’aruf (perkenalan yang Islami). Rekomendasi seorang kiyai yang notabene adalah sosok alim dan sholeh dianggap jaminan untuk mendapatkan pasangan yang baik.
Paparan di atas disampaikan Nihayatul Wafiroh, kandidat Ph.D di ICRS UGM pada 8 Februari lalu di Wednesday forum CRCS-ICRS dengan presentasi berjudul “Arranged Marriages in Indonesia: A Case Study from Darussalam Pesantren, Banyuwangi, East Java, Indonesia”. Fenomena perjodohan di kalangan pesantren ini merupakan penelitian tesis Nihayatul ketika menyelesaikan studi di University of Hawaii. Ia melibatkan berbagai elemen pesantren seperti kyai sebagai pemimpin pesantren beserta keluarganya, santri atau murid pesantren beserta alumni, juga masyarakat sekitar dalam riset tersebut.
Pesantren menjadi tempat penelitian yang menarik karena relasi kepatuhan antara santri dengan kyai mirip dengan relasi kepatuhan seorang anak dengan orang tua. Berdasarkan temuan di lapangan, Nihayatul menyebutkan bahwa proses perjodohan yang terjadi pada responden yang ditemuinya berbeda dengan proses perjodohan tradisional masa lalu, dimana pasangan yang dijodohkan tidak memiliki kesempatan untuk saling bertemu dan mangenal. Kedua pihak yang hendak dijiodohkan diperbolehkan untuk saling mengenal dan diberikan kebebasan untuk melanjutkan proses itu menuju pernikahan atau tidak.
Berbeda dengan pernikahan berbasis cinta yang dianggap sebagai representasi kebebasan, perjodohan seringkali dituding sebagai simbol pengekangan. Apalagi perjodohan karena motif ekonomi dimana distribusi uang atau kapital antara dua keluarga dan motif sosial terutama bagi keluarga si perempuan yang dijodohkan dengan si pria yang berasal dari derajat sosial tinggi, menjadikan anak perempuan diposisikan sekedar “pemenuh hasrat” orang tua. Tak jarang mereka memaksakan kehendak dan mengabaikan ketidaktertarikan sang anak dengan calon yang akan dijodohkan dengannya. Orang tua seringkali berdalih, ingin anaknya bahagia dengan menikahi pria kaya atau berasal dari keluarga kaya.
Sementara, perjodohan melalui kyai lebih bermotif pendekatan spiritual. Menikahi gadis sholehah atau pemuda sholeh diyakini sebagai jalan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Janji-janji agama ini membuat banyak orang menyerahkan pilihan jodohnya kepada kyai.
Nihayatul menemukan fakta yang menarik, dari sekian banyak pasangan yang menikah lewat jalur perjodohan yang ia wawancarai saat penelitian, hanya satu pasangan saja yang bercerai. Itupun karena si pria melakukan poligami. Baginya perjodohan bisa digiring lebih demokratis ketika ada hak untuk menerima/menolak kandidat yang diajukan.
Cinta yang selama ini diagung-agungkan, menurut responden Nihayatul di lapangan, bukanlah faktor penting ketika dua insan menuju pelaminan. Pilihan kyai sudah dianggap cukup. Karena cinta bisa tumbuh pasca pernikahan.
Dalam jurispudensi Islam dikenal terma “ijbar” (otoritas orang tua) sebagai salah satu pilar pernikahan. “Ijbar” adalah implementasi otoritas orang tua dalam menikahkan seorang anak perempuan yang diyakini belum cukup dewasa untuk mengambil keputusan pernikahan. Namun, “Ijbar” salah dipahami sehingga terjadilah “ikrah” (pemaksaan). Banyak orang tua yang mempraktekkan “ijbar” dengan logika “ikrah”.
Beberapa tahun belakangan, terjadi perubahan signifikan di kalangan pesantren. Tradisi perjodohan perlahan tergerus dengan semakin banyaknya kaum santri yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Generasi muda mereka telah diberikan kebebasan untuk menemukan pasangan masing masing. [MoU]