Kombinasi antara kebangkitan Islam dan kelas menengah di Indonesia menghasilkan pasar baru bagi pendidikan Islam: munculnya elite perkotaan sekolah-sekolah Islam. Kombinasi ini terjadi pada 1990-an karena ada banyak kelas menengah Muslim membelanjakan uang mereka untuk mendidik anak-anak mereka di sekolah dasar dengan biaya yang sangat mahal, yang lebih mahal dibanding biaya kuliah di sebuah universitas negeri. SD Islam ini tidak seperti banyak lembaga pendidikan Islam tradisional lainnya, karena secara garis besar tidak secara langsung terhubung ke organisasi Islam lama seperti NU atau Muhammadiyah, tetapi lebih merupakan yayasan atau waralaba yang independen. Namun, ketegangan antara organisasi-organisasi Islam yang bermain, khususnya di kalangan NU, Muhammadiyah dan PKS, juga terjadi dalam model-model kontestasi di ruang baru ini.
Dalam diskusi Wednesday Forum kali ini, Karen, sang presenter, melihat dua jenis sekolah di Yogyakarta yakni SD Islam Terpadu dan SD Islam Al Azhar. Walaupun keduanya mengaku mempromosikan Islam sejati, presentasi dan praktek-praktek mereka bervariasi, dan berpengalaman tidak hanya melalui pelajaran di kelas, tetapi dalam budaya sehari-hari sekolah.
Karen lulus dari International of Education from Harvard University. Sekarang dia sedang menyelesaikan gelar PhD dalam bidang International Comparative Education Antropologi dari Columbia University, New York City. Karen telah banyak melakukan presentasi internasional, seperti presentasi tentang budaya dan Identitas; perkotaan dan pendidikan Islam; komparasi pendidikan internasional, dan beberapa seminar internasional terpilih lainnya.
Dalam sesi tanya jawab, beberapa pertanyaan, saran, kritik muncul. Kritik Endy Sa, menanyakan bahwa Karen tidak menunjukkan pertanyaan utama dalam penelitian. Dia hanya menjelaskan tentang fenomena sekolah elite perkotaan, tapi tidak tampak memproblematisasikan. Padahal, menimbulkan berbagai pertanyaan dan masalah merupakan unsur paling penting sebelum kita melakukan penelitian lapangan. Dalam pertanyaan yang sangat mendasar, Endy juga menanyakan Karen latar belakang mengapa ia tertarik dalam topik ini. Pak Berney, Direktur ICRS memberikan masukan dan beberapa pertanyaan kritis, seperti apa yang dimaksud dengan konsep “terpadu” (kombinasi) di sekolah Islam, apakah ini adalah penggabungan antara Islam tradisional, modern dalam sekolah dasar atau apa? Pertanyaan menarik lainnya juga mengenai apakah sekolah-sekolah elite ini menunjukkan adanya kebangkitan kembali gerakan pemurnian Islam dalam agama saat ini di Indonesia?
Beberapa pertanyaan tersebut dijawab secara apologetik. Karena berasal dari disiplin antropologi, Karen mengaku, meneliti secara grounded, seolah peneliti tak membawa suatu masalah. Pertanyaan lain dijawab secara retorik. Dia balik mempertanyakan apakah yang dimaksud terpadu itu?
(HAK)