George Sicilia| CRCS | Artikel
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”14″]“Di Indonesia, kita sudah terbiasa dengan situasi yang heterogen, beda dengan Eropa. Tetapi dengan intensitas perjumpaan yang semakin tinggi dan iklim yang demokratis, sekarang kita pun, harus belajar ulang bagaimana mengelola keragaman itu.”[/perfectpullquote]
JAKARTA, 11 Juni 2016 – Bertempat di LBH Jakarta, pertemuan ketiga Sekolah Guru Kebinekaan (SGK) – YCG berlangsung dengan penuh semangat. Teman belajar para guru kali ini adalah Dr. Zainal Abidin Bagir dari Center of Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)-UGM. Topik SGK kali ini adalah Penguatan Keragaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan melalui Nilai Agama, Adat, Hukum dan HAM. Karena keluasan topik, fokus utama adalah nilai Agama. Agama di sini tidak sekadar nilai atau teks suatu agama, tetapi dalam pemahaman yang lebih luas yang memungkinkan orang-orang dari latar belakang yang berbeda untuk berada bersama-sama.
Perjumpaan adalah modalitas
Pak Zainal mengawali dengan merefleksikan pengalamannya mengajar di CRCS. Program Studi yang didirikan paska momentum Reformasi itu memang istimewa karena pada masa itu terjadi banyak sekali konflik yang beberapa di antaranya bernuansa agama. Beragam orang dari latar belakang agama, etnis, disiplin keilmuan juga motivasi datang untuk belajar bersama-sama. Beberapa di antaranya datang dengan prasangka. Tetapi satu hal yang pasti menurut beliau, hal yang sangat penting dan mahal harganya adalah mengupayakan pertemuan-pertemuan antara orang-orang yang beragam, yang membuat mereka mampu melangkahi pemikiran awalnya dan melihat yang berbeda sebagai sesama manusia. Sayangnya hal ini kurang terfasilitasi dalam sistem pendidikan agama di sekolah-sekolah.
“Karena semua yang ada di sini adalah pendidik dan ketika bicara pendidikan tidak hanya pengajaran, dan salah satu strategi pendidikan adalah mempertemukan orang dengan segala macam keterbatasan, termasuk keterbatasan struktur dan sistem. Kalau ada satu poin penting yang perlu saya sampaikan sebagai refleksi pengalaman saya adalah kemampuan untuk bersikap kritis. Dan saya kira salah satu tujuan pendidikan adalah bersikap kritis. Bukan tentang kemampuan mengkritik, tetapi kemampuan melihat satu isu dari berbagai sudut pandang dan tidak menerima segala pengetahuan dan informasi mentah-mentah, tapi dipikir ulang dan dilihat dari berbagai sisi. Tujuan terpenting prodi kami adalah mempersiapkan orang berpikir kritis melihat realitas”, kata Bagir.
Kebangkitan Identitas Agama dan Meningkatnya Keragaman Agama
Ada dua hal yang ditengarai saat ini yaitu kebangkitan identitas agama dan meningkatnya keragaman agama. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di Eropa dan beberapa negara lainnya. Identitas agama tiba-tiba menjadi penting untuk ditampakkan dalam 15-20 tahun terakhir. Cara orang beragama saat ini atau ekspresi yang ditunjukkan dalam busana berbeda dengan satu atau dua dekade yang lalu. Mungkin tak begitu disadari oleh generasi saat ini, tetapi pasti terasa perubahannya bagi angkatan-angkatan sebelumnya.
Keragaman agama juga meningkat. Bukan tentang pertambahan jumlah, tetapi bahwa migrasi di berbagai tempat telah membuka jalan bagi masuknya berbagai hal dari tanah asal ke tempat yang baru. Mulai dari sekadar kuliner, hingga budaya dan agama. Beberapa agama yang sebelumnya sudah ada tetapi tidak tampak di permukaan, di iklim demokrasi ini juga mulai menampakkan wajahnya. Kemudahan transportasi, informasi, membuat jarak semakin sempit dan batas-batas mengabur.
Orang-orang di Eropa selama ini terbiasa dengan kehidupan yang cenderung homogen. Tetapi dengan migrasi yang semakin banyak, Eropa harus beradaptasi dengan dunia yang semakin heterogen. “Di Indonesia, kita sudah terbiasa dengan situasi yang heterogen, beda dengan Eropa. Tetapi dengan intensitas perjumpaan yang semakin tinggi dan iklim yang demokratis, sekarang kita pun, harus belajar ulang bagaimana mengelola keragaman itu”, ungkap Bagir. Ruang besar untuk berekspresi dalam demokrasi, turut diisi dengan ragam ujaran kebencian. Indonesia memiliki Bhinneka Tunggal Ika tetapi tantangan semakin besar, sehingga ini adalah saatnya mempertanyakan lagi kemampuan kita mengelola keragaman.
“Sekarang kita diuji betul, apakah kita benar-benar toleran atau tidak karena ini ruang besar untuk agama menunjukkan dirinya”, katanya lagi terkait ambivalensi agama.
Berpikir Kritis Menyikapi Ambivalensi Agama
Sisi negatif dalam cara orang beragama dapat berupa penghilangan hak orang lain hingga kekerasan. Namun, ada juga potensi besar kebaikan agama seperti saling memperkaya dan juga saling menguatkan nilai-nilai kebaikan dan kehidupan. Berbicara agama memang tidak harus hanya melihat sisi negatif tetapi juga potensi kebaikan yang berperan besar bagi orang yang meyakini agama tersebut dan memberi dampak sosial.
Tantangannya tentu saja, kita perlu memahami ambivalensi atau ke-mendua-an potensi agama, agar dapat meminimalisir yang negatif dan memperkuat potensi kebaikan agama. Agama tidak hidup dalam ruang vakum yang sebatas ajaran dan teks semata, tafsir agama pun sebenarnya beragam, selalu bertemu dengan konteks sosial politik yang bisa mendukung potensi kebaikan agama ataunpun sebaliknya. Tafsiran yang beragam itu pun bisa tereduksi, menjadi tidak seimbang. Jadi ketika bicara ke-mendua-an, ada soal konteks dimana berbagai persoalan karena agama tidak selalu karena agama itu sendiri, tetapi hal lain atau pertemuan teks dan konflik. Bersikap kritis menjadi sangat penting di sini!
Membicarakan toleransi dan intoleransi, tidak selalu karena agamanya toleran atau tidak, tetapi bisa juga karena kebijakan negara. Di Indonesia ada keluhan masyarakat jadi lebih tidak toleran, mungkin bukan karena masyarakat, tetapi juga ada peran negara. Di setiap masyarakat selalu ada kelompok yang ekstrim dan intoleran, di masyarakat paling demokratis sekalipun. Sampai pada tingkat tertentu tidak apa-apa, orang tidak harus suka pada setiap orang. Itu baru menjadi masalah ketika negara membiarkan dan memberi ruang yang besar bagi orang bersikap intoleran sehingga jadi arus lebih kuat. Itu intoleransi karena negara.
Memang lembaga atau pemimpin agama pun, disadari atau tidak, bisa memainkan peran yang mengarah pada sisi negatif atau pada potensi kebaikan. Pada momen-momen seperti pilkada, kadang agama dijadikan alat atau disebut juga instrumentalisasi agama. Kita perlu selalu berpikir ulang dan kritis melihat konteks agama.
Tetapi sebagaimana dikatakan sebelumnya, selalu ada potensi kebaikan dalam agama. Sebagian besar agama yang punya akar yang mirip. Di antaranya agama kerap muncul untuk mengupayakan keadilan sosial. Jarang agama dimiliki sekelompok orang kaya, justru agama kritis terhadap kelompok yang berkuasa sehingga para nabinya dikejar, dipersekusi, dsb. Itu cerita yang mirip dalam banyak agama. Agama dapat merespon isu-isu kontemporer dengan kembali pada nilai profetik mula-mula yaitu membela orang tertindas, mempertahankan keutuhan ciptaan Tuhan, memperjuangkan keadilan sosial. Itu adalah potensi dalam inti agama yang sulit dipisahkan.
Aturan Emas (Golden Rules)
Golden rule itu simpel. Kurang lebih, jangan lakukan kepada orang lain apa yang kamu tidak ingin lakukan padamu, atau lakukan pada orang lain apa yang kamu ingin orang lakukan padamu. Kemunculan agama-agama seperti Kong Hu Chu, Buddha, dan Hindu pada zaman aksial adalah karena kelelahan manusia berperang terus-menerus. Lahan untuk agama semakin subur saat Kristen, Islam, dll muncul. Juga tumbuh kesadaran soal compassion/kasih sayang/welas asih. Dalam Islam, Tuhan juga dikenal sebagai Allah Yang Pengasih dan Penyayang (compassionate).
Beberapa contoh aturan emas yang ditemukan dalam berbagai agama:
Buddha: “Treat not others in ways that you yourself would find hurtful” ( Buddha, Udana-Varga 5.18)
Christianity: “In everything, do to others as you would have them do to you; for this is the law and the prophets” (Jesus, Matthew 7:12)
Confusianism: “One word which sums up the basis of all good conduct … loving-kindness. Do not do to others what do you do not want done to yourself” (Confucius Analects 15:23)
Hinduism: “This is the sum of duty: do not do to others what would cause pain if done to you” (Mahabharata 5:1517)
Islam: “Not one of you truly believes until you wish for others what you wish for yourself” (The Prophet Muhammad, Hadith)
Kalau mau diringkas lagi, salah satu istilah yang sering digunakan adalah altruisme, yaitu berbuat pada orang lain bukan karena kepentingan diri kita sendiri tapi kepentingan orang lain. Orang yang membahagiakan orang lain, intensitas kebahagiaannya jauh lebih tinggi dari pada yang membahagiakan diri sendiri walaupun keduanya sama-sama bahagia. Itu adalah contoh bahwa altruisme itu pada akhirnya kembali ke diri sendiri juga kebahagiaannya.
Hak Asasi Manusia
Dalam babak berikutnya, yang menunjukkan kemajuan jaman ini, salah satu tafsiran tentang munculnya deklarasi HAM adalah pelembagaan prinsip resiprositas. Dalam artinya, kalau saya tidak senang orang lain melakukan sesuatu pada saya, maka saya tidak akan melakukan hal itu pada orang lain. Semua orang sama-sama manusia dan ingin diperlakukan sama. Itu semangat relijius, penghargaan terhadap setiap manusia terlepas dari apapun identitasnya. HAM memang ada instrumennya, tapi ini adalah nilai kultural yang mendasari itu. Usia HAM belum ada 100 tahun sementara sejarah manusia sudah lama. Tetapi semangat seperti ini baru 100 tahun terakhir dimana orang menyepakati sesuatu untuk kepentingan bersama. Itu juga karena tingkat kekerasan yang luar biasa pada PD I dan PD II. Bisa bandingkan dengan apa yang disebut Karen Armstrong sebagai jaman aksial, dimana orang mulai lelah dengan begitu banyak kekerasan dan lahirlah beberapa jenius spiritual. PD I dan II korbannya itu luar biasa dan menggoncang kesadaran manusia, salah satu hasilnya adalah HAM sebagai institusionalisasi prinsip resiprositas.
Pengelolaan Keragaman dan Dunia Pendidikan Kita
Kalau bicara lingkup pendidikan, kita bicara pedagogi, prinsip pendidikan, tapi yang penting pula adalah ruang perjumpaan yang menghadirkan manusia sebagai manusia. Setiap orang bisa punya macam-macam prasangka dan semuanya itu tidak berubah walau menerima berbagai pengajaran. Hanya ketika orang tersebut bertemu orang lain, ia bisa melampaui identitas yang ada dan melihat yang liyan sebagai manusia. Bertemu manusia sebagai manusia.
Sistem pendidikan kita cenderung tidak memungkinkan ruang perjumpaan, maka strategi yang dibutuhkan adalah menghadirkan ruang perjumpaan tersebut. Pertemuan memang perlu dirancang, tetapi sebaiknya bersifat alamiah. Beberapa sekolah sudah mencoba mengupayakan perjumpaan dalam pelajaran agama walaupun tetap ada tuntutan memberi mata pelajaran per agama. Kalau guru mau, ruang-ruang perjumpaan itu bisa diusahakan karena ketakutan, prasangka, dan lainnya mungkin berubah karena perjumpaan.
Sekarang, siapkah kita mengelola keragaman kita dengan lebih baik?
Tulisan ini dipublikasikan di Facebook Yayasan Cahaya Guru
________________
George Cicilia adalah alumnus Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) Angkatan pertama. Saat ini aktif di Yayasan Cahaya Guru.