Van Lith dan Akulturasi ‘Katolik Jawa’
Haris Fatwa Dinal Maula – 22 Nov 2020
Karena dibawa oleh Portugis dan selanjutnya oleh kolonial Belanda, Kristenisasi sering susah dilepaskan dari kolonialisme dan upaya westernisasi (pembaratan) budaya penduduk lokal Nusantara. Oleh karenanya, berbagai perlawanan muncul dari masyarakat lokal yang menolak penggerusan terhadap identitas dan budaya mereka.
Dalam suasana yang demikian, Franciscus van Lith (1896-1921) datang ke Muntilan, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, sekitar 30 km sebelah utara Yogyakarta, saat jumlah umat Katolik di Jawa Tengah baru beberapa ratus saja dari penduduk lokal. Van Lith membaca situasi tersebut dan merumuskan pandangan bahwa, agar lebih berterima, Katolik mesti lebih akomodatif pada budaya setempat. Teologi Katolik harus mengalami ‘pribumisasi’ dengan budaya Jawa.
Upaya van Lith ini juga dilatari oleh kegagalan misionaris Protestan Eropa yang memaksakan kekristenan pada orang Jawa dengan cara yang, disadari atau tidak, telah mencerabut mereka dari akar tradisi Jawa. Van Lith juga sekaligus berupaya memisahkan gerakan misi Katolik dari kepentingan politik kolonial. Keduanya bagi van Lith tidaklah satu paket. Pada kenyataannya, van Lith mendukung persemaian bibit nasionalisme di kalangan pengikutnya yang di kemudian hari turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Akulturasi Katolik
Perkara yang sering ditekankan oleh van Lith dalam tulisan-tulisannya adalah perlunya menghormati adat, yang ia definisikan sebagai “adat istiadat leluhur, baik agama maupun lainnya”. Van Lith bersetuju dengan pandangan Kiai Sadrach, yang komunitasnya ia sebut sebagai Kristen Jowo, bahwa para pengikutnya harus tetap menjadi orang Jawa. (Baca esai tentang Kiai Sadrach di sini.)
Van Lith memanfaatkan kebijakan politik Belanda, yang pada waktu mengalihkan keberpihakan pada adat lokal guna menentang kelompok Islam, dengan mengambil sebagian dari adat istiadat Jawa dan memasukkannya ke dalam peribadatan Katolik. Ia menambahkan musik gamelan dalam upacara-upacara keagamaan. Ia juga menginisiasi pemilihan tempat suci dan tanggal keramat dalam tradisi Jawa untuk kepentingan peribadatan Katolik. Dalam catatannya, ia mengatakan bahwa masyarakat Jawa pada waktu itu kurang memaknai doa-doa dan nyanyian Katolik sehingga ia menekankan perubahan doa dari bahasa Belanda ke bahasa Jawa.
Van Lith tidak sendirian dalam menanggung tanggung jawab misionaris di Jawa. Ia dibersamai Petrus Hoovenaars S.J. Namun sejarah mencatat bahwa Hoovenaars kurang mendapat apresiasi yang baik karena ia hanya terfokus pada pembaptisan orang pribumi sebanyak-banyaknya tanpa sedikitpun melakukan usaha untuk lebih mengenal Jawa sehingga ia tidak memahami bagaimana karakter, tata cara hidup, kebutuhan, dan kebiasaan orang Jawa.
Remy Madinier dalam tulisannya, “The Catholic politics of inclusiveness: A Jesuit epic in Central Java in the early twentieth century and its memory” dalam The Politics of Religion in Indonesia (2011) menilai bahwa van Lith menyadari bahwa tindakan Hoovenaars itu akan merusak misi. Madinier menggambarkannya dalam kasus undangan slametan yang datang kepada van Lith. Van Lith menerima undangan itu sebagai media efektif agar bisa lebih dekat mengenal tradisi keagamaan orang Jawa.
Madinier melihat bahwa situasi ini menggambarkan keterbukaan van Lith pada “tradisi sinkretis” di Jawa. Bahkan van Lith juga berupaya memasukkan unsur-unsur ajaran Katolik ke dalam mitos-mitos populer Jawa. Ia misalnya mendekatkan masyarakat Sendangsono, Kalibawang, Jawa Tengah, yang sudah terlebih dahulu beragama Islam atau Kristen Protestan, ke ajaran Katolik dengan cara mengadopsi cerita lokal tentang Dewi Lantamsari, penjaga dan pelindung mata air Sendangsono, yang ia samakan dengan Maria.
Ekonomi dan pendidikan
Di samping akulturasi budaya, van Lith bergerak lebih jauh. Ia tidak mencukupkan diri dengan hanya membaurkan ajaran Katolik dengan tradisi Jawa. Ia berupaya agar Katolik bisa lebih masuk ke dalam aspek mendasar lain yang penting bagi penduduk lokal, yaitu ekonomi dan pendidikan.
Perbaikan ekonomi orang Jawa, menurut van Lith, harus direalisasikan agar mereka dapat dengan secara lebih sadar menilai bagaimana sebenarnya inti ajaran agama Katolik. Van Lith menginisiasi usaha-usaha seperti sewa tanah, klinik kesehatan, produksi anyaman bambu berwarna-warni, dan jenis usaha lain. Lebih penting dari itu, agar ajaran Katolik dapat dipahami lebih mendalam, van Lith juga mendirikan sekolah tinggi Katolik di Muntilan yang bernama Kolese Xavier pada 1904. Dalam perkembangannya, sekolah ini benar-benar memegang peranan penting bagi penyebaran Katolik di Jawa terutama dalam melahirkan pemimpin-pemimpin Katolik lokal yang mengembangkan upaya emansipasi politik Jawa, yang di kemudian hari turut berkontribusi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Van Lith menunjukkan bahwa ia tidak hanya ingin mencetak pemimpin Katolik lokal yang hanya memikirkan kegerejaan saja, tetapi juga kepentingan seluruh masyarakat Jawa.
Di antara lulusan awal Xavierius yang terkemuka adalah Mgr. Albertus Soegijapranata S.J. Soegijapranata, yang kemudian menjadi uskup Indonesia pertama yang berkedudukan di Semarang, terkenal dengan jargon “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia” dan terlibat dalam penyelesaian damai Pertempuran Lima Hari di Semarang. Ie memiliki pendirian pro-nasionalis, telah menjadi pahlawan nasional (dikebumikan di taman makam pahlawan Giri Tunggal, Semarang), biografinya telah difilmkan, dan namanya menjadi nama salah satu universitas Katolik di Semarang..
Van Lith merupakan salah satu figur penting dalam sejarah akulturasi agama dunia dan tradisi lokal di Indonesia, khususnya Jawa. Penduduk asli yang beragama Katolik di Jawa Tengah yang hanya ratusan dulu ketika van Lith menginjakkan kakinya di tanah Jawa kini sudah mencapai jutaan. Van Lith ialah satu bentuk bukti bahwa keberhasilan persebaran agama dunia ke pelbagai ragam etnis masyarakat selalu bergantung pada bagaimana tokoh penyebar agama itu memperlakukan tradisi, adat istiadat, dan aspirasi politik masyarakat lokal.
__________________________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020.
Gambar header: lukisan di Gereja Katolik Santo Antonius, Kotabaru.