• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Academic Documents
    • Student Satisfaction Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • Tuhan dalam Pandangan Anak-Anak

Tuhan dalam Pandangan Anak-Anak

  • Berita Wednesday Forum
  • 10 June 2010, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Pembicara pada “Wednesday Forum” Oktober 14, 2009 adalah Melanie Nyhof, kandidat doctor dari Pittsburgh University. Sedangkan moderator kali ini adalah Roy Alan Brango Tolentino. Melanie mempresentasikan artikel penelitiannya berjudul “Allah Shape is like the sky, children understanding of God”. Dalam diskusi ini, ia melihat bahwa konsep-konsep agama tentang hal yang bersifat supernatural bukanlah sesuatu yang terberi demikian saja, melainkan terorganisir melaui pemikiran. Fokus penelitian Melanie adalah pada anak-anak Indonesia yang baru berkembang dalam memahami makna Tuhan. Mereka mempunyai perbedaan latar belakang berdasarkan agama, usia, kultural dan psikologis.

Melanie menyatakan bahwa banyak dari para peneliti mengenai perkembangan anak dalam melihat Tuhan lebih berdasarkan latar belakang agama Kristen. Riset-riset lama menyatakan bahwa pandangan anak-anak dapat menggabungkan antara hal-hal yang natural dengan supernatural. Anak-anak melihat Tuhan seperti seorang manusia, kadang-kadang mereka melihatnya seperti langit atau juga orang tua. Melanie menyebut Tuhan sebagai anthropomorphic, di mana Tuhan dapat ditafsirkan secara konkrit seperti layaknya penampilan manusia. Ini berlawanan dengan pandangan teologi tradisional yang melihat bahwa Tuhan seperti alien dan sangatlah abstrak. Studi terakhir menunjukkan bahwa beberapa hal kepemilikan Tuhan dan karakternya sesungguhnya dapat dipahami oleh anak-anak. Sedangkan tabel penelitian Melanie menunjukkan bahwa anak mempunyai tingkatan pandangan dalam melihat Tuhan, mulai dari yang sangat abstrak hingga ke yang sangat konkrit. Meskipun demikian, ketika Tuhan dilihat dari kaca mata anthrophomorphic, namun ia masih dianggap mempunyai kekuatan yang tidak terkira.

Jarak usia penelitian yang dilakukan oleh Melanie adalah mulai dari kisaran 3-12 tahun, yang mana keduanya berasal dari latar belakang Kristen dan Islam. Penemuan menarik yang ditemukannya menunjukkan bahwa persepsi anak-anak Muslim terhadap Tuhan adalah jauh lebih abstrak dibanding persepsi anak-anak Kristen dalam melihat Tuhan. Hal ini mungkin dikarenakan perwujudan Jesus yang cukup membantu dalam mengimajinasi keberadaan Tuhan atau terkadang anak-anak Kristen mellihat Tuhan adalah orang tuanya sendiri, sedangkan anak-anak Muslim tidak mempunyai referensi yang konkrit mengenai bentuk Tuhan.

Dalam hasil penelitian metode kualitatifnya, Melanie lebih menekankan pada interview dengan pertanyaan terbuka, dengan beberapa pertanyaan tentang tampilan Tuhan, dimana Tuhan berada, apa yang dilakukannya. Kemudian tentang apa itu surga, jiwa, dan kehidupan setelah mati dalam pandangan anak-anak. Melanie mewawancarai sekitar 66 anak-anak, 57 darinya adalah anak-anak dari sekolah Islam. Ketika Melanie bertanya di manakah Tuhan berada? Kebanyakan anak menjawab bahwa Tuhan berada di langit, surga dan langit ke tujuh. Sedikit yang merespon bahwa Tuhan berada di hati kita dan Tuhan berada di manapun. Apa yang Tuhan lakukan? jawaban anak-anak tersebut adalah Tuhan melihat manusia dan alam sekitarnya, Tuhan duduk dan tidur dll. Ketika Melanie bertanya, seperti apa tampilan Tuhan?, Anak-anak menjawab bahwa Allah itu lebih besar dari langit dan lebih besar dari bangunan dan roket. Dari kesemuanya, tampak bahwa anak-anak tidak bingung dengan konsep Tuhan, meskipun dalam pandangan orang dewasa anak-anak dianggap masih mempunyai kekacauan dalam membedakan prinsip Tuhan secara mental, fisik, dan biologis.

Beberapa respon, komen, dan pertanyaan diajukan ketika sesi tanya jawab dibuka. Seorang audiens bertanya tentang apa yang harus dilakukan dan dijelaskan ketika seorang anak bertanya tentang keberadaan Tuhan dan tampilan-tampilan luarnya, karena kebanyakan orang tua di Indonesia sulit untuk menjelaskan hal ini. Komentar lainnya juga ditunjukkan oleh audiens berikutnya yang menyatakan bahwa konsep Tuhan sebenarnya bukan hanya dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan, namun juga latar belakang kultural yang penting. Disamping itu, ada beberapa audiens yang mengkritik cakupan penelitian Melanie karena ia tidak menjelaskan bagaimana jenis kelamin Tuhan dalam pandangan anak-anak, perbedaan antara anak-anak perkotaan dan pedesaan dalam memandang Tuhan, dan bagaimana anak-anak yang dibesarkan dalam kultur Muhammadiyah dan NU dalam memandang Tuhan. Diskusi menarik ini berjalan lebih dari satu setengah jam, dan masih dilanjutkan dalam obrolan-obrolan dengan pembicara, setelah forum resmi usai.

Melani Nyhof mendapatkan gelar master degree-nya dari University of Pittsburgh; dia juga mendapatkan beberapa penghargaan dan beasiswa penelitian seperti intercultural research award; Fulbright award; Commission and religion theology project grant; dan juga North American science and religion travel grant. Dia telah tinggal di Indonesian selama lebih dari sepuluh tahun, dan penelitiannya ini akan selesai pada akhir tahun ini.

(HAK)

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Faith could be cruel. It can be used to wound thos Faith could be cruel. It can be used to wound those we might consider "the other". Yet, rather than abandoning their belief, young queer Indonesians choose to heal by re-imagining it. The Rainbow Pilgrimage is a journey through pain and prayer, where love becomes resistance and spirituality turns into shelter. Amidst the violence, they walk not away from faith, but towards a kinder, more human divine. 

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
H I J A U "Hijau" punya banyak spektrum dan metrum H I J A U
"Hijau" punya banyak spektrum dan metrum, jangan direduksi menjadi cuma soal setrum. Hijau yang sejati ialah yang menghidupi, bukan hanya manusia melainkan juga semesta. Hati-hati karena ada yang pura-pura hijau, padahal itu kelabu. 

Simak kembali perbincangan panas terkait energi panas bumi bersama ahli panas bumi, pegiat lingkungan, dan kelompok masyarakat terdampak di YouTube CRCS UGM.
T E M U Di antara sains yang mencari kepastian, a T E M U

Di antara sains yang mencari kepastian, agama yang mencari makna, dan tradisi yang merawati relasi, kita duduk di ruang yang sama dan mendengarkan gema yang tak selesai. Bukan soal siapa yang benar, melainkan  bagaimana kita tetap mau bertanya. 

Tak sempat gabung? Tak perlu kecewa, kamu dapat menyimak rekamannya di YouTube CRCS.
Dance is a bridge between two worlds often separat Dance is a bridge between two worlds often separated by distance and differing histories. Through Bharata Natyam, which she learned from Indu Mitha, Aslam's dances not only with her body, but also with the collective memory of her homeland and the land she now loves. There is beauty in every movement, but more than that, dance becomes a tool of diplomacy that speaks a language that needs no words. From Indus to Java, dance not only inspires but also invites us to reflect, that even though we come from different backgrounds, we can dance towards one goal: peace and mutual understanding. Perhaps, in those movements, we discover that diversity is not a distance, but a bridge we must cross together.

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY