Yang Alpa dalam Debat Monoteisme Purba
Tarmizi Abbas – 09 Juli 2021
Monoteisme sering dianggap sebagai puncak dari pengalaman keagamaan manusia. Tak heran, dalam studi antropologi agama, monoteisme sering disandingkan dengan gerak evolusi peradaban manusia. Karenanya, keberadaaan temuan monoteisme pada masyarakat purba menjadi antitesis dalam teori evolusi agama. Akan tetapi, ada yang alpa dalam hiruk-pikuk perdebatan tersebut.
E. B. Tylor, dalam karyanya The Primitive Culture (1871), mengajukan tesis bahwa muasal dan perkembangan agama itu bersifat evolusionis: bermula dari kepercayaan adanya roh (animisme), ke paham para dewa-dewa (politeisme), menuju kepercayaan pada Tuhan yang satu (monoteisme). Bagi Tylor, evolusi agama ini juga menandakan ciri dasar perkembangan kebudayaan masyarakat: biadab-barbar-beradab. Dengan mengadaptasi teori evolusi dalam ilmu alam, Tylor ingin agar argumen ini mendapat rekognisi universal.
Namun tak jauh berselang, argumentasi ini dibantah Andrew Lang, seorang antropolog dan ahli folklor. Lang menyimpulkan bahwa teori Tylor tersebut bias ketika membangun kategorisasi agama secara evolusionis dari animisme dan politeisme. Bagi Lang, muasal agama itu sudah dari sananya monoteisme. Lang mengelaborasi teori primeval monotheism ‘monoteisme purba’ yang menyatakan bahwa masyarakat lokal telah bertuhan pada Entitas Tertinggi (Supreme Being), sebelum kemudian ada yang menjadi politeisme. Perdebatan ini meruncing ketika pada awal abad ke-20, Tylor menerbitkan “On the Limits of Savage Religion” (1892) tentang kepercayaan animisme suku-suku di Australia pada Baiame, sosok All Father atau Tuhan/Dewa Tertinggi. Perdebatan monoteisme purba ini kemudian berlanjut hingga pertengahan abad ke-20.
Sayangnya, dalam perdebatan sengit ini kedua kubu melupakan satu fundamen penting dalam basis argumentasi mereka: agensi masyarakat lokal tentang apa yang mereka yakini. Dengan demikian, perdebatan ini hanya berputar-putar pada soal pertentangan antara evolusionisme vis a vis teologi natural, alih-alih merepresentasikan pengalaman riil subjek yang mereka perdebatkan.
Muasal dan Perkembangan Teori Monoteisme Purba
Mulanya Andrew Lang adalah seorang apresiator karya Tylor. Lang menulis Custom and Myth (1884) yang secara spesifik ia dedikasikan pada The Primitive Culture. Bagi Lang, karya Tylor tersebut berhasil menggambarkan bagaimana alam pikir masyarakat primitif mampu menciptakan kepercayaan terhadap entitas tak wujud lewat mitos yang diproyeksikan (animated) melalui pohon, bintang-bintang, dan benda lain di alam, sekaligus membangun koneksi dengan kehidupan mereka.
Akan tetapi, Lang kemudian mengubah perspektifnya secara radikal terhadap Tylor. Penerbitan The Making of Religion (1898) merupakan kritik pedas terhadap gagasan Tylor. Ada dua argumen kunci yang dilayangkan. Pertama, argumen bahwa kepercayaan manusia terhadap Tuhan bermuasal dari roh menjadi gugur ketika dikomparasikan dengan konsep Entitas Tertinggi dalam masyarakat purba. Faktanya, apa yang disebut sebagai Entitas Tertinggi di kalangan masyarakat Papua Nugini, Australia dan Amerika, adalah sosok “Pencipta”, “Penjaga”, “Sang Dermawan”, bahkan “Teman Besar”. Meskipun berbeda dalam nama, tak satu pun konsep itu merujuk pada keberadaan entitas roh sebagaimana jelas Tylor. Kedua, kepercayaan ini sama sekali tidak memiliki kaitan atau pengaruh dari agama-agama besar seperti Kristen atau Islam, sebagaimana diungkap Tylor, tetapi tumbuh dari kesadaran masyarakat setempat.
Pada titik inilah Lang menimbang kembali gagasan evolusionis tentang muasal dan perkembangan agama, sekaligus memberikan pandangan alternatif melalui teori monoteisme purba yang berjangkar pada teori degenerasi. Dalam sudut pandang degenerasi, semua kepercayaan manusia—baik pada bentuk yang paling sederhana, maupun apabila dipraktikkan oleh mereka yang tidak bermoral, tetap saja berciri monoteisme. Lebih dari itu, teori degenerasi tidak mempersoalkan perkembangan peradaban. Boleh jadi kebudayaan, teknologi, dan pemikiran masyarakat berkembang seturut perubahan zaman, tetapi hal itu tidak akan pernah mengubah basis kepercayaan monoteisme mereka.
Baiame: Sebuah Kasus Khusus
Perdebatan antara Tylor dan Lang menemukan titik kulminasinya di dalam kasus Baiame, Entitas Tertinggi yang dipercayai oleh suku-suku Aborigin di Australia Tenggara. Menurut Tylor, konsepsi Entitas Tertinggi ini muncul seturut pengaruh agama Kristen. Basis argumen Tylor ini bertolak pada survei Charles Wickes dan James Backhouse di sepanjang tahun 1838—1840 yang menyatakan bahwa kepercayaan terhadap Baiame merupakan sesuatu yang tidak jelas dan artifisial untuk merujuk kepada entitas pencipta dunia dan isinya. Barulah seturut ajaran Kristen masuk di daerah tersebut, para misionaris menggunakan Baiame sebagai nama Tuhan, The All Father—dalam keyakinan Kristen Our Father (Bapa Kami)—yang wajib untuk disembah karena dia adalah pencipta langit, bumi, dan seluruh makhluk hidup di dalamnya.
Namun, Lang dalam The Origins of Religion, and Other Essays (1908) menentang keras argumen tersebut. Bagi Lang, konsep “All Father’” ini baru muncul belakangan dan tidak mengubah apa-apa dalam struktur kepercayaan orang Aborigin. Lang mengutip karya A.W Howitt , “The Native Tribes of South-East Australia” (1903), yang menunjukkan bahwa keyakinan terhadap Baiame sudah ada sebelum datangnya para misionaris di daerah tersebut. Meskipun kemudian mendapat pengaruh dari Kristen yang menjelaskan bahwa Baiame adalah sosok All Father, nyatanya suku-suku Aborigin tidak pernah menyembah, berdoa, bahkan memberikan pengorbanan kepada Baiame dalam bentuk apa pun. Lebih dari itu, pengetahuan tentang Baiame ini juga tidak diajarkan kepada perempuan, anak-anak, bahkan orang di luar suku mereka, terkecuali yang telah dipersiapkan. Dengan demikian, jika ide tentang All Father dipengaruhi oleh Kristen, maka tidak terbayangkan jika perempuan dan anak-anak ini dibiarkan oleh para missionaris dalam ketidaktahuan.
Selepas Lang, gagasan monoteisme purba ini dipertahankan oleh Wilhelm Schmidt, etnolog Austria. Tidak banyak berubah dari pendahulunya, Schimdt dalam Der Ursprung der Gottesidee (1912) hanya menambahkan argumen inti bahwa monoteisme merupakan bentuk alamiah dari teisme, sebelum mengalami degradasi seturut datangnya konsep politeisme. Namun, argumen ini ditentang oleh Raffaele Pettazzoni, akademisi sejarah agama di Italian School of Archaelogy, lewat The Supreme Being in Primitive Religions (1957). Bagi Pettazzoni, alih-alih terjadi secara alamiah, monoteisme justru merupakan produk revolusi sejarah yang tumbuh di kalangan masyarakat politeisme. Dengan kata lain, konsep Entitias Tertinggi di dalam masyarakat purba bukanlah sesuatu yang lahir dari ruang vakum sejarah.
Implikasi dan Tawaran
Lantas, siapa yang menang dalam perdebatan ini? Tidak ada. Sebab kesimpulan keduanya telah ditentukan oleh asumsi-asumsi yang dibangun berdasarkan kerangka teoritik yang berseberangan: jika Tylor melihat Baiame sebagai “All Father” yang merupakan bagian tidak terpisah dari Our Father dalam ajaran Kristen, maka Lang melihat Baiame sebagai sosok Tuhan Tertinggi yang berbeda, orisinil, dan muncul secara alamiah di dalam keyakinan suku-suku Aborigin—sebuah bentuk riil dari monoteisme purba. Namun celakanya, keduanya justru melupakan keberadaan subjek yang mereka perdebatkan, yakni masyarakat lokal (indigenous people). Dengan demikian, perdebatan antara dua akademisi ini tidak lain hanya memperlihatkan pertentangan antara evolusionisme dengan teologi monoteisme purba.
James Cox, profesor studi agama di Universitas Edinburgh dalam The Invention of God in Indigenous Societies (2014) menawarkan konsep Intentional Hybridity ‘kesadaran hibriditas’ ala Mikail Bakhtin untuk melihat dinamika perjumpaan dua sistem kepercayaan, seperti dalam kasus Baiame. Konsep ini melihat perjumpaan tersebut sebagai hasil interaksi kultural yang tercipta dari keterlibatan aktor-aktor penting, tanpa harus menempatkan yang satu sebagai superior atas yang lain. Kesadaran hibriditas ini sederhananya adalah percampuran antara dua bahasa berbeda (the mixture of two languages), baik secara lingustik maupun konteks sosial, akibat suatu perjumpaan. Bakhtin membagi hibritas ini ke dalam dua bentuk: hibriditas organik (organic hybridity), percampuran bahasa yang terjadi secara alamiah dan tanpa disadari; dan kesadaran hibriditas (intentional hybridity), percampuran bahasa yang disadari bahkan terencana.
Dua model hibriditas ini telah banyak digunakan untuk melihat interaksi antarbudaya. Cox misalnya, menggunakan model ini untuk melihat kemunculan teologi Rainbow Spirit di Queensland, Australia, yang dikembangkan oleh suku-suku Aborigin Katolik, Lutheran, dan Anglikan di tahun 1994-1995. Sebelumnya, para tetua Aborigin meyakini dunia ini dihuni oleh Ular Pelangi (Rainbow Serpent). Seiring perjumpaan dengan ajaran Kristen yang kerap mengasosiasikan “ular” dengan “setan”, mereka mengganti istilah “Ular Pelangi” dengan “Roh Pelangi” (Rainbow Spirit). Namun demikian, pada jantung pemahaman suku-suku Aborigin, apa yang disebut sebagai Roh Pelangi identik dengan Ular Pelangi yang mereka yakini sebagai pencipta dan pemberi kehidupan di daratan maupun lautan. Konsep teologis ini kemudian dibukukan ke dalam The Rainbow Spirit Theology: Towards an Australian Aboriginal Theology (1997) yang bahkan ditulis langsung oleh para tetua Aborigin.
Kesadaran hibriditas ala Bakhtin ini telah mengubah hubungan yang sebelumnya subjek-objek, menjadi subjek-subjek. Hasil perjumpaan di antara keduanya kemudian menciptakan pola kebudayaan yang baru, cair, dan saling menerima, alih-alih saling mendominasi. Dengan demikian, jika konsep ini diletakkan ke dalam perdebatan antara Tylor dan Lang tentang Baiame, persoalan apakah suku-suku Aborigin merupaka animis atau monoteis menjadi tidak relevan. Sebaliknya, Baiame justru tetap menjadi Entitas Tertinggi dalam kepercayaan lokal, dam pada saat yang sama juga bisa dianggap sebagai All Father di dalam tradisi Kristen.
Dalam kerangka yang lebih luas, perdebatan antara Lang dan Tylor ini sebenarnya acapkali dijumpai di Indonesia. Kepercayaan masyarakat adat seringkali tidak pernah benar-benar bebas tanpa didikte oleh pengaruh Islam dan Kristen. Perjumpaan antara kedua sistem pengetahuan ini, alhasil, tidak pernah jauh dari kata sinkretisme, eklektisme, bahkan yang paling keras berpotensi mereduksi kepercayaan masyarakat adat sebagai bentuk dari pengingkaran terhadap agama-agama dunia. Akan tetapi, meskipun hal ini sulit untuk dihindari, distorsi informasi ini bisa diminimalkan. Salah satunya melalui pembacaan alternatif terhadap apa yang sebenarnya dipercayai oleh masyarakat lokal dengan melibatkan mereka sebagai subjek penting dalam perdebatan akademik bahkan percakapan publik yang lebih luas.
____________________
Tarmizi “Arief” Abbas adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Arief lainnya di sini.
Selamat malam kak, Saya Novita. Bolehkah minta PDF file The Making of Religions dan Origins of Religions Andrew Lang?
Terima kasih. 🙏
Tinggal klik pada pranala yang ada di tulisan sesuai judul buku atau artikel yang dicari.
Misal, buku “The Making of Religion” bisa diklik pada judul buku di kalimat, “Penerbitan The Making of Religion (1898) merupakan kritik pedas terhadap gagasan Tylor.”