Meminjam Bahasa Agama, Merestorasi Gambut:
Pengalaman BRGM
Dian Nuri Ningtyas – 10 April 2022
Pendekatan etika keagamaan adalah ruh yang menjiwai program revitalisasi gambut dan mangrove sekaligus memastikan keberlanjutan upaya pelestarian ini. Utamanya, ketika program ini usai.
Indonesia merupakan negara dengan lahan gambut terluas kedua di dunia setelah Brazil. Tak kurang dari 22,5 juta hektare lahan gambut di Indonesia tersebar di Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Gambut merupakan lahan basah kaya akan material organik yang terbentuk dari akumulasi pembusukan bahan-bahan organik selama ribuan tahun. Di samping menyimpan karbon dua kali lebih banyak dari seluruh hutan di dunia, gambut juga menjadi rumah bagi berbagai satwa langka. Begitu pentingnya keberadaan lahan gambut ini mendorong pemerintah untuk memberi perhatian khusus dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 2016. Empat tahun kemudian melalui Peraturan Presiden Nomor 120 tahun 2020, BRG berkembang menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Area kerja BRGM tersebar di 13 provinsi yaitu Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan Papua. Target yang harus dicapai untuk restorasi lahan Gambut adalah 1,2 Juta Ha pada tahun 2024 dan 600.000 Ha mangrove pada tahun 2024.
Salah satu langkah terobosan BRGM dalam merestorasi lahan gambut dan mangrove ini adalah dengan menggandeng tokoh-tokoh agama di masyarakat. Tentu banyak yang bertanya-tanya, sejauh mana para tokoh agama dapat terlibat dalam pelestarian lahan gambut dan mangrove?
Pertanyaan tersebut memantik diskusi Wednesday Forum yang bertajuk “Religious Ethics in Indonesia Peatland Restoration” pada 9 Maret 2022 silam bersama Myrna A. Safitri, salah seorang deputi di BRGM yang juga menjadi pengajar Hukum Lingkungan di Universitas Pancasila.
BRGM dan Pertobatan Ekologis
Sejak awal pembentukannya, BRGM didirikan sebagai upaya “pertobatan ekologis” terhadap kerusakan lingkungan pada area gambut di masa lalu. Untuk merestorasi lahan gambut yang rusak tersebut, BRGM menerapkan Strategi 3R yaitu Rewetting, Revegetation, dan Revitalization. Rewetting atau pembasahan kembali lahan gambut yang merupakan strategi prioritas. Lahan gambut kering akan mengeluarkan karbon yang telah lama tertimbun sehingga mempercepat pemanasan global. Untuk mencegahnya, BRRGM melakukan pembasahan kembali secara optimal melalui metode canal blocking, deep well, dan canal backfilling. Strategi kedua adalah melalui revegetation, yaitu dengan penanaman kembali berbagai tanaman yang sesuai dengan lahan gambut, terutama pada bekas daerah yang terbakar. Pendekatan terakhir adalah revitalisasi lahan, air dan sumber perikanan, serta pelayanan lingkungan.
Namun, program revitalisasi ini tidak akan berjalan jika mengesampingkan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar lahan gambut menjadi salah satu fokus perhatian. Salah satunya melalui pembentukan Desa Mandiri Peduli Gambut yang mengintegrasikan aktivisme lingkungan dengan pertumbuhan pembangunan desa. Di samping itu, BRGM bekerja sama dengan pemerintah desa, yang menjadi salah satu aktor kunci, menyediakan mata pencaharian alternatif dengan memperkuat lembaga ekonomi desa.
Meski strategi tersebut banyak bercorak ekonomi dan kebijakan pemerintah, BRGM menyadari bahwa hal tersebut kurang menjamin keberlangsungan program. Karenanya dibutuhkan sebuah pendekatan yang akan menjadi ruh atau jiwa dalam upaya revitalisasi lahan gambut dan mangrove. Hal ini penting untuk memastikan keterlibatan masyarakat sekaligus keberlanjutan proyek ini. Sehingga, ketika proyek ini selesai, masyarakat dapat melanjutkannya secara sukarela dan mandiri. Pada era sebelumnya, pemerintah menggunakan metode penegakan hukum, tetapi rupanya hal itu belumlah optimal. BRGM merasa perlu adanya upaya internalisasi nilai-nilai baik yang menyangkut sisi teknis pelaksanaan di lapangan maupun pemahaman masyarakat.
Pada titik inilah BRGM menganggap penting untuk mempertimbangkan sisi etika keagamaan. Pew Survey tahun 2014 menunjukan bahwa 84% masyarakat di dunia berafiliasi dengan salah satu agama. Di samping itu, BRGM percaya bahwa setiap agama mengajarkan pentingnya pelestarian alam dan para pemuka agama adalah aktor yang berinteraksi langsung dan paling dekat dengan keseharian masyarakat. Sejak 2018, BRGM telah merangkul beberapa pemuka agama, seperti ustaz, kiai, pendeta, dan pastor untuk menyosialisasikan dan menanamkan kesadaran kelestarian lahan gambut bagi masyarakat. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain bekerja sama dengan MUI dan PGI untuk meningkatkan kapasitas para pemuka agama melalui sekolah lapangan yang melibatkan pesantren, masjid, serta kelompok gereja di daerah kerja BRGM. Di samping itu, BRGM berkolaborasi dengan institusi keagamaan tersebut menyediakan buku panduan dakwah tentang pentingnya program revitalisasi ini.
Pada sesi diskusi, Brian Triananda dari Pati bertanya tentang kemungkinan untuk juga memasukan sisi metafisik selain sisi etika keagamaan. Myrna menanggapi, BRGM memang berfokus pada sisi etika keagamaan yang menyertakan pula sisi kosmologi karena ini akan lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam terutama warga lokal di sekitar wilayah restorasi gambut dan mangrove. Pelibatan para pemuka agama adalah untuk mentransformasikan nilai dan pentingnya pelestarian gambut dan mangrove ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami. Dengan kata lain, BRGM meminjam “bahasa keagamaan” untuk memudahkan pemahaman masyarakat dalam mengaplikasikan praktik pelestarian dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk mencapai praktik “zero burning” pada lahan gambut dan mangrove.
Pertanyaan menarik lainnya datang dari Bibi Suprianto. Mahasiswa CRCS UGM angkatan 2021 ini menanyakan pelibatan masyarakat adat dalam pelaksanaan program restorasi lahan gambut dan mangrove. Menurutnya , dalam banyak kasus pelestarian hutan, pelibatan masyarakat adat juga memberi dampak yang signifikan dan dapat membantu keberlanjutan program sebab kebanyakan dari mereka hidup berdampingan dengan alam. Myrna mengamini pendapat Bibi. Namun, menurut lulusan studi doktoral bidang hukum di Universitas Leiden yang juga menjabat sebagai wakil ketua organisasi pengembangan pertanian Nahdhatul Ulama, populasi masyarakat yang menempati 9 wilayah kerja restorasi BRGM merupakan masyarakat transmigran. Para transmigram ini datang dari berbagai wilayah di Jawa dan Bali yang sebagian besar pemeluk Islam dan Kristen. Oleh sebab itulah BRGM kemudian menjalin kerja sama dengan MUI dan PGI. Namun demikian, pada wilayah kerja di Kalimantan Tengah, BRGM juga berkomunikasi dengan masyarakat adat Kaharingan. Namun, Myrna juga mengakui, karena terbatasnya waktu dan kesempatan, upaya komunikasi tersebut belum dilakukan secara mendalam.
BRGM menyadari bahwa masih banyak keterbatasan dalam pelaksanaan program ini. Namun, Myrna menggarisbawahi, salah satu pelajaran penting yang dapat diambil dari program ini adalah pentingnya menggandeng lembaga keagamaan serta mengembangkan banyak pendekatan untuk dapat mentransformasikan nilai-nilai pelestarian alam menjadi tindakan nyata.
_______________________
Dian Nuri Ningtyas adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Dian lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini oleh Rhett A. Butler/Mongabay
Rekaman Wednesday Forum “Religious Ethics in Indonesian Peatland Restoration” oleh Myrna A. Safitri