Catatan dari Negeri Huaulu, Maluku
Vikry Reinaldo Paais – 6 April 2023
Pulau Seram adalah pulau terbesar di Provinsi Maluku. Tidak diketahui pasti mengapa pulau ini disebut Pulau Seram. Namun, yang pasti, istilah “Seram” tidak ada kaitannya dengan angker. Dalam narasi lokal, Pulau Seram dikenal sebagai Nusa Ina alias ‘Pulau Ibu’. Jika ditanya dari mana asal-usul manusia, orang Seram—dan beberapa pulau di sekitarnya—dengan bangga akan menyebut Nunusaku dan juga Supa Maraina sebagai tempat asal mula kehidupan manusia. Keduanya—dalam kosmogini orang Maluku—terletak di Pulau Seram. Dengan kata lain, Pulau Seram-lah tempat lahir manusia pertama. Dari pulau ini, masyarakat Maluku kemudian terpencar ke pulau-pulau di sekitarnya dan mendirikan negeri-negeri. Narasi ini yang melegitimasi Seram sebagai tasalsul nenek moyang orang Maluku. Seram dianggap sebagai “ibu” yang melahirkan peradaban, adat, dan kebudayaan.
Di pulau inilah saya melakukan riset tentang masyarakat adat, tepatnya di Negeri Huaulu. Sebagai Nusa Ina, Seram meninggalkan beragam corak kebudayaan dan adat istiadat yang cukup kental di tengah arus modernisasi dan globalisasi, salah satunya agama leluhur. Masyarakat Huaulu ialah salah satu masyarakat adat di Pulau Seram yang terus menginternalisasi agama asli nenek moyang (Memaham) meski distigma sebagai kelompok “belum beragama”. Mereka adalah salah satu dari dua negeri adat (Huaulu dan Nuaulu), serta beberapa kelompok suku-suku kecil, di Pulau Seram yang menjadikan agama leluhur sebagai identitas sosio-religiusnya.
Jujur saja, masyarakat Huaulu bukanlah pilihan pertama saya sebagai subjek penelitian. Mulanya, saya hendak meneliti masyarakat adat Mausuane yang juga mendiami Pulau Seram. Akan tetapi, rupanya suku ini tidak menetap di suatu lokasi tertentu. Mereka tinggal di tengah hutan dan berpindah-pindah sehingga sulit dijangkau. Untuk menemui mereka haruslah dengan perantara. Selain itu, sebagian besar mereka tidak berbahasa Melayu Ambon, apalagi bahasa Indonesia. Dengan durasi penelitian yang tidak lebih dari tiga bulan, terlalu memaksakan diri jika saya bersikukuh melanjutkan penelitian di sana. Akhirnya, saya mengalihkan subjek penelitian ke masyarakat adat Huaulu yang telah menetap lama pada satu lokasi serta memiliki sistem pemerintahan secara adat maupun administratif—dan yang terpenting mereka dapat berbahasa Melayu Ambon.
Penelitian saya berkaitan dengan eksistensi agama leluhur dan relasinya dengan kekristenan. Penelitian ini bertolak dari realitas dialog antaragama yang cenderung didominasi oleh kelompok agama-agama dunia, khususnya Islam dan Kristen. Berangkat dari realitas historis tentang eksklusivisme Kristen yang bermuara pada kristenisasi agama leluhur, penelitian ini berupaya menempatkan agama leluhur dalam wacana relasi antaragama dengan menggunakan perspektif lived religion.
Menuju Negeri Huaulu
Secara administratif Negeri Huaulu terletak di Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Perjalanan dari Ambon ke Negeri Huaulu ditempuh sekitar 10 jam dengan transportasi darat dan laut. Sebelum ke Negeri Huaulu, saya harus berhenti di Wahai, Kecamatan Seram Utara untuk mengurus izin penelitian dan menunggu seseorang yang akan mengantar saya ke Negeri Huaulu. Rupanya, ia baru datang lima hari kemudian. Tepat pada 21 Desember 2022, kami bertolak ke Negeri Huaulu. Setelah satu jam perjalanan menggunakan sepeda motor, saya sampai di jalan masuk Huaulu yang ditandai dengan gapura pendakian Gunung Binaiya. Rupanya, Negeri Huaulu terletak di salah satu jalur pendakian gunung setinggi 3.027 mdpl tersebut. Setelah menelusuri jalur dengan kondisi jalan berbukit dan tidak rata sejauh 5 km, mulai terlihat rumah-rumah penduduk, gedung sekolah, dan kantor desa. Pemandangan ini menandakan bahwa saya sudah tiba di kampung baru Huaulu.
Perkampungan Huaulu terbagi atas dua bagian: kampung lama dan kampung baru. Bangunan-bangunan di kampung baru sudah lebih “modern” sementara kampung lama mempertahankan ciri tradisionalnya. Selepas berjalan sekira seratus meter, tampak rumah-rumah panggung berjejer membentuk dua garis lurus dengan jalan utama di bagian tengahnya. Inilah kampung lama. Seluruh bangunan rumah di kampung lama adalah rumah panggung yang disebut luma hotofafa. Rumah ini ditopang oleh batang pakis, berdinding gaba-gaba (dahan pohon sagu), berlantaikan bambu ataupun nibung, dan beratapkan anyaman daun sagu. Salah satu kelebihan rumah ini ialah temperatur di dalamnya menjadi stabil: tidak panas pada siang hari, dan tidak dingin pada malam hari. Kontras dengan kampung baru, tidak satu pun bangunan rumah di kampung lama yang berdinding beton. Semua bahan bangunan benar-benar memanfaatkan hasil hutan.
Demarkasi antara kampung lama dan baru ditandai dengan jalanan aspal. Aspal hanya melintasi kampung baru. Saat memasuki kampung lama, jalanan menjadi berkerikil dengan tanah berwarna merah. Melihat pemandangan ini, saya pun turun dan memarkir kendaraan di batas aspal. Di sana seorang warga lokal telah menunggu saya. “Mengapa jalan ini tidak diaspal?” tanya saya. “Tidak boleh, itu pamali” jawabnya sembari menemani saya masuk ke wilayah kampung lama. Meskipun demikian, rupanya beberapa kendaraan roda dua tampak terparkir di depan dan di bawah rumah-rumah warga. Mereka menolak pengaspalan, tetapi memperbolehkan kendaraan masuk di perkampungan.
Dari kejauhan, tampak beberapa lelaki dengan ikat kepala merah sedang duduk bersantai sambil menghisap tembakau (tapokoam). Ikat kepala merah adalah ciri utama masyarakat Huaulu. Mereka menyebut kain yang digunakan sehari-hari itu dengan asope atau secara umum “kain berang”. Penggunaan kain berang sebenarnya bukan hanya pada masyarakat Huaulu. Beberapa desa di Pulau Seram dan sekitarnya juga menggunakan ikat kepala merah. Namun, sebagian besar mengenakannya hanya saat proses ritual adat. Menurut tradisi, kain berang hanya boleh digunakan oleh para lelaki dewasa yang telah melalui prosesi ritual cidaku (ritus peralihan dari remaja menuju dewasa).
Selain mengenakan kain berang, masyarakat Huaulu gemar mengunyah sirih pinang (kamuam pulauam). Tumbuhan sirih dan pinang ini biasa dikunyah bersama kapur, juga tembakau. Sirih-pinang merupakan simbol solidaritas. Tak heran, sirih-pinang berperan penting dalam kehidupan sosial orang Huaulu, baik aktivitas sehari-hari, maupun pelaksanaan ritus. Selain itu, sirih pinang juga dijadikan sebagai sarana keramahtamahan dalam menjamu tamu.
Pada periode awal penelitian saya di Huaulu, terbatasnya listrik dan ketiadaan akses jaringan telekomunikasi menjadi tantangan tersendiri. Saat malam tiba, terlihat hanya sekitar enam rumah—dari sekitar dua puluhan rumah—yang memasang instalasi listrik. Listrik pun hanya hidup sekitar 12 jam dari jam lima sore hingga enam pagi. Untuk mengakses internet, anak-anak Huaulu sering menggunakan jaringan wifi kantor desa, yang hanya bisa digunakan pada malam hari saat listrik hidup. Itu pun harus bersabar. Karena saking banyaknya yang “numpang” wifi, jaringan otomatis lemot. Sekitar dua minggu kemudian, tepatnya 6 Januari 2023, jaringan telekomunikasi aktif untuk pertama kali. Memang, tiang pemancar sudah dibangun, hanya saja perangkat sinyalnya belum diaktifkan.
Pamali dan Kehidupan Masyarakat Huaulu
Menyesuaikan diri dengan adat-istiadat Huaulu meninggalkan kesan yang luar biasa. Kehidupan masyarakat Huaulu bergantung pada ketersediaan alam. Mereka memperoleh makanan dengan cara berburu, menjerat, dan berkebun. Hewan seperti babi, rusa, kus-kus, ular, kasuari, belut, dan berbagai macam ikan sungai menjadi hewan buruan yang kerap disantap bersama dengan sagu, pisang, singkong, keladi, petatas, ataupun nasi.
Kebergantungan atas alam inilah yang menyebabkan orang Huaulu memiliki tradisi pamali yang sangat kuat. Pamali adalah pantangan atau larangan untuk melakukan suatu hal. Singkatnya, pamali adalah tabu. Sebagai orang luar yang baru berinteraksi dengan masyarakat, saya cukup waswas. Pikir saya, jangan sampai yang saya lakukan melanggar atau bertentangan dengan pamali, karena konsekuensinya tidak main-main: kecelakaan, musibah, bahkan kematian. Apa pun yang hendak saya lakukan, selalu diawali dengan bertanya: Apakah boleh? Apakah bisa?
Beberapa kali saya ditegur karena melakukan hal yang bertolak belakang dengan pamali. Waktu itu saya sedang makan kemudian hendak meninggalkan hasam (tempat makan). Seketika saya ditegur, “sabar, sadiki lai, nanti pamali” (sabar, sedikit lagi, nanti pamali). Pada kesempatan lain, kami sedang memanah ikan di sungai. Secara spontan saya mengeluarkan gawai untuk merekam dan memotret proses memanah. Saya ditegur, “seng boleh, itu pamali” (tidak boleh, itu pemali). Selain pengalaman-pengalaman tersebut, ada juga beberapa pamali yang dinarasikan secara langsung. Misalnya tidak boleh mengonsumsi daging anjing, kura-kura, dan buaya; perempuan tidak boleh mengonsumsi daging belut, ikan bolana, ikan somasi (corak berbintik), dan ular; tidak boleh bersin saat ritual adat berlangsung; tidak boleh menyentuh jangkrik yang masuk dalam rumah; dan lain sebagainya.
Selain tentang perilaku dan tindakan, masyarakat juga mengenal rumah pamali. Istilah “rumah pamali” mengacu pada rumah tinggal yang digunakan untuk menyimpan harta peninggalan leluhur. Rumah pamali memiliki larangan-larangan tertentu, misalnya tidak boleh menggunakan perabotan listrik bahkan minyak tanah. Tidak semua rumah disebut rumah pamali. Salah satu ciri khas rumah pamali ialah para penghuninya mempertahankan tradisi dan cara hidup leluhur. Di samping itu, ada juga bangunan pamali yang disebut liliposu, rumah kecil menyerupai gubuk yang terletak di belakang rumah. Liliposu digunakan sebagai tempat pengasingan bagi perempuan muda yang akan memulai masa-masa menstruasi dan perempuan yang akan melahirkan. Bangunan ini menjadi pamali sebab mereka yang berjenis kelamin laki-laki tidak boleh berada dekat dengannya.
Kesemuanya itu membuat saya menarik kesimpulan: konsep pamali tidak sekadar menjadi salah satu karakteristik masyarakat Huaulu, tetapi sudah menjadi bagian tak terpisahkan. Pamali digunakan untuk mengatur sistem sosial yang berkaitan dengan perilaku manusia, baik relasinya dengan alam maupun sesama manusia. Melalui pamali, masyarakat Huaulu mempertahankan eksistensi dirinya.
______________________
Vikry Reinaldo Paais adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Vikry lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini dipotret oleh Richard Everson Bill Sumigar