Menjadi Yahudi di Indonesia: Refleksi Personal
Eli Fisher – 26 Juni 2018
Selama dua tahun tinggal di Indonesia, saya mendapati hal-hal terkait Nazi lebih banyak dari yang semula saya bayangkan. Saya melihat hormat-ala-Nazi di kelas, swastika pada tas ransel, dan parade 30 motor di jalan yang dengan bangga mengibarkan bendera merah besar berhiaskan swastika. Ada bahkan di Bandung sebuah kafe bertema Nazi, dan di Yogyakarta satu museum lilin tempat banyak pengunjungnya berswafoto dengan patung lilin Hitler ukuran riil dengan kamp konsentrasi Auschwitz sebagai latar belakangnya.
Namun demikian, secara pribadi sebagai seorang Yahudi, saya tidak pernah mendapat sentimen anti-Semit di Indonesia. Kadang saya mendapat pertanyaan tentang apakah orang-orang Yahudi itu pebisnis handal yang lihai mengatur uang—satu hal yang mengisyaratkan pada stereotip mengenai Yahudi. Hanya sejauh pertanyaan inilah saya mengalami sentimen anti-Semit secara pribadi, jika pertanyaan itu merupakan bentuk anti-Semitisme. Sebagai besar yang saya temui ialah orang-orang yang cenderung ingin tahu tentang Yudaisme, karena sangat mungkin bahwa saya adalah orang Yahudi pertama yang mereka temui.
Sejak mendapati simbol-simbol Nazi itu, selama tinggal di Indonesia saya menjadi tertarik untuk belajar tentang komunitas Yahudi di Indonesia. Sumber rujukan mengenai topik ini tidak banyak dan kerap mengandung informasi yang bertentangan, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang sejarah komunitas Yahudi di Indonesia. Dari rujukan yang dapat saya kumpulkan, kurang lebih begini sejarah singkatnya: Orang Yahudi mulai menetap di Indonesia, atau yang pada waktu itu dikenal sebagai Hindia Belanda, sebagai pedagang sejak era kolonial Belanda pada abad ke-17. Orang-orang Yahudi Belanda, bersama dengan orang-orang Yahudi dari Austria, Rumania, dan Irak, ingin berasimilasi ke dalam masyarakat Belanda dan karena itu berusaha menyembunyikan atau menyangkal asal-usul keyahudian mereka, sehingga rekaman jejak-jejak orang Yahudi ini sulit ditemui (Hadler 2004: 299).
Survei pertama yang dapat diandalkan mengenai orang Yahudi di Hindia Belanda ialah survei pada 1921 yang mencatat ada sekitar dua ribu orang Yahudi tinggal di Jawa (Hadler 2004: 299). Pada 1942, ketika pasukan Jepang menduduki Hindia Belanda, orang-orang Yahudi diperlakukan dengan baik, sampai setelah satu tahun masa pendudukan ini, Nazi memerintahkan orang Jepang untuk menangkap semua orang Yahudi seperti yang mereka lakukan di Eropa (Hadler 2004: 203). Orang-orang Yahudi baru dibebaskan ketika Jepang menyerah dan, setelah Indonesia meraih kemerdekaan, mayoritas orang Yahudi kembali ke Eropa, atau bermigrasi ke Amerika, Australia, atau Israel.
Dalam rentang sejarah itu, anti-Semitisme diyakini berkembang dari dua sumber. Pertama, dari orang Belanda dan Jerman yang tinggal di Hindia Belanda pada 1930-an dan aktif mendukung Nazi. Keberadaan mereka memengaruhi pembentukan persepsi mengenai Yahudi di Indonesia. Kedua, selama pendudukan Jepang di Hindia Belanda, sentimen anti-Semit menyebar melalui propaganda perang Jepang. Saat itu, sejumlah intelektual terkemuka bahkan menerjemahkan wacana anti-Semit ke dalam bahasa Indonesia atas nama Nazi. (Hadler 2004: 292)
Pun demikian, kesan saya ialah bahwa munculnya hal-hal terkait Nazi di ruang publik di Indonesia hari ini tidaklah berasal dari sumber-sumber itu dan bukan merupakan ekspresi anti-Semitisme. Hingga taraf tertentu, saya percaya hal ini berasal dari kurangnya pendidikan tentang kekejaman Nazi selama Perang Dunia II. Ketika orang-orang di sini secara terbuka menampilkan simbol-simbol Nazi, mereka tidak sedang menyatakan kesetiaan pada agenda politik Nazisme. Dari yang saya tahu, pengetahuan tentang Nazisme tidak diajarkan di sekolah, atau jika ia diajarkan, informasi tentang kekejaman Holocaust tidak disertakan dalam pengajaran.
Di antara sedikit sarjana yang meneliti asal muasal anti-Semitisme di Indonesia, Suciu (2008: 53) menyatakan bahwa ketika topik mengenai Nazisme dibahas, ia dibahas dengan cara “menggambarkan Hitler sebagai salah satu pemimpin yang membawa bangsanya keluar dari kesengsaraan ekonomi menuju panggung dunia, tanpa menjelaskan anti-Semitisme”. Kekaguman terhadap Hitler karena sifat kepemimpinannya pernah saya dengar beberapa kali, termasuk di kelas saya, ketika saya membuat permainan peran dalam debat dan seorang mahasiswa memilih menjadi Hitler. Mahasiswa ini menyampaikan justifikasi bahwa ia layak dipilih karena kualitas kepemimpinannya yang luar biasa.
Sumber wacana anti-Semit yang paling signifikan di Indonesia hari ini tampaknya berasal dari konflik Israel dengan Palestina dan dengan negara-negara Timur Tengah. Afiliasi keagamaan memengaruhi wacana anti-Semit ini. Hadler (2004: 308) sampai pada kesimpulan bahwa, “Ketika ada anti-Semitisme di Indonesia [hari ini]… ia sebenarnya ialah anti-Israelisme.” Saya merasakan ini tahun lalu ketika Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, satu hal yang kemudian menyebabkan demonstrasi besar di depan kedutaan Amerika di Jakarta. Pada waktu-waktu inilah, untuk pertama kalinya ada yang mewanti-wanti saya agar berhati-hati jika ingin menyebutkan bahwa saya seorang Yahudi ketika bertemua orang baru yang menanyakan apa agama saya.
Meski saya memahami konteks wacana di Indonesia, melihat swastika besar tetap terasa menderu-deru bagi saya. Belum lama ini, ketika mengemudi di Yogyakarta, saya berhenti di belakang mobil dengan gambar seekor elang di atas swastika yang memakan ruang sekitar seperempat dari kaca belakang mobil itu. Mendapati ukuran swastika sebesar itu tampil di ruang publik dengan cara seperti itu membuat saya sedih. Sejak pengalaman ini, saya benar-benar termotivasi untuk menjangkau (reach out) komunitas Yahudi di sini.
Saat ini diperkirakan ada sekitar 200 orang pengamal Yudaisme (practicing Jews) di Indonesia. Mereka ini sebagian besar adalah keturunan Yahudi imigran dari Belanda atau Irak. Hingga 2013, ada dua sinagog di Indonesia; satu di Manado, Sulawesi Utara, dan satunya di Surabaya, Jawa Timur, yang didirikan pada 1939. Pada 2009, satu kelompok Islam berupaya menutup sinagog di Surabaya dan membakar bendera Israel untuk memprotes serangan Israel ke Gaza. Pada 2013, sinagog di Surabaya itu dihancurkan, tanpa ada kejelasan informasi siapa pelakunya dan atas alasan apa.
Ketika saya mulai mencari tahu ihwal kondisi orang Yahudi di Indonesia hari ini, sinagog Manado dan rabinya muncul paling sering dan tampil dalam banyak artikel, termasuk di New York Times. Saya sempat berpikir untuk menghubungi rabi ini untuk menanyakan apakah saya boleh mengunjunginya. Cuma, pergi ke sana dari Yogya bukan hal mudah. Beruntung, saya mendapati rabi lain yang tinggal di Jakarta dan namanya muncul dalam beberapa artikel. Saya menghubunginya dan berhasil mendapatkan undangan untuk menghadiri Seder Paskahnya di Jakarta.
Saat tiba di tempat, di sebuah bangunan yang tak mencolok di Jakarta, putra sang rabi menyambut dan lalu membawa saya ke sebuah ruangan besar yang dihias dengan baik, dengan dua meja besar di tengahnya. Di bagian depan ruangan itu ada mimbar, satu tabut Taurat yang ditutupi kain dengan tulisan Ibrani, dan sebuah menorah besar di sebelah kirinya. Ada sekitar 20 orang di sana, termasuk 3 keluarga dengan anak-anak, seorang polisi muda yang bukan Yahudi tetapi telah menjadi teman rabi dan tertarik pada Yudaisme, dan seorang wartawan Amerika yang sedang menulis artikel tentang Yahudi di Indonesia untuk Financial Times. Semua lelaki mengenakan yarmulke (kippah, peci ala Yahudi), dan di meja-meja terhampar piring-piring tradisional untuk Seder Paskah, anggur kosher/halal, matzah yang agak basi, dan roti tak beragi yang hanya dimakan saat Paskah.
Ritual dilakukan dalam bahasa campuran Ibrani dan Indonesia. Mereka memakai Haggadah, teks tradisional yang dibaca saat Paskah, yang belum lama mereka terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia—saya duga ini mungkin satu-satunya Haggadah berbahasa Indonesia di dunia saat ini. Saya senang mendengar bagian-bagian dari ritual yang sudah saya akrabi bertahun-tahun diucapkan dalam bahasa Indonesia, khususnya terjemahan kata Ibrani “Dayenu”, yang secara tradisional dinyanyikan berulang kali, yang dibacakan dalam bahasa Indonesia dengan “itu sudah cukup”.
Selain fakta bahwa sebagian besar ritual Seder itu berbahasa Indonesia, semuanya terasa sangat akrab, dan saya acapkali harus mengingatkan diri bahwa saya masih di Indonesia, bukan di West Hartford, Connecticut. Kami melewati seluruh Seder dengan cara yang sama seperti yang saya miliki selama 25 tahun terakhir, termasuk urutan emosi selama Seder panjang: gembira di awal-awal, kemudian sedikit bosan, diikuti oleh rasa lapar, lalu merasa tergoda setelah makan peterseli yang dicelupkan ke dalam air asin dan ‘sandwich’ kecil dengan roti yang tak beragi, dan akhirnya, bertanya-tanya berapa banyak lagi Haggadah yang masih harus kami lalui.
Segera setelah Seder usai, rabi memanggil saya, wartawan, dan polisi muda untuk berkumpul karena ia hendak menceritakan kisahnya. Rabi lahir dari ayah yang seorang Muslim Jawa, dan ibunya keturunan Eropa; kakeknya seorang Yahudi Belanda yang mengajarinya untuk membaca berkat Ibrani saat masih anak-anak. Pada usia 16 tahun, beberapa orang mulai mengolok-oloknya karena ras campurannya dan menyebutnya “kafir”. Pengalaman ini merupakan katalis baginya untuk meninggalkan Islam dan akhirnya, setelah bertemu dengan seorang misionaris Kristen dari Filipina, ia masuk Kristen dan belajar di seminari Kristen. Setelah agak lama beralih ke agama Kristen, ia bertemu lagi dengan kakeknya yang Yahudi, yang mengatakan kepadanya bahwa ia harus “mematuhi misi Tuhan”.
Saat di seminari Kristen, yang menjadi tempat belajarnya selama 9 tahun, dia mulai membaca Alkitab Ibrani. Dia digerakkan oleh satu pasase dalam kitab Yehezkiel yang berbicara tentang kehendak Tuhan untuk mengembalikan orang-orang Yahudi ke tanah mereka. Sejak itu ia merekognisi darah keyahudiannya lagi, dan ia ingin kembali ke akar Yahudinya. Mulanya tidak mudah untuk menemui dan mengumpulkan orang-orang Yahudi di Indonesia. Namun berkat munculnya media sosial, sejak era Friendster hingga Facebook kini, ia berhasil membentuk sebuah komunitas Yahudi. Kami mendiskusikan beberapa hal terkait bagaimana pengalamannya menjadi Yahudi di Indonesia; bagaimana hubungannya dengan rabi sinagog Manado; apakah ia mendapat pengalaman diskriminasi dan anti-Semitisme; dan lain-lain.
Terdorong oleh pengalaman saya menyaksikan simbol-simbol Nazi dan wacana anti-Semit, saya datang ke Seder ini ingin tahu tentang seperti apa kehidupan bagi sekelompok orang yang mempraktikkan agama yang sangat minoritas di negara tempat agama sering berada di garis depan dalam memengaruhi kehidupan politik, ekonomi, dan budayanya. Saya ingin memahami bagaimana sekelompok orang yang mengidentifikasikan diri dengan sebuah agama di negara yang secara konstitutional menjamin kebebasan beragama namun mereka tak dapat terang-terangan tanpa beban dalam menyebut agamanya mereka di ruang publik dan dokumen identitas resmi. Saya terkejut bahwa mungkin tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan-pertanyaan yang saya miliki, namun di negara ini, saya juga menyadari bahwa tidak ada pertanyaan tentang identitas keagamaan yang memiliki jawaban sederhana.
Rujukan terkutip
Hadler, Jeffery. “Translations of Anti-Semitism: Jews, the Chinese, and Violence in Colonial and Post-Colonial Indonesia.” Indonesia and the Malay World, 32/94, Nov. 2004, pp. 291-313.
Suciu, Eva Mirela. “Signs of Anti-Semitism in Indonesia.” The University of Sydney, 2008.
_____________________
Versi asli esai ini ditulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan pada mulanya di situsweb Oberlin Shansi – Eli Fisher ’16: An Indonesian Passover. Diterjemahkan dengan modifikasi dan sedikit suntingan oleh Azis Anwar. Kredit foto header: Eli Fisher.