Mempertahankan Agama Seadanya–Sebisanya di Negara Transit
Nanda Tsani – 16 Mei 2024
Pernahkah Anda transit di suatu bandara luar negeri? Transit selama 2 atau 3 jam mungkin tidak begitu terasa sembari menikmati fasilitas yang ada, tetapi bagaimana jika harus transit hingga puluhan jam? Betapapun berbagai aktivitas membunuh waktu dilakukan, tetap saja jemu itu datang, bukan? Sementara, para pengungsi dan pencari suaka di Indonesia rerata menjalani waktu transit antara 5 sampai 10 tahun penuh kegetiran.
Berangkat dari situasi yang dialami para pencari suaka ini, Realisa D. Massardi, Dosen Antropologi UGM, melakukan penelitian etnografi guna memahami manuver dan dinamika para remaja pengungsi dan pencari suaka dalam menavigasikan identitas keagamaan mereka di tanah transit. Selama kurang lebih 14 bulan dalam kurun 2016–2017, Dosen Antropologi UGM ini melakukan penelitian di empat lokasi pengungsian. Realisa memaparkan hasil penelitiannya dalam Wednesday Forum edisi 24 April 2024 bertajuk “Religion in Transit: Young Refugees Navigating Religious Sphere in Indonesia”.
Kendati tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia tetap memiliki tanggung jawab normatif sebagai negara transit untuk menerima pencari suaka dan pengungsi. Namun demikian, penerimaan negara tidak selalu berarti penerimaan yang serupa oleh warga negaranya. Para remaja pengungsi dan pencari suaka tersebut dihadapkan pada tembok-tembok sentimen dan prasangka masyarakat sekitar. Salah satunya ialah stereotipe media Indonesia terhadap keberadaan pengungsi dari Afghanistan, Iran, dan Sri Lanka sebagai imigran ilegal, pembuat onar, pengemis, bandot, pelaku kawin kontrak, ISIS, hingga misionaris Syiah.
Sentimen anti-Syiah dan Etnis Hazara
Berdasarkan laporan statistik UNHCR bulan Desember 2023, 5.980 dari 12.295 total pencari suaka yang terdaftar di Indonesia berasal dari Afghanistan disusul Myanmar, Somalia, Iraq, Yaman, dan lainnya. Para pencari suaka Afghanistan mayoritas merupakan etnis muslim Hazara yang berhaluan Syiah. Salah seorang pemuda Hazara yang menjadi responden penelitian mengalami intimidasi dari warga lokal akibat identitas keagamaannya. Sekalipun tidak menunjukkan religiusitas kesyiahan mereka, beberapa warga julid kerap mengaitkan aktivitas sehari-hari—seperti mencuci—para pencari suaka tersebut dengan praktik Syiah. Pada kasus lain, hanya karena menyandang nama “Ali” dan “Muhammad”, sekonyong-konyong remaja pencari suaka tersebut ditanyai oleh warga, “Apakah kamu Syiah?” Pemuda Hazara tersebut menjawab, “Ya, kenapa? Ada masalah?” Warga tersebut kemudian mengatakan tidak ada masalah, tetapi sejurus kemudian beberapa pakaian yang ia taruh di layanan binatu hilang. Ada juga remaja pencari suaka yang kakinya diludahi oleh orang tak dikenal saat perjalanan menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) dari Bogor ke Jakarta.
Gangguan dan persekusi itu semakin gencar saat para pengungsi dan pencari suaka tersebut melaksanakan peringatan keagamaan. Rumah Karbalai (seorang pemimpin jemaah) di Cisarua, Bogor, digeruduk warga saat peringatan Asyura, hari berkabung atas kesyahidan Husein bin Ali–cucu Nabi Muhammad. Warga protes karena karena suara ratapan dari ritual tersebut dianggap mengganggu ketertiban dan meresahkan. Secara struktural, pemerintah setempat tidak mengambil banyak tindakan atas situasi ini. Bahkan, secara kontroversial, pada 2015 Walikota Bogor Bima Arya melarang sama sekali peringatan Asyura di Bogor.
Menurut Dede Syarif, Iskandar Zulkarnain, dan Dicky Sofjan (2017), anti-Syiahisme di Indonesia tidak hanya mencakup lingkup teologi, tetapi juga sosial dan politik. Gerakan ini sudah berlangsung sejak Revolusi Iran 1979 dan memanas setelah era Reformasi yang ditandai dengan pendirian Aliansi Nasional Anti Syiah (ANAS) tahun 2012 hingga masifnya kampanye anti-Syiah di media sosial. Stigmasisasi, pengusiran, dan kekerasan terhadap jemaah Syiah di berbagai daerah merupakan permukaan dari gunung es konflik keagamaan di negeri ini.
Navigasi Keberagamaan Pemuda Hazara
Para pemuda Hazara tersebut memang tidak dapat menghentikan badai anti-Syiah dan antipengungsi dari masyarakat setempat, tetapi mereka dapat menavigasikan layar identitas etnis dan keberagamaannya. Realisa menggarisbawahi setidaknya ada empat strategi yang mereka akukan. Pertama, “bermain-main” dengan identitas etnis/religius ala anak muda. Mereka tak jarang mengaku sebagai mahasiswa pertukaran pelajar dari Iran, turis yang sedang melancong, atau mengenalkan diri sebagai blasteran Indonesia-Turki supaya aksen bahasa Indonesianya bisa dimaklumi.
Kedua, mereka mengupayakan diri agar tetap elak tampak (low profile) menyangkut urusan ibadah. Terlebih, tidak sedikit pemuda Hazara yang secara normatif mengaku tidak religius dan sebagian lagi mengaku trauma atau skeptis terhadap agama sehingga hal tersebut menjadi keuntungan di balik kebuntungan. Akan tetapi, dalam peringatan Asyura, mereka melakukan ibadah tersebut di ruang pengungsian masing-masing secara senyap dan privat. Sebagian besar pemuda Hazara tidak nyaman berjamaah di masjid setempat karena takut akan diskriminasi lebih lanjut dan diberondong pertanyaan. Pengungsi yang tinggal di Cisarua misalnya, tiap kali ditanya alasan tidak salat Jumat di masjid, mereka akan menjawab ada urusan, atau harus pergi belajar, atau menjawab singkat bahwa mereka bukan muslim. Ketika ingin melaksanakan salat sesuai dengan syariat mereka dalam kondisi yang lebih aman, para pemuda ini harus pergi jauh ke Islamic Cultural Center (ICC) di Jakarta.
Ketiga, berkompromi dengan praktik ibadah ala Sunni. Beberapa pemuda memilih untuk datang ke masjid terdekat dan mengikuti salat sesuai dengan praktik yang biasa dilakukan masyarakat setempat. “Tidak masalah. Pada dasarnya (praktik salat Sunni maupun Syiah) sama saja. Yang terpenting adalah apa yang kita yakini dalam hati,” ujar salah seorang responden.
Keempat, “meminjam” identitas Kristen. Untuk menghindari intimidasi, tak sedikit pemuda Hazara yang meminjam nama-nama asing seperti Jason, Ricardo, atau Angelo saat perkenalan. Tidak jarang juga mereka mengaku sebagai Kristen ketika ditanya agama yang mereka anut. Strategi ini merupakan manuver agar pertanyaan tersebut tidak berlanjut dengan ceramah keagamaan yang seringkali datang tanpa diminta. Ada kecenderungan bahwa muslim akan lebih segan untuk mengumbar petuah keagamaan ketika berhadapan dengan pemeluk agama lain dibanding dengan sesama muslim. Beberapa remaja pencari suaka yang berpura-pura tersebut ada juga yang benar-benar berpindah keyakinan. Awalnya, mereka mengaku Kristen sekadar agar dapat santunan dari gereja-gereja Evangelis Jakarta. Namun, di tengah ekstase perasaan ingin pulang dan ketidakpastian yang panjang, mereka lambat laun merasakan kedamaian dan memutuskan untuk berpindah agama.
Dari keempat manuver tersebut, Realisa menyimpulkan bahwa bagi para pemuda Hazara, pengalaman keberagamaan di Indonesia tersebut merupakan bekal berharga. Sebagai negara transit, Indonesia menjadi tempat latihan atas perbedaan budaya keberagamaan yang jauh lebih menganga di negara tujuan kelak. Bagi para pengungsi dan pencari suaka dari Hazar, upaya “mengakali” kesulitan-kesulitan beragama dan pengalaman menavigasi keberagamaan selama bertahan di Indonesia laiknya pintu yang tetap dibiarkan terbuka. Masa transit ini menjadi momentum bagi pemuda Hazara yang mengalami trauma religius berat untuk menimbang-nimbang: apakah mereka akan hidup bebas dari/untuk beragama di negara tujuan, atau mempertahankan identitas muslim Syiah yang secara kultural kadung menubuh dalam memori, tulang, dan darah. Seperti tanggapan salah seorang partisipan diskusi, “the history of religion is the history of migration. Yet, today’s story about migration is mostly related to displacement and suffering, with no glory or divine revelation. They fight for freedom, fight against boredom.”
______________________
Nanda Tsani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Nanda lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini dari Realisa D. Massardi.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Kedamaian, dan Kelembagaan yang Tangguh.