Agus Tridiatno Yoachim, mahasiswa ICRS-Yogyakarta, pada Wednesday Forum 29 April 2009 lalu menerangkan bahwa peziarahan Katolik di biara Hati Kudus Yesus, Ganjuran, Bantul, menganggap air yang berasal dari tempat ziarah itu sebagai berkat dari Tuhan. Air itu dianggap berkaitan dengan iman mereka kepada Yesus Kristus. Melalui air tersebut harapan atau permintaan peziarah sebagian besar dikabulkan, termasuk disembuhkannya berbagai penyakit yang mereka alami.
Keberadaan tempat peziarahan ini secara historis diawali dengan usaha keluarga Schmutzer dalam membangun daerah Ganjuran. Usaha mereka dimulai dari pengembangan industri gula dengan membeli perkebunan tebu dan sebuah pabrik gula bernama Gondang Lipoero. Mereka kemudian mendirikan sebuah gereja Katolik bergaya Hindu pada tahun 1924, dan diteruskan dengan pendirian biara Hati Kudus sebagai sebuah monumen untuk menyembah Yesus pada tahun 1927-1930.
Mulai dari pendirian biara ini, pada tahun-tahun berikutnya, terutama pada 1988 ketika Romo Gregorius Utomo menjadi imam di Ganjuran, dilakukan penginterpretasian dan pembaharuan kembali terhadap biara hati Kudus. Biara tersebut dianggap sebagai simbol dari kasih Tuhan dan memiliki berkah-Nya (berkah dalem).
Pada tahun 1997 biara itu mulai dikunjungi para peziarah. Pada tahun 1998 Bapak Y. Suparno menemukan sebuah mata air di lingkungan biara ini. Mata air itu kemudian diberi nama “Tirta Perwitasari”, yang diambil dari nama Bapak Perwita, orang yang pertama kali disembuhkan dengan air di tempat itu. Sejak saat itu pula, air menjadi elemen penting dalam peziarahan di tempat ini.
Menurut Agus, air di tempat ziarah Hati Kudus Yesus ini memiliki kekuatan untuk penyembuhan dan pemenuhan permintaan para peziarah. Agus sendiri pernah memiliki pengalaman mendapatkan berkah setelah berziarah dan menggunakan air di sana. Kekuatan air itu selalu terkait dengan kekuatan dari Yesus Kristus. Oleh karena itu, setiap peziarah yang ingin mendapatkan berkah melalui air tersebut selalu berdoa kepada Yesus Kristus. Pribadi Yesus Kristus di peziarahan ini digambarkan melalui sebuah patung, di mana doa para peziarah tadi dilakukan di hadapan patung ini.
Sepintas tradisi peziarahan tersebut terlihat sebagai bentuk lain dari Paganisme yang sebenarnya dilarang oleh Kekristenan. Namun ketika ditanyakan kepada Agus, ia mengakui bahwa sempat ada perdebatan mengenai hal itu oleh para tokoh Katolik, dimana sebagian menganggap tradisi tersebut sebagai paganisme sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sah-sah saja untuk dilakukan.
Tradisi ini tidak menjadi paganisme sejauh Yesus Kristus menjadi sentral penyembahan di tempat ini, dan air yang ada di sana dianggap sebagai media berkah dariNya setelah berdoa kepadaNya. Agus menambahkan, apapun medianya, termasuk patung Yesus dan air tadi, yang terpenting adalah bagaimana media tersebut dapat membuat mereka dekat dengan Tuhan.
Agus mengakui belum mengetahui dengan pasti apa yang membuat air itu menjadi unik bagi para peziarah, apakah karena di tempat itu dan mengandung zat yang menyembuhkan atau karena diberkati oleh Tuhan. Jika memang karena diberkati Tuhan, apakah air yang dibawa dari luar peziarahan dapat menyembuhkan? Bagaimana dengan orang yang diwakili doa-doanya dengan orang lain dan kemudian mendapatkan air dari peziarahan itu? Kedua pertanyaan ini, menurut Agus, akan diteliti lebih lanjut olehnya.
Tentunya dengan meneliti tradisi-tradisi Jawa dan Hindu yang tampak dalam peziarahan ini akan memberikan gambaran lebih menyeluruh akan fenomena peziarahan di Hati Kudus Yesus tersebut. Tradisi Jawa dan Hindu dalam memaknai air dan menggunakan media patung dalam peribadahan mereka tampak mempengaruhi tradisi ini. Faktanya, kita belum tahu apakah tradisi ini akan dilakukan oleh umat Katolik di daerah-daerah di luar Jawa yang tidak memiliki kebudayaan Jawa dan Hindu.
(JMI)