Agama: Solusi atau Sumber Masalah Kesehatan Mental?
Anisa Eka Putri Kusmayani – 13 Desember 2024
Emang ya agama bisa jadi salah satu alasan orang jadi sehat mental, tapi ga jadi satu-satunya faktor orang itu yang sehat mental (Zuri, konselor Into the Light)
Banyak riset menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas, semakin rendah tingkat depresi (Heo dan Koeske, 2009; Koenig, McCullough, dan Larson, 2001; George, 2002). Hal ini sejalan dengan temuan ilmuwan lain (Campante dan Yanagizawa-Drott, 2013; Elliot dan Hayward, 2009) yang menunjukkan kaitan antara religiusitas dan kompetensi dalam mekanisme koping ketika dalam situasi sulit, termasuk saat menderita penyakit yang tidak dapat ada obatnya (terminal illness). Namun, agama tak selalu menjadi pendorong sehat mental, malah kerap menjadi penyebab gejala masalah mental (Pargament dan Lomax, 2013).
Beranjak dari dilema tersebut, tim riset CRCS UGM mempelajari perspektif para tokoh agama dan praktisi kesehatan mental (mental health service providers) tentang penyebab dan penanganan masalah kesehatan mental di Indonesia. Hasil riset tersebut dapat menjadi pijakan untuk mengeksplorasi pola-pola integrasi pendekatan keagamaan atau spiritualitas dan pendekatan praktisi kesehatan dalam penanganan masalah kesehatan mental.
Mencari Posisi Antara Agama dan Kesehatan Mental
Riset bertajuk “Agama dan Kesehatan Mental: Perspektif Tokoh Agama dan Praktisi” ini melakukan pengumpulan data melalui diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion) pada September 2024 yang melibatkan pemimpin agama dan penyedia layanan kesehatan mental. Untuk melengkapi data, tim juga melakukan wawancara kepada beberapa praktisi kesehatan mental dan tokoh agama. Gangguan mental yang menjadi limitasi dalam penelitian ini ialah gangguan kesehatan mental signifikan dengan gejala seperti depresi, kecemasan, dan pikiran untuk bunuh diri. Tokoh agama yang hadir mewakili perspektif Islam, Kristen Protestan, dan Buddha. Sementara itu, praktisi kesehatan mental yang hadir berasal dari Fakultas Psikologi UGM, Into The Light, Rifka Annisa, dan Nayacita.
Masalah kesehatan mental rupanya belum menjadi perhatian khusus bagi tokoh agama yang hadir, hingga ada kejadian luar biasa yang terjadi di lembaga mereka seperti kasus bunuh diri. Kejadian tersebut membuat beberapa pemuka agama mulai menyadari urgensi masalah ini. Beberapa rumah ibadah dan sekolah berbasis agama pun mulai mengintegrasikan pendidikan agama dan kesehatan mental melalui program-programnya. Seperti disampaikan oleh Pendeta Noel dari Gereja Kristen Jawi (GKJ) Gondokusuman, “Jemaat yang mengalami permasalahan kondisi mental akan didampingi oleh pendeta.”
Hal serupa juga dilakukan oleh Pendeta Nani dari Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). UKDW mengintegrasikan agama dan kesehatan mental dalam counseling day untuk mahasiswa mereka. Meskipun agama turut andil, agama masih ditempatkan kemudian setelah berkonsultasi dengan psikolog ataupun dokter untuk melihat faktor psikologis dan biologis.
Sementara itu, Galuh, perwakilan umat Buddha, mengaitkan kondisi kesehatan mental seseorang dengan ajaran keagamaan. “Keinginan (tanha) untuk tidak menjadi sukha menjadi penyebab orang bunuh diri. Dalam kosmologi buddhis, orang-orang demikian diyakini akan lahir di alam tanpa rupa atau fisik, sebagai petta atau mahluk gentayangan sesuai keinginannya.”
Ketika berbicara tentang agama dan kesehatan mental, sebagian besar masyarakat menganggap agama dianggap sebagai obat mujarab bagi kesehatan mental. “Kayak misalnya kita ngalamin depresi, orang tua ngarahinnya ya itu ibadah. Nah, dan itu tidak terjadi di satu dua keluarga, tapi itu banyak terjadi di masyarakat. Ga di agamaku aja, Islam.” jelas Zuri, konselor Into The Light. Nyatanya, para pemuka agama sendiri banyak yang membutuhkan psikolog dan psikiater untuk masalah mereka. “Banyak kok orang yang dia itu ustadz tapi dia butuh psikolog, butuh psikiater, bahkan psikolog yang butuh psikiater pun ada,” tukasnya. Hal serupa juga ditemukan dari wawancara dengan berbagai praktisi kesehatan mental, seperti dengan Sekolah Rekonsiliasi dan Naya Cita
Agama dan Kesehatan Mental yang Berjarak
Di sisi lain agama rupanya seringkali dikesampingkan oleh para praktisi kesehatan ketika menangani masalah kesehatan mental. Salah satu alasannya, agamalah yang menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya masalah kesehatan mental. Saeroni, konselor Rifka Annisa, menyebutkan bahwa tekanan doktrin agama justru dapat membuat seseorang menjadi depresi. “Pengalaman traumatis dalam beragama menimbulkan (masalah) kesehatan mental,” jelasnya.
Para praktisi kesehatan mental memilih untuk mengedepankan pendekatan saintifik daripada keagamaan. “Jadi kalau kita jelaskan ke anak ya kita jelaskan juga secara saintifik, sebenernya orang tua itu gimana, latar belakang yang mempengaruhinya gimana, cara kerja otak anak gimana. Gimana mereka keputusannya,” terang Maya dari Nayacita.
Serupa, Sekolah Rekonsiliasi juga tidak memasukkan unsur agama dalam konseling mereka atau pun support study. Selain dikarenakan banyak yang mengalami religious trauma, perbedaan agama sang fasilitator dan peserta juga menjadi alasan untuk tidak melibatkan agama. Pelibatan agama dilakukan dalam bentuk spiritualitas yang umum dan mengaitkan dengan kehendak diri juga kehendak Tuhan. Spiritualitas pun tidak dapat seketika dibicarakan, perlu tahapan panjang hingga siap untuk masuk pada ranah tersebut.
Hasil sementara riset ini menunjukkan bahwa ada jarak antara paradigma keagamaan dan praktik kesehatan mental. Bagi praktisi kesehatan mental, agama seringkali dipisahkan dalam konseling karena dianggap sebagai salah satu faktor pendorong masalah mental. Di sisi lain, para tokoh agama kerap membingkai isu kesehatan mental ini melalui terma atau pun dogma agama.
______________________
Anisa Eka Putri Kusmayani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Ninis lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel: Ehimetalor Akhere Unuabona/unsplash