Industri, korporasi, bahkan lembaga negara berlomba-lomba membingkai diri sebagai bagian dari gerakan hijau. Seolah, dengan menyebut sesuatu yang hijau, seluruh proses di baliknya otomatis menjadi ekologis nan lestari.
Salah satu yang kerap dibahas sebagai yang hijau dan terlihat cukup menjanjikan yaitu energi panas bumi atau geotermal. Ada semacam optimisme yang wajar ketika energi yang tersembunyi di perut bumi dapat diolah menjadi sumber daya efisien dan terbarukan. Namun, cara energi tersebut sesungguhnya diolah dan dimanfaatkan menjadi pertanyaan besar. Apakah panas bumi benar-benar seterbuka dan sebersih klaim-klaim ilmiah atau apakah ada dampak ekologis dan sosial yang justru disamarkan oleh retorika kehijauan? Apakah yang disebut “hijau” ini menyejahterakan semua pihak atau justru meninggalkan jejak kerentanan baru di wilayah-wilayah tempat ia diekstraksi?
Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang coba dijawab dalam rangkaian ulang tahun ke-25 CRCS UGM melalui diskusi bertajuk “Energi Hijau: Perspektif Sains dan Tradisi.” Forum ini menghadirkan suara dari pusaran tradisi, aktivisme, dan sains.
Pri Utami dari Pusat Penelitian Panas Bumi Fakultas Teknik UGM membuka diskusi dengan paparan “Memanen Api Bumi, Sejarah dan Perspektif Sains”. Energi panas bumi tersebar hampir di seluruh dunia tetapi sering disalahpahami dan dieksploitasi secara ekstraktif. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki penampakan jejak panas bumi cukup jelas, salah satunya melalui tanah beruap dan aktivitas vulkanik. Menurutnya, potensi geotermal di Indonesia telah tampak pada catatan Wallace pada 1918. Eksplorasi awal baru dilakukan oleh pemerintah pada 1969–1970 dan ekspansi masif terjadi pada tahun 2000 hingga sekarang.
Di samping itu, Pri Utami juga menggarisbawahi bahwa jejak relasi masyarakat dengan panas bumi juga terekam dalam banyak tradisi di Nusantara seperti waruga, Benteng Moraya, Watu Pinawetengan, dan Petirtaan Candi Umbul. Dari perjalanan panjang tersebut, panas bumi bukan semata sumber daya alam. Baginya, geotermal adalah jembatan antara pengetahuan leluhur dan masa depan energi yang hanya dapat berkelanjutan jika kearifan lokal, teknologi modern, dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan dijalankan secara setara dan inklusif.
Selanjutnya Elki Setiyo, WALHI Yogyakarta, mempertanyakan apakah geotermal atau apa pun itu bentuk dari bauran transisi energi, telah benar-benar hijau atau hanya “dicat hijau.” Ia menyoroti bahwa transisi energi sering kali masih berjalan dengan logika ekstraktif: mengganti energi fosil yang destruktif dengan bauran baru yang tetap melahirkan kerusakan. Karena itu, WALHI menekankan tiga hal: tidak semua transisi adalah solusi; keadilan ekologis dari hulu ke hilir harus dijamin; dan tujuan utama mencegah bencana tidak boleh berubah menjadi sumber bencana baru. Dari perspektif WALHI, pengembangan geotermal di Indonesia kerap menjadi solusi palsu yang memicu penolakan, ketimpangan, konflik, dan pencemaran. Pada banyak kasus, pengembangan energi baru ini justru mengabaikan suara masyarakat serta konteks sosial setempat. Karenanya, kajian-kajian akademik lintas sektoral yang tidak melulu membahas teknis, menjadi penting untuk mewujudkan demokratisasi ekologis.
Agung R. Setiawan, perwakilan masyarakat Dieng yang terdampak proyek geotermal, mengingatkan bahwa wilayahnya adalah salah satu lokasi paling awal dieksploitasi atas nama eksplorasi energi hijau. Sejak 1997, Pertamina telah membuka 27 sumur uji, mayoritas di Kawah Sikidang. Menurutnya, hingga hari ini potensi panas bumi Dieng mencapai sekitar 600 MW. Namun, di balik klaim sebagai energi hijau dan berkelanjutan, realitas menunjukan masyarakat justru menghadapi krisis sosial-ekologis: kerusakan bentang air, degradasi lahan, turunnya produktivitas pertanian, polusi udara dan suara, hingga masalah kesehatan dan konflik sosial. Dalam tiga dekade terakhir, rangkaian insiden industri seperti ledakan sumur, kebocoran pipa, hingga paparan gas beracun menyebabkan kerugian besar dan korban jiwa. Pencemaran juga merembes ke sumber air. Beberapa sampel sungai menunjukkan kandungan besi, mangan, dan fenol yang jauh melewati ambang aman. Karena itu, Agung menutup dengan penegasan sederhana tetapi mendasar bahwa sejatinya, “Bagi masyarakat adat, energi bukan hanya soal listrik, melainkan segala yang memberi kehidupan. Air, tanah, dan hutan dan karenanya harus dijaga untuk masa depan.”
Sementara itu, Thomas Hendrik, perwakilan masyarakat Jawa Barat yang juga terdampak geotermal memberikan refleksi dari perspektif tradisi. Ia menegaskan bahwa bagi masyarakat adat, gunung bukan objek eksplorasi, melainkan ruang kesadaran. Manusia adalah penghubung langit dan bumi, penjaga rasa dan alam. “Gunung lain hiasan, leuweung lain tempat kosong, cai lain cai, eta kabeh ayu ruh, aya karsa, bagian tina urang sorongan” ujarnya sebagai penegasan bahwa setiap unsur alam punya ruh dan karsa. Kerusakan ekologis, baginya, lahir ketika manusia gagal ngaji diri dan lupa asalnya dari tanah, air, dan langit. Filosofi sunda tidak berbicara tentang keberlanjutan ala Barat, tetapi tentang kesatuan manusia-alam. Alam sebagai subjek spiritual, daya semesta sebagai penata, dan daya karsa sebagai pengarah niat. Kemajuan harus selaras dengan etika ekologis dan kearifan lokal. Hal ini ia tegaskan melalui prinsip karuhun yang mengatakan, “Ngala ulah ngeuwihan, make ulah ngerusak (mengambil jangan berlebihan, memakai jangan merusak).”
Diskusi ini pada dasarnya memperlihatkan bahwa di balik label “energi hijau” tersembunyi pusaran tarik-menarik antara sains, kebijakan, dan pengalaman hidup masyarakat. Geotermal dapat menjadi jembatan antara pengetahuan leluhur dan masa depan energi. Namun, di saat yang sama, ia dapat pula berubah menjadi industri yang menyingkirkan manusia dan merusak bumi. Dari perspektif sains hingga tradisi, satu hal menjadi terang: bahwa transisi energi tidak bisa hanya dihitung sebagai persoalan teknis, tetapi mesti ditimang sebagai persoalan keadilan, relasi, dan cara kita memahami kehidupan itu sendiri. Pada akhirnya, masa depan energi hanya akan benar-benar hijau jika ia lahir dari rasa hormat pada bumi, pada manusia, dan pada pengetahuan yang tumbuh dari keduanya.
______________________
Arfi Hidayat adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2025. Baca tulisan Arfi lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini oleh Rona Farij Falahi (2025)