
Ketidakjelasan hukum dapat berakibat pada penegakan hukum yang diskriminatif. Ketidakjelasan ini kerap bermuara pada ketidakjelasan rumusan hukum itu sendiri. Akibatnya, hukum yang harusnya menjadi pelindung, malah jadi perundung.
Setelah berbincang tentang pasal-pasal karet terkait KBB di KUHP 2023, pada bagian kedua Asfinawati, dosen hukum pidana di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, dan Nella Sumika Putri, dosen hukum pidana di Universitas Padjadjaran menyoroti dampak dari ketidakjelasan hukum serta langkah ke depan dalam menghadapi situasi semacam ini.
Mengurai Centang-Perenang Asas Legalitas Hukum KUHP 2023
Tradisi hukum Indonesia mewarisi tradisi hukum Belanda yang memiliki empat asas utama yang disebut asas legalitas. Keempat asas tersebut ialah (1) Lex Scripta, yaitu hukum harus tertulis; (2) Lex Certa, yaitu hukum yang tertulis itu harus jelas; (3) Lex Stricta, yaitu hukum harus dimaknai tegas tanpa analogi; dan (4) Lex Praevia, yaitu hukum harus berlaku surut, tidak berlaku mundur kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum hukum tersebut dibuat. Keempat asas legalitas ini idealnya menjadi pedoman dalam pembentukan hukum di Indonesia.
Pola ketidakjelasan yang berulang di pasal-pasal KUHP sebagaimana dijabarkan pada bagian sebelumnya menunjukkan adanya gejala anomali dalam salah satu dari empat asas legalitas tadi, yaitu Lex Certa. Asas ini menuntut agar hukum yang tertulis itu dirumuskan dengan jelas untuk menghindari kesalahan dalam implementasinya. Kasus ketidakjelasan yang terjadi pada KUHP baru, misalnya, malah berpotensi menciderai perlindungan terhadap hak KBB masyarakat.
Gejala anomali dalam penerapan prinsip Lex Certa di hukum pidana Indonesia ini menjadi salah satu kajian utama dalam disertasi Nella Sumika Putri, dosen hukum pidana di Universitas Padjadjaran. Menurut Nella, KUHP Indonesia secara historis memang dibentuk berdasarkan KUHP yang disusun oleh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, pasal-pasal yang ada di KUHP sekarang pun merupakan bentuk-bentuk turunan dari KUHP lama yang disusun oleh pemerintahan Belanda, lengkap bersama dengan konteks historis lainnya yang menyertai. Sebagai contoh, keberadaan pasal terkait perzinahan sebagai salah satu tindak pidana tidak terlepas dari latar belakang keagamaan Belanda sebagai negara dengan tradisi Kristen yang kuat. Demikian juga pasal 300–305 KUHP terbaru, yang menjadi bahasan pokok artikel ini, merupakan bentuk turunan dari pasal-pasal dalam KUHP Belanda tentang ketertiban umum.
Nella menggarisbawahi bahwa asas Lex Scripta sedang terjebak dalam hubungan yang paradoks dengan asas Lex Certa. Di satu sisi, kedua asas tersebut seperti “saudara kembar” karena kejelasan dalam pemaknaan dapat muncul karena kejelasan rumusan dalam penulisan. Namun, di sisi lain, sebagai salah satu produk bahasa, kendali atas pemaknaan instrumen hukum tertulis bukan tergantung pada sang penulis, melainkan pada sang pembaca. Hal inilah yang menjadi akar permasalahan yang memunculkan banyaknya penafsiran terhadap unsur-unsur seperti
“agama,” “penodaan,” dan lain-lain.
Dalam penelusuran disertasinya, Nella menemukan paling tidak ada tiga model perumusan tindak pidana. Pertama, ada istilah yang digunakan saja tanpa penjelasan. Kedua, ada istilah yang diberikan penjelasan berupa kualifikasi. Ketiga, ada juga tindakan yang diberi penjelasan tanpa adanya istilah tertentu. Ketiga model perumusan ini menunjukkan adanya hubungan-hubungan yang dinamis antara istilah-istilah yang digunakan dalam hukum pidana dan perilaku yang berusaha direpresentasikan melalui istilah-istilah tersebut. Dinamika ini adalah sebagian kecil dari gejala yang menunjukkan tantangan implementasi asas Lex Certa itu dalam hukum pidana Indonesia.
Refleksi bagi Advokasi KBB
Teks-teks hukum dibuat untuk melindungi hak masyarakat, tetapi penafsirannya dapat dibelokkan sehingga melenceng dari komitmen utama. Salah satu contohnya adalah ketika istilah “agama” pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945 ditafsirkan secara eksklusif oleh pihak-pihak intoleran untuk mengeksklusi kelompok penghayat agama leluhur dari hak-hak kewargaannya dengan dalih bahwa mereka “tidak beragama” (lihat Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965). Bak senjata makan tuan, aturan-aturan yang semula ditujukan untuk melindungi kelompok rentan malah semakin menindas mereka.
Kasus yang sama dapat terjadi pula pada KUHP 2023 yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026. Terlepas dari celah-celah keretakan dalam rumusan pasal-pasalnya, KUHP yang baru ini akan menjadi acuan hukum segala tindak pidana di Indonesia, tak terkecuali yang terkait dengan hak-hak KBB. Lantas, apa yang perlu dan harus dilakukan agar pelaksanaan KUHP tersebut berkontribusi dalam pemajuan advokasi KBB di Indonesia?
Baik Asfinawati dan Nella bersepakat tentang perlunya buku-buku panduan yang jelas dalam bentuk petunjuk teknis atau panduan penafsiran hukum, baik bagi masyarakat maupun bagi aparat penegak hukum. Rumusan kata-kata yang tertulis di KUHP sudah pasti, maka yang bisa dilakukan ialah mempromosikan ruang tafsir yang terbuka terhadap kemajemukan masyarakat. Diseminasi penafsiran ini tidak hanya dilakukan kepada aparat penegak hukum dalam berbagai tingkatan, tetapi juga masyarakat umum dan kelompok/komunitas rentan yang berpotensi dikriminalisasi dengan KUHP yang baru. Untuk itu, Asfin menyoroti pentingnya pendidikan pemahaman tentang HAM secara umum dan KBB secara khusus bagi para penegak hukum. “Apalagi instrumen-instrumen hukum internasional tentang HAM telah dibentuk dan telah diterima juga oleh Indonesia sebagai negara,” tambahnya.
Hak rakyat untuk memiliki kebebasan beragama atau berkeyakinan turut dibentuk oleh KUHP beserta penafsirannya. Oleh karena itu, diseminasi terhadap penafsiran yang inklusif menjadi sebuah keniscayaan dalam upaya advokasi KBB di tengah situasi Lex (in)Certa dalam hukum Indonesia. “Tidak ada rumusan hukum yang sempurna dan penafsirannya tidak akan pernah selesai. Karenanya, advokasi KBB di Indonesia harus terus diperjuangkan,” pungkas Nella.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah alumnus Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.