“Perempuan, baik itu suara, pengalaman, cerita, dan bahkan tubuhnya (itu) membentuk jalan panjang menuju keadilan sosial.”
Kalimat Mustaghfiroh Rahayu tersebut menjadi pemantik ketika memoderatori diskusi “Merekam Perlawanan, Merawat Ingatan” dalam perayaan ulang tahun ke-25 CRCS UGM. Bincang-bincang di sore syahdu (21/10) tersebut menghadirkan empat pembicara menarik dari empat ranah berbeda: sejarawan, aktivis transpuan, perempuan adat, dan kiai pesantren pendiri organisasi pergerakan perempuan.
Panel diskusi tersebut diawali dengan sangat ciamik oleh Ita Fatia Nadia yang menawarkan gerakan gender sebagai cara untuk melihat ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan dalam perjalanan sejarah yang panjang. Sejarawan dan ketua RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah) ini mengajak para peserta diskusi untuk membaca ulang narasi, imajinasi, dan pengalaman perempuan yang dihilangkan dan (akan) dihapus dalam penulisan arus utama sejarah Indonesia. Ia menyebutkan beberapa gerakan penting perempuan di Indonesia yang jarang tampil sampai tokoh-tokoh kunci yang namanya tidak pernah terdengar lagi dalam sejarah bangsa kita saat ini. Salah satunya adalah Sugiarti Siswadi. Buku dan puisinya tentang semangat perlawanan dan pemberdayaan perempuan tidak lagi dapat dinikmati di Indonesia dan hanya dapat diakses di salah satu perpustakaan yang terletak di Belanda.
Lebih lanjut, untuk menantang tren penghapusan peran perempuan dalam penulisan arus utama sejarah Indonesia, Ita memaparkan pergulatan, agensi, dan kontribusi beberapa tokoh perempuan. Di antaranya ialah Kalinyamat yang menggagas politik maritim di Jepara, Sultanah Safiyatuddin yang mendirikan universitas kelas dunia di Aceh, dan Ratu Ageng Tegalrejo yang memainkan peran penting dalam Perang Jawa.
Ita juga menjelaskan beberapa bentuk agensi dan kontribusi yang telah dilakukan oleh perempuan-perempuan hebat Indonesia pada awal abad ke-20, salah satunya adalah melalui surat kabar. Pada masanya, surat kabar menjadi medium dan manifestasi dari gagasan perlawanan perempuan. Dari surat kabar, tegas Ita, kita bisa melacak genealogi dari gerakan perempuan Indonesia. Siti Sundari dengan surat kabar Wanito Sworo dan Ruhana Kuddus dengan Sunting Melayu ialah salah satu tokoh pergerakan perempuan yang pernah berlayar ke Eropa untuk belajar langsung tokoh-tokoh hebat di Eropa tentang modernisme.
Berbicara tentang peran sejarah yang “hilang”, Rully Malay dari Waria Crisis Center menyampaikan perspektif feminisme trans dan queer di Indonesia. Rully menegaskan, perjuangan dan kerja advokasi untuk teman-teman transpuan di Indonesia tidaklah berangkat dari ruang yang vakum. Ia berefleksi melalui kisah hidup dirinya sendiri. Rully lahir di tengah keluarga tentara berdarah Bugis. Bisa dibayangkan betapa Rully kecil merasa khawatir dirinya akan ditolak oleh keluarganya, lingkungan terdekat yang dia miliki. Pemikiran masyarakat kita memang didominasi oleh pandangan gender biner membuat kontribusi kaum trans terpinggirkan dan terlupakan. Namun, seiring waktu, keluarganya menerima dan mendukung Rully sepenuhnya sebagai seorang trans.
Penerimaan inilah yang menjadi dorongan kuat Rully untuk memihak kelompok trans yang belum diterima secara kaffah oleh masyarakat. Bersama teman-teman trans yang lain, Rully secara aktif berperan dalam banyak kegiatan kemanusiaan di masyarakat. Di antaranya, mereka terlibat dalam dapur umum yang bertugas untuk menyiapkan makanan siap saji bagi relawan dan penduduk yang membantu proses evakuasi pada saat terjadi tsunami besar di Aceh dan gunung meletus di Yogyakarta. Walaupun kerja-kerja tersebut seringkali tidak dianggap, tegas Rully, mereka tetap melakukan hal itu sebagai bentuk syukur atas status diri mereka.
Selanjutnya, Dewi Anggraini dari Perempuan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) membawa para peserta berefleksi secara tajam pengalaman perempuan adat di tengah interseksionalitas antara gender, budaya, dan kolonialisme. Dewi menceritakan kisah-kisah faktual masyarakat adat saat mereka harus melawan “monster” kolonialisme yang rakus. Bentuk kerakusan ini tentu sangat beragam. Mulai dari pencurian yang dilakukan oleh korporasi besar terhadap pengetahuan adat (indigenous science) yang telah dikembangkan oleh perempuan adat, seperti benih padi, sampai perebutan tanah dan hutan adat untuk Proyek Strategis Nasional.
Ini semua, jelas Dewi, menjadi bukti nyata bagaimana monster kolonialisme telah merebut hak-hak kolektif terhadap kedaulatan pangan serta pengetahuan adat yang mereka miliki. Lebih lanjut, selain melalui perlawanan langsung di lapangan, Dewi juga mengajak para peserta untuk memikirkan bentuk-bentuk perlawanan lainnya. Seperti yang dia lakukan bersama Perempuan AMAN, misalnya, dengan menuliskan aspek-aspek kesejarahan perempuan adat melalui kegiatan riset dan pendokumentasian. Upaya ini menjadi penting, tidak hanya karena minimnya data mengenai sejarah perempuan adat, tetapi juga karena proses itu membuka ruang aman bagi mereka untuk mengonsolidasikan kepentingan perempuan adat secara lebih kuat.
Selanjutnya, Husein Muhammad dari Yayasan Fahmina mencoba membawa topik utama bincang-bincang ini ke dalam perspektif keagamaan. Dalam pemaparannya yang hangat dan teduh, Husein menegaskan bahwa konstruksi kehidupan sosial di Indonesia, termasuk gender, terbentuk atas tiga hal penting, yaitu adat, kebijakan negara, dan pandangan keagamaan. Namun, dari ketiga hal itu, pandangan keagamaan menjadi faktor paling sensitif karena menyentuh wilayah keyakinan dan nilai-nilai spiritual yang dianggap sakral. Husein juga menjelaskan bahwa tafsir terhadap teks suci yang sakral sering kali digunakan untuk menjustifikasi sikap diskriminatif terhadap perempuan.
Pandangan yang Husein tawarkan itu tidak hadir tanpa konsekuensi. Dia sempat mendapatkan respons keras dari para kiai di kalangan internal pesantren karena dianggap mendahulukan akal di atas teks yang membuatnya dituduh menyimpang dari arus utama tradisi Ahlussunnah wal Jamaah. Namun, dari pengalaman itu, Husein justru menegaskan pentingnya membangun perubahan dari dalam tradisi. Melalui lembaga yang ia dirikan, Yayasan Fahmina, Husein mengembangkan metodologi pembacaan kontekstual terhadap teks keagamaan dengan membedakan antara teks partikular yang lahir dari konteks sosial tertentu dan teks universal yang berlandaskan nilai kemanusiaan serta kesetaraan. Teks keagamaan yang ia maksud adalah Al-Qur’an, hadis, dan pandangan ulama.
Lebih lanjut, menurutnya, bagian teks yang seringkali dianggap memarjinalkan perempuan adalah bagian partikularnya yang sudah tidak relevan lagi. Salah satunya adalah pemahaman bias gender terhadap ayat yang menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Di sisi lain, Husein juga menjelaskan bahwa teks universal yang sepatutnya digunakan sebagai dasar praktik keagamaan adalah ayat yang mendorong kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, seperti inna akramakum ‘indallâhi atqâkum. “Manusia yang paling mulia bukan dipertimbangkan dari jenis kelaminnya, melainkan dari moralitas mereka yang luhur,” jelas Husein.
Pada akhirnya, pertemuan empat sosok ini merupakan perayaan atas keberanian perempuan dalam berbagai bentuk dan ruangnya. Mulai dari Ita Fatia Nadia yang menghidupkan kembali sosok-sosok perempuan yang dihapus dari sejarah, Rully Mallay yang memperjuangkan hak-hak transpuan, Dewi Anggraini yang bergerak bersama perempuan adat untuk melawan monster kolonialisme, hingga Husein Muhammad yang menafsirkan ulang teks keagamaan dengan semangat kesetaraan. Semua itu menegaskan bahwa perlawanan akan selalu terus hidup dalam ingatan dan tindakan. Oleh karena itu, setiap upaya untuk mengingat adalah bagian dari merayakan perlawanan itu sendiri. Tabik.
______________________
Naufal Aulia Hanif adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2025. Baca tulisan Naufal lainnya di sini.