• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • Ziarah atau Paganisme?

Ziarah atau Paganisme?

  • Berita Wednesday Forum
  • 10 June 2010, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Agus Tridiatno Yoachim, mahasiswa ICRS-Yogyakarta, pada Wednesday Forum 29 April 2009 lalu menerangkan bahwa peziarahan Katolik di biara Hati Kudus Yesus, Ganjuran, Bantul, menganggap air yang berasal dari tempat ziarah itu sebagai berkat dari Tuhan. Air itu dianggap berkaitan dengan iman mereka kepada Yesus Kristus. Melalui air tersebut harapan atau permintaan peziarah sebagian besar dikabulkan, termasuk disembuhkannya berbagai penyakit yang mereka alami.

Keberadaan tempat peziarahan ini secara historis diawali dengan usaha keluarga Schmutzer dalam membangun daerah Ganjuran. Usaha mereka dimulai dari pengembangan industri gula dengan membeli perkebunan tebu dan sebuah pabrik gula bernama Gondang Lipoero. Mereka kemudian mendirikan sebuah gereja Katolik bergaya Hindu pada tahun 1924, dan diteruskan dengan pendirian biara Hati Kudus sebagai sebuah monumen untuk menyembah Yesus pada tahun 1927-1930.

Mulai dari pendirian biara ini, pada tahun-tahun berikutnya, terutama pada 1988 ketika Romo Gregorius Utomo menjadi imam di Ganjuran, dilakukan penginterpretasian dan pembaharuan kembali terhadap biara hati Kudus. Biara tersebut dianggap sebagai simbol dari kasih Tuhan dan memiliki berkah-Nya (berkah dalem).

Pada tahun 1997 biara itu mulai dikunjungi para peziarah. Pada tahun 1998 Bapak Y. Suparno menemukan sebuah mata air di lingkungan biara ini. Mata air itu kemudian diberi nama “Tirta Perwitasari”, yang diambil dari nama Bapak Perwita, orang yang pertama kali disembuhkan dengan air di tempat itu. Sejak saat itu pula, air menjadi elemen penting dalam peziarahan di tempat ini.

Menurut Agus, air di tempat ziarah Hati Kudus Yesus ini memiliki kekuatan untuk penyembuhan dan pemenuhan permintaan para peziarah. Agus sendiri pernah memiliki pengalaman mendapatkan berkah setelah berziarah dan menggunakan air di sana. Kekuatan air itu selalu terkait dengan kekuatan dari Yesus Kristus. Oleh karena itu, setiap peziarah yang ingin mendapatkan berkah melalui air tersebut selalu berdoa kepada Yesus Kristus. Pribadi Yesus Kristus di peziarahan ini digambarkan melalui sebuah patung, di mana doa para peziarah tadi dilakukan di hadapan patung ini.

Sepintas tradisi peziarahan tersebut terlihat sebagai bentuk lain dari Paganisme yang sebenarnya dilarang oleh Kekristenan. Namun ketika ditanyakan kepada Agus, ia mengakui bahwa sempat ada perdebatan mengenai hal itu oleh para tokoh Katolik, dimana sebagian menganggap tradisi tersebut sebagai paganisme sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sah-sah saja untuk dilakukan.

Tradisi ini tidak menjadi paganisme sejauh Yesus Kristus menjadi sentral penyembahan di tempat ini, dan air yang ada di sana dianggap sebagai media berkah dariNya setelah berdoa kepadaNya. Agus menambahkan, apapun medianya, termasuk patung Yesus dan air tadi, yang terpenting adalah bagaimana media tersebut dapat membuat mereka dekat dengan Tuhan.

Agus mengakui belum mengetahui dengan pasti apa yang membuat air itu menjadi unik bagi para peziarah, apakah karena di tempat itu dan mengandung zat yang menyembuhkan atau karena diberkati oleh Tuhan. Jika memang karena diberkati Tuhan, apakah air yang dibawa dari luar peziarahan dapat menyembuhkan? Bagaimana dengan orang yang diwakili doa-doanya dengan orang lain dan kemudian mendapatkan air dari peziarahan itu? Kedua pertanyaan ini, menurut Agus, akan diteliti lebih lanjut olehnya.

Tentunya dengan meneliti tradisi-tradisi Jawa dan Hindu yang tampak dalam peziarahan ini akan memberikan gambaran lebih menyeluruh akan fenomena peziarahan di Hati Kudus Yesus tersebut. Tradisi Jawa dan Hindu dalam memaknai air dan menggunakan media patung dalam peribadahan mereka tampak mempengaruhi tradisi ini. Faktanya, kita belum tahu apakah tradisi ini akan dilakukan oleh umat Katolik di daerah-daerah di luar Jawa yang tidak memiliki kebudayaan Jawa dan Hindu.

(JMI)

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju