Batang Garing: Sebuah Identitas Penembus Batas
Elly Diah Praptanti – 07 Desember 2021
Ada banyak agama dan kepercayaan yang meletakkan filosofi religius mereka dalam simbol pohon, misalnya, pohon bodhi dalam agama Buddha, pohon kalpataru dalam agama Hindu, pohon hayat gunungan dalam tradisi Jawa, pohon khuldi dalam tradisi Islam, maupun Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat dalam agama Kristen. Karenanya, pohon seringkali menjadi simbol yang mampu mencairkan dan menjembatani relasi antaragama. Tak jarang, simbol pohon yang sama digunakan bersama oleh beberapa agama. Salah satunya Batang Garing. Pohon kehidupan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah ini tidak hanya dapat ditemui di balai Kaharingan tetapi juga bertengger di puncak masjid dan menjadi ornamen sakral di altar gereja.
Kaharingan dan Batang Garing
Jauh sebelum agama-agama dunia masuk ke Kalimantan Tengah, masyarakat Dayak Ngaju telah menganut agama Kaharingan secara turun-temurun. Semula orang menyebutnya sebagai agama Helo (dibaca helu, dahulu), agama Huran (kuno), atau agama Tato Hiang (nenek moyang). Istilah Kaharingan baru diperkenalkan pada 1944 oleh Tjilik Riwut ketika ia menjadi residen Sampit. Kaharingan berasal dari kata haring yang berarti hidup, maka agama Kaharingan berarti agama kehidupan.
Bagi masyarakat Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada sejak diciptakannya alam semesta oleh Ranying Hatalla—Ranying berarti ‘agung’ dan Hatalla adalah sebutan untuk nama Tuhan. Fridolin Ukur, dalam Tantang-Djawab Suku Dajak (1971), menceritakan salah satu versi penciptaan menurut kepercayaan Kaharingan. Pada mulanya Ranying Mahatalla Langit sebagai penguasa alam atas bersama istrinya, Jata Balawang Bulau (penguasa alam bawah yang tercipta dari bayangan Ranying Mahatalla) bersepakat untuk menciptakan dunia dan seisinya. Proses penciptaan semesta ini dimulai dengan penciptaan Batang Garing atau pohon kehidupan. Dari pohon inilah kemudian manusia, hewan, logam mineral, dan berbagai unsur alam semesta lainnya tercipta.
Karenanya, Batang Garing, atau semula dikenal juga dengan Batang Haring, menjadi simbol penting dalam tradisi dan kepercayaan Kaharingan. Dalam simbol religius berbentuk pohon dengan berbagai ornamen khas ini terangkum kisah penciptaan semesta dan manusia, relasi antara alam atas dan alam bawah, serta tanggung jawab manusia kepada pencipta dan alam tempat hidupnya. Filosofi Batang Garing ini kemudian dituturkan secara lisan turun-temurun oleh leluhur suku Dayak Ngaju dan belakangan dimaktubkan di dalam kitab suci Panaturan.
Batang Garing berbentuk seperti tombak menengadah dengan dahan bersulur di kanan-kirinya. Mata tombak yang berada di puncak atas melambangkan kepercayaan mereka kepada Ranying Hatalla Langit, sumber segala kehidupan. Pada masing-masing dahan terdapat tiga buah intan yang menghadap ke atas dan ke bawah. Ini melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Buno—keturunan awal yang nantinya menjadi muasal para dewa, pahlawan, dan penghuni bumi. Buah yang menghadap ke atas dan ke bawah ini mengingatkan pada manusia bahwa ada dua sisi yang berbeda dalam kehidupan dan keduanya harus dihargai secara seimbang. Daun pada Batang Garing melambangkan ekor burung tingang, burung yang karena pertempuran sucinya mengakibatkan kehancuran sekaligus penciptaan baru. Pada bagian bawah Batang Garing terdapt guci atau belanga berisi air suci yang melambangkan jata atau ‘dunia bawah’. Pohon dan guci menyimbolkan dua dunia berbeda yang terikat dan saling membutuhkan. Batang Garing bertumpu pada sebuah alas yang menggambarkan tempat bernama Pulau Batu Nindan Tarung, pulau tempat kediaman anak- anak dan cucu Maharaja Buno—yang menjadi nenek moyang manusia sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi. Unsur Pulau Batu Nindan Tarung pada Batang Garing mengingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lewu Tatau.
Dari kisah Batang Garing, masyarakat Dayak Ngaju percaya bahwa alam semesta memiliki dua kekuatan yang bertentangan dan benturan keduanya akan menciptakan kehidupan baru. Teras Mihing dalam Penciptaan Batang Garing (2009) menegaskan, meskipun terdapat dua kekuasaan utama, secara hakiki keduanya adalah satu. Jata Balawang Bulau, sebagai pasangan Ranying Mahatalla langit, sebenarnya adalah bayang-bayang dari Ranying Hatalla itu sendiri. Keduanya merupakan dwitunggal, berbeda sifat tetapi merupakan satu kesatuan. Keduanya membentuk satu keutuhan kosmis, bila dari salah satu dari keduanya dihilangkan maka keseimbangan kosmis akan terganggu. Dengan demikian, Batang garing melambangkan keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara sesama manusia, manusia dan alam, maupun manusia dan Tuhan.
Reinterpretasi Batang Garing oleh “Agama-Agama Dunia”
Kedatangan agama-agama dunia seperti Islam dan Kristen ke tanah Dayak tidak menghapus keberadaan Batang Garing sebagai identitas masyarakat Dayak Ngaju, meskipun sebagian dari mereka telah berpindah agama. Simbol tentang asal-usul kehidupan manusia ini dibawa ke tempat-tempat ibadah agama mereka yang baru. Misalnya, Masjid Sultan Suriansyah di Kuin Utara Banjarmasin menggunakan simbol Batang Garing di puncak atap, demikian juga Masjid Pelajau di Barabai yang meletakkan simbol ini sebagai ornamen utama mimbar. Tak sekadar dipajang sebagai ornamen penanda identitas asal-usul masyarakat Dayak, filosofi pohon hayat ini juga melekat dalam pehamaman religius muslim Dayak. Simbol ini melambangkan kosmos yang utuh serta konsep dualisme religius, di antaranya kesatuan alam atas dan bawah, siang malam, terang gelap, baik dan jahat, serta kehidupan dan kematian. Batang Garing juga menjadi pengingat akan kehidupan dunia maupun akhirat.
Gereja Kristen di Kalimantan Tengah dan sekitarnya kerap memakai Batang Garing sebagai ornamen utama di altar gedung gereja. Bahkan, Keuskupan Palangkaraya menggunakan simbol ini sebagai bagian dari unsur identitas visualnya. Dalam konteks kekristenan masyarakat Dayak, Batang Garing mewakili konsep tentang Tuhan sebagai sumber hidup dan pemelihara kehidupan. Di sisi lain, konsep tanggung jawab manusia untuk menjaga relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitarnya memberi kesesuaian bagi penggunaan simbol ini di lingkungan gereja.
Keluwesan simbol Batang Garing menunjukkan bahwa agama selalu mempunyai celah untuk menginterpretasikan ulang sebuah simbol. Simbol-simbol agama dunia yang masuk ke dalam alam kebudayaan Dayak Ngaju bertemu simbol-simbol sakral yang sudah ada kemudian bersintesis dan beradaptasi dengan etos dan alam pikir masyarakat. Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973) menyatakan manusia sebagai hewan yang terkurung dalam jaring-jaring makna yang dipintalnya sendiri. Dalam konteks kebudayaan Dayak Ngaju, Batang Garing merupakan pola makna atau ide yang termuat di dalam simbol yang menjadi ekspresi dan sumber pengetahuan kehidupan masyarakat. Menurut Geertz, yang mengadopsi pemikiran Weber, kunci utama untuk memahami sebuah kebudayaan adalah memahami ide tentang makna. Karenanya, agama-agama dunia yang memahami makna Batang Garing kemudian melakukan pemaknaan ulang sehingga dapat membaur dan diterima dalam alam pikir dan budaya Dayak. Dengan demikian, simbol bekerja dalam dua arah bersamaan: mengakar secara kuat dalam identitas masyarakat sekaligus mengakomodasi (dan diadaptasi oleh) oleh tradisi lain.
Keberadaan Batang Garing di beragam tempat ibadah ini menunjukkan bahwa agama dunia dan agama leluhur tidak harus dipahami sebagai hal bertentangan atau mutually exclussive. Ketika memeluk agama dunia, masyarakat tidak kemudian otomatis meninggalkan agama leluhurnya. Praktik dan tradisi masyarakat adat terbentuk secara diskursif yang memungkinkan simbol dan identitas agama leluhur menjadi cair dan terbuka terhadap berbagai perubahan—bahkan konversi. Karenanya, alih-alih, tenggelam, simbol Batang Garing justru dengan mudah kita temui di berbagai tempat di Kalimantan Tengah. Bermula dari simbol sakral kepercayaan Kaharingan, kemudian menjadi simbol religius di tempat-tempat ibadah, Batang Garing kini secara ekstensif telah menjadi ornamen dalam berbagai karya seni, di rumah-rumah maupun di berbagai ruang publik, melambangkan identitas Dayak Ngaju. Pohon kehidupan ini telah menembus sekat kepercayaan masyarakat Kalimantan dan sekitarnya, mempersatukan mereka dalam satu identitas bersama sebagai ciptaan yang berkedudukan sama. Batang Garing terus bertumbuh menjadi identitas penembus batas bagi masyarakat Dayak Ngaju.
____________________
Elly Diah Praptanti adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Elly lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini oleh Elly Diah Praptanti
tulisan yang sangat inspiratif. terima kasih Elly Diah Praptanti