Divisi Riset & Redaktur Web | CRCS | Perspektif
Perbincangan tentang apakah Front Pembela Islam (FPI) harus dibubarkan mengemuka lagi. Bagi satu pihak, aksi-aksi intoleran dan vigilantisme FPI membahayakan nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi kebinekaan. Pihak ini juga berpandangan bahwa FPI tidak jarang menjadi alat elite untuk menghajar rival politik.
Di pihak lain, para pencinta FPI bersikeras bahwa FPI harus tetap ada karena, kalaupun tak setuju dengan aksi kekerasannya, masyarakat Islam mestilah mempunyai representasi gerakan yang menggalakkan misi nahi munkar. Para pencinta FPI juga kerap mengemukakan bahwa selain memberantas kemunkaran, FPI juga mengajak pada yang makruf, seperti aksi-aksi kemanusiaan untuk korban bencana. Hal lain yang turut mengemuka dalam perbincangan ini adalah bahwa pembubaran ormas, sekalipun berhaluan keras seperti FPI, justru bertentangan dengan demokrasi.
Menghangatnya perbincangan ini dipicu oleh aksi-aksi besar di sekitar Pilkada Jakarta. Tiga kali Aksi Bela Islam (1410, 411, dan 212) pada tahun lalu telah secara signifikan mengubah cara orang memandang FPI. Bisa dikatakan, FPI berhasil menarik banyak massa melampaui batas-batas konvensional sebelumnya. Banyak orang dari ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang dalam kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak mematuhi himbauan para pemimpin ormas Islam terbesar itu dan justru bermakmum pada FPI. Slogan “Super Damai” dalam Aksi Bela Islam III telah relatif mengubah citra FPI yang kerap diidentikkan sebagai ormas intoleran dan vigilantis.
Namun demikian, pihak di sisi lain tetap berpandangan bahwa FPI tetap menyimpan agenda sama: “NKRI Bersyariah”. Lebih dari itu, di samping vigilantis, FPI telah berbuat hal-hal yang inginnya mengatasi hukum. Aksi Bela Islam, juga aksi-aksi di sekitar proses persidangan Ahok, dipandang sebagai satu bentuk pemaksaan kehendak dan upaya mendikte proses hukum. Menurut pihak ini, pembiaran FPI berpotensi membahayakan negara berprinsip rule of law ini dan menjatuhkan hukum ke tangan “kerumunan”, sehingga yang terjadi bukanlah demokrasi melainkan “mobocracy”.
Turut mengikuti perbincangan di atas, di bawah ini redaktur laman dan Divisi Riset CRCS mengemukakan kembali satu bagian tulisan dari hasil penelitian CRCS. Ini bertujuan agar kita tidak segera lupa pada apa yang pernah dilakukan FPI, seakan-akan FPI adalah ormas yang baru saja lahir. Sudah lebih dari 16 tahun FPI berdiri, dan dia memiliki jejak sejarah, dengan sisi putih dan hitamnya. Menjawab pertanyaan apakah FPI perlu dibubarkan, berikut adalah salinan (dengan sedikit penyesuaian namun sama sekali tak mengubah substansi) dari satu bagian dalam Laporan Tahunan CRCS 2010 halaman 29-31. (Untuk mengunduh Laporan Tahunan CRCS, silakan ke sini.)
***
FPI: Potensi Positif dan Negatif
Pada tahun 2010 dan beberapa tahun sebelumnya, Front Pembela Islam (FPI) adalah ormas Islam yang cukup memperoleh porsi pemberitaan yang cukup besar. Banyak catatan aktivitas FPI yang mengekspresikan nahi munkar (mencegah keburukan), tapi justru meresahkan bahkan melanggar hukum, karena melibatkan kekerasan yang telanjang.
Dalam tahun-tahun tersebut, kelompok-kelompok dengan orientasi seksual berbeda menjadi sasaran FPI, yang bukan saja tidak dihalangi polisi, bahkan disertai oleh polisi. FPI pun tak absen dalam aksi penyerangan terhadap gereja dan tuduhan penyesatan. Selain itu, aktivitasnya yang cukup terkenal tetap berjalan, seakan tanpa hambatan, yakni penyerangan terhadap lokasi yang dianggap sebagai tempat maksiat, perjudian, dan prostitusi. Bahkan, ada pula dugaan keterlibatannya dalam kasus pengusiran tiga anggota DPR RI yang sedang melakukan sosialisasi kesehatan di Banyuwangi, Jawa Timur, meskipun kemudian dibantah oleh FPI pusat.
Tindakan-tindakan tersebut akhirnya memancing masyarakat, aktivis LSM, dan anggota DPR untuk mengusulkan pembubaran FPI, meskipun sebenarnya usulan itu sudah pernah muncul pada 2006. Namun ada pula pandangan yang cukup kuat yang menentang pembubaran FPI atas penjagaan hak berkumpul dan berserikat. Di antara yang tak menyetujui FPI dibubarkan adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Ikutan lain dari diskusi ini adalah saran untuk melakukan revisi atas UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, agar makin ketat dalam memverifikasi pendirian suatu ormas, karena UU itu dinilai terlalu longgar peraturannya.
Sampai di sini, agaknya kita perlu berhati-hati, karena bisa jadi di sini ada juga jebakan argumen bahwa demi ketertiban sosial, kebebasan bisa dibatasi. FPI bisa dipertahankan atas nama kebebasan berserikat. Yang perlu dihukum sesungguhnya bukan organisasinya, tapi perbuatannya melanggar hukum. Dengan kata lain, solusi bagi tindakan FPI yang kerap melakukan kekerasan adalah penegakan hukum yang lebih tegas.
Usulan pembubaran ormas boleh jadi merupakan jalan keluar yang terlalu mudah, yang justru mengalihkan perhatian dari persoalan sebenarnya: tak tegasnya penegakan hukum, dan kalahnya wibawa polisi berhadapan dengan ormas yang selalu mengklaim sebagai representasi mayoritas. Repotnya, sebagaimana diberitakan sebagian media dengan sumber-sumber dari dalam FPI sendiri, tampaknya ada pula kesepakatan-kesepakatan saling menguntungkan yang dibuat FPI dengan pihak-pihak yang sebetulnya justru mengontrol FPI, seperti pemerintah dan penegak hukum! Jika demikian, ini adalah kisah lama yang terulang.
Pertimbangan lain untuk lebih menekankan penegakan hukum ketimbang pembubaran, yang sempat juga disampaikan beberapa pihak, adalah bahwa jika FPI dibubarkan, maka segera akan ada organisasi penggantinya yang mungkin saja menggunakan cara-cara yang sama. Pembubaran tak otomatis berarti pemecahan masalah.
Rizieq Shihab, sebagai ketua FPI, kerap menyangkal tindakan-tindakan FPI dengan banyak alasan. Salah satunya adalah bahwa sebelum penyerangan ke tempat-tempat tertentu yang dianggap maksiat, biasanya FPI telah memberitahu polisi dulu mengenai pelanggaran di tempat itu, dan meminta polisi bertindak. Dengan kata lain, FPI menjalankan tugas yang seharusnya dijalankan polisi. Ini adalah argumen yang problematis karena atas alasan apa pun, FPI sebagai ormas jelas tak punya mandat melakukan kekerasan di negara hukum. Rizieq sendiri, sebagai ketua FPI, tampaknya tak sepenuhnya memiliki kontrol atas apa yang dilakukan oleh anggota FPI di banyak tempat di Indonesia. Tentu kritik atas tak berjalannya penegakan hukum dengan baik bukan hanya datang dari FPI dan tak hanya soal kemaksiatan. Tapi jelas juga itu tak berarti organisasi-organisasi masyarakat lalu bebas mengambil alih tugas polisi atau aparat keamanan.
Di luar itu, FPI menyesalkan media massa yang sering dianggap amat selektif dengan memberitakan hanya sisi-sisi tertentu FPI, dan tak melihat sisi-sisi lain FPI yang “lebih beradab”, di antaranya akivitas-aktivitas sosialnya yang membantu kelompok-kelompok miskin dengan beberapa program pendidikan dan kesehatannya. Popularitas FPI juga sempat naik ketika membantu warga di sekitar makam Mbak Priok, di Tanjung Priok, Jakarta, yang berhadap-hadapan dengan Satpol PP. FPI pun cukup aktif dalam membantu korban bencana di Mentawai dan Merapi pada tahun 2010.
Dalam beberapa hal, sebetulnya FPI bisa cukup terbuka. Pada tahun 2010, di antaranya FPI berkunjung ke kantor International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang menjadi mediator hubungan FPI dengan majeli-smajelis agama di luar Islam. FPI pun melakukan silaturrahmi dan dialog dengan PGI dan KWI. Dalam kesempatan tersebut Rizieq Shihab menyatakan bahwa FPI tidak pernah menolak kebhinnekaan, kemajemukan, dan tidak pernah anti terhadap pluralitas. Dalam kesempatan lain, FPI juga bersedia menerima kunjungan seoranng pemilik akun twitter yang meminta klarifikasi terhadap banyak tindakan kekerasan FPI. Ia membawa pesan, pertanyaan, dan masukan kepada FPI dari banyaknya komentar dalam 500 email dan akun twitternya.
Contoh-contoh di atas sebetulnya menunjukkan bahwa FPI masih memiliki potensi keadaban (civility). Jika saja FPI menerjemahkan misi amar ma’ruf nahi munkar-nya lebih ke perjuangan kemanusiaan seperti itu, dan pekerjaan untuk ini tak pernah selesai di Indonesia, dan lebih sabar, tak terburu-buru mengambil alih penegakan hukum dari pihak yang berwenang, keberadaan FPI sebagai organisasi civil society akan menjadi jauh lebih bermakna. Jika tidak, ia justru akan menjadi organisasi masyarakat yang uncivil. Penting pula dicatat bahwa kegerahan terhadap aksi FPI bahkan telah muncul dari organisasi yang sebelumnya dalam beberapa isu bekerja bersama FPI, seperti MUI. Ini tampak dalam peristiwa tak diundangnya FPI (juga HTI dan MMI) ke KUII ke-V di Jakarta pada bulan Mei, yang panitia persiapannya dipimpin MUI. Alasannya adalah mereka dianggap kontroversial dan jika diundang “akan menganggu kepentingan yang lebih besar, yakni keinginan untuk menumbuhkan perekonomian umat.”
Peristiwa ini menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, bahwa untuk alasan strategis, boleh jadi keagresifan FPI memaksa ormas Islam lain untuk menjaga jarak atau bahkan menjauhkan diri dari citra FPI itu, meskipun dalam situasi lain mungkin bekerjasama dengannya. Kedua, ini sekali lagi mengingatkan bahwa ada keragaman, perbedaan, bahkan pertentangan di antara ormas-ormas Islam sendiri, yang terkadang dengan agak gegabah dikelompokkan dalam satu kelompok “garis keras”, “konservatif”, atau “fundamentalis”. Keragaman ini juga menggarisbawahi tak mudahnya membuat klaim bahwa satu kelompok Muslim di negeri ini mewakili “mayoritas Muslim Indonesia”. Pemerintah pun selayaknya menyadari adanya variasi ini dan tak menganggap satu organisasi Islam sebagai representasi dari seluruh Muslim, suatu kecenderungan yang sering muncul dalam keputusan-keputusan pemerintah mengenai Muslim.
Penilaian terakhir yang dapat diberikan kepada FPI adalah mengenai adanya potensi civil dan un-civil dalam tubuh FPI. Jika potensi kedua yang muncul, maka FPI tak bisa dianggap menjadi bagian dari masyarakat sipil yang keberadaannya dibutuhkan dalam demokrasi masyarakat plural seperti di Indonesia. Dalam situasi ini, tak ada jalan lain kecuali penegakan hukum yang tegas. Dalam beberapa kasus sebetulnya ini telah dilakukan,tapi tak pemerintah tak selalu konsisten. Pada tahun 2010, dapat dikatakan bahwa aksi-aksi kekerasan FPI telah makin mengancam tatanan sosial kita. Dalam situasi ini, kesalahan ditanggung bersama oleh FPI dan penegak hukum. Yang kita harapkan adalah FPI mampu mengembangkan potensi pertamanya, dan dengan demikian kehadirannya menjadi lebih bermakna dalam pengembangan masyarakat yang demokratis.