A Myth is As Good: Menuju Pemahaman Baru tentang Mitos
Krisharyanto Umbu Deta – 10 Maret 2022
Superioritas sains atas mitos, sebagaimana ditinjau pada tulisan sebelumnya, mengakar pada kerancuan-kerancuan berpikir yang mencoba membenturkan mitos dengan faktualitas historis. Melampaui dualitas historis-ahistoris, mitos justru memiliki pola tak-terbatas-waktu (timeless pattern). Alih-alih menjanjikan faktualitas, mitos nyatanya memberikan wawasan dan makna, yang pada titik tertentu melampaui fungsi sains. Dalam ekologi misalnya, mitos masyarakat adat yang mengisyaratkan alam sebagai subyek justru lebih menjanjikan dibanding sains modern ala developmentalis-ekstraktif yang melihat alam sebagai sumber daya moneter, yang akibat faktualnya makin nyata dalam krisis lingkungan global. Dengan demikian, tulisan ini menghantarkan pada satu cara baru memahami mitos dan signifikansinya dalam konteks hari ini—yang di antara argumentasinya, meminjam salah satu judul sub-bab buku Morton Klass, A Myth is As Good.
Mitos dan Makna
Sebagai produk suatu kebudayaan, mitos erat kaitannya dengan manusia yang membuat, merawat, dan menghidupinya. Menurut Armstrong, manusia selalu menjadi pembuat mitos (mythmakers) karena manusia adalah makhluk pencari makna (meaning-seeking creatures). Apa yang menjadi keunikan manusia sejak lama adalah kemampuannya untuk menghasilkan ide yang melampaui pengalaman sehari-hari melalui imajinasi, yang tak selalu terjelaskan melalui rasionalitas modern. Bagi Armstrong, imajinasi adalah kecakapan manusia yang melahirkan agama dan mitologi walaupun mitos kemudian telah disalahpahami sebagai yang irasional. Imajinasi juga sebenarnya telah memampukan saintis untuk menghasilkan pengetahuan baru yang membuka jalan bagi perkembangan teknologi. Tak jarang, teknologi atau capaian itu sebelumnya hanya ada dalam mitos. Misalnya, manusia berjalan di bulan. Sebagaimana sains dan teknologi, mitologi juga memampukan manusia untuk hidup lebih intens di dalamnya.
Mitos bukanlah sekedar cerita yang disampaikan untuk dirinya sendiri, melainkan sebagai petunjuk tentang bagaimana manusia harus bersikap. Armstrong dalam hal ini mengambil contoh kisah-kisah Adam, Nuh, Abrahama, Musa, atau Yesus dalam Alkitab atau Al-Qur’an. Kisah-kisah ini menurutnya bukan untuk mendapatkan informasi historis, melainkan dibaca(kan) kembali dalam konteks yang sakral. Dengan demikian, orang Kristen dan muslim hanya bisa menemukan signifikansi cerita-cerita tersebut ketika hidup sesuai petunjuk-petunjuk etis yang terkandung di dalamnya.
Namun demikian, menurut Armstrong, pemisahan antara mitos dan logos (akal budi, rasio) oleh orang Yunani membuat orang Kristen dan muslim di kemudian hari menjadi tidak nyaman dengan kekayaan tradisi-tradisi mereka yang, jika dilihat dalam dualisme mitos-logos ini, cenderung berwarna mitologis. Ketika filsafat Plato dan Aristoteles diterjemahkan ke bahasa Arab pada abad ke-8 dan ke-9, beberapa akademisi muslim kemudian berusaha untuk membuat agama “qur’an” mereka menjadi agama “logos” dengan cara mengembangkan “bukti-bukti” adanya Allah sebagaimana konsep Aristoteles mengenai Kausa Prima atau Penggerak Pertama.
Pengaruh logos kemudian berlanjut dari abad ke-16 hingga abad ke-20 ketika modernitas Barat (Western modernity), sebagai salah satu anak kandung logos, lahir. Modernitas Barat membawa perubahan besar dalam industrialisasi, transformasi, dan revolusi agrikultur, politik, dan sosial. Ia mereorganisasi keadaan masyarakat untuk mencapai “pencerahan” intelektual, salah satunya dengan cara melabeli mitos sebagai yang tak berguna, keliru, dan kuno. Misi modernisasi dan “pemberadaban” yang dianggap akan membawa manusia pada tingkat kehidupan yang lebih baik nyatanya memiliki sisi-sisi destruktif yang dapat ditemui dalam ragam bentuk “mitos-mitos modern” yang berujung pada pembunuhan massal, genosida, dan eksploitasi alam yang tak terkira. Lebih jauh mengenai mitos-mitos modern ini misalnya dibahas dalam karya terkenal Mythologies dari Roland Barthes yang melihat mitos sebagai suatu sistem komunikasi dengan maksud atau pesan tertentu yang dibatasi oleh suatu konteks tertentu.
Menuju Pemahaman Baru tentang Mitos
Gagasan-gagasan Armstrong, Levi-Strauss, lalu kemudian juga James Cox—dan beberapa sarjana lainnya yang berbicara soal mitos—senada dengan gagasan Ninian Smart bahwa istilah “mitos” sebenarnya bersifat netral terhadap kebenaran maupun ketidakbenaran dari sebuah cerita. Dengan demikian, yang penting dalam usaha memahaminya adalah makna dari peristiwa dalam mitos tersebut, alih-alih berfokus pada apa yang benar-benar terjadi, sebagaimana persepsi manusia “modern.” Berangkat dari sini, Cox misalnya menempatkan mitos sebagai sebuah cerita yang benar—tidak melulu secara historis atau saintifik—menurut pemiliknya karena mereka mengalami dunia tepat seperti yang diceritakan mitos tersebut.
Mitos biasanya dicirikan dengan cerita tentang tuhan atau para dewa (bersifat supranatural), penciptaan atau permulaan dunia, struktur kosmos (dunia, alam, manusia, dan tuhan), dan mengekspresikan nilai dan norma religius sebuah masyarakat. Mitos dengan demikian menyediakan sebuah paradigma makna mengenai alam, kultur, masyarakat, dan individu. Samsul Maarif misalnya melihat mitos sebagai salah satu media bagi manusia untuk menjumpai dan mengenali subjek-subjek baik manusia maupun nonmanusia di sekitarnya. Orang Ammatoa, masyarakat adat di Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, misalnya dapat mengenali alam sebagai subjek nonmanusia melalui berbagai cerita yang disebutkan dalam pesan-pesan para leluhur. Tradisi-tradisi lisan tersebut mendemonstrasikan kapasitas dan fungsi dari subjek-subjek yang dengannya manusia memiliki hubungan saling ketergantungan.
Namun demikian, Cox mendefinisikan mitos bukan sebagai cerita sakral, sebagaimana Mircea Eliade, melainkan sebagai sebuah horison pemahaman yang menggambarkan keluasan sekaligus batasan tertentu dari sebuah perspektif atau penangkapan kultural-religius sebuah komunitas terhadap realitas. Analogi horison ini mengasumsikan bahwa apa yang dilihat seseorang tergantung pada lingkungan dekat yang dapat ditangkapnya saat itu. Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengalami dunianya ditentukan oleh horison tempat ia tinggal. Dalam studi agama, horison ini tak terpisahkan dengan kultur, struktur sosial, sistem politik dan ekonomi, faktor geografis, iklim, dan psikologi. Dengan demikian, mitos membentuk asumsi-asumsi bersama dari suatu komunitas kultural-religius. Dalam hal ini, adalah alamiah ketika suatu komunitas keagamaan menyetarakan mitos dengan realitas karena realitas tidak dapat digeneralisasi, tetapi hanya dapat dipahami dalam pandangan dunia yang partikular. Dengan posisi yang sedemikian penting, Cox sepakat dengan gagasan Smart bahwa mitos bagi beberapa komunitas, sekalipun dalam bentuk oral, dianggap melampaui dokumen tertulis, sehingga kemudian menjadi “kitab suci” yang otoritatif bagi komunitas tersebut.
Dari perspektif antropologi agama, Morton Klass melihat mitos sebagai suatu bentuk penangkapan realitas dari suatu komunitas yang kemudian diartikulasikan sebagai sebuah respon terhadap pertanyaan-pertanyaan dari para peneliti etnografi. Karenanya, mitos membutuhkan analisis tekstual maupun reflektif. Gagasan ini berangkat dari studi kasus mitos orang Bauri, masyarakat asli Bengali di India. Klass melihat orang Bauri menggunakan mitos sebagai metafora untuk menjelaskan realitas kepada para peneliti etnografi yang ingin mengetahui hakikat dari realitas. Metafor mesti digunakan karena sulit bagi orang Bauri untuk menjelaskan tangkapan realtias mereka kepada peneliti dari luar komunitas mereka yang tidak mempunyai horison dan pengalaman yang sama dengan mereka. Di sinilah Klass menekankan persoalan etnosentrisme seorang peneliti yang menjadi sangat problematis ketika sebuah perspektif kultural tertentu dinilai dengan menggunakan horison si peneliti yang jelas berbeda, tetapi lantas cenderung digeneralisasi.
Untuk persoalan tersebut, Cox menawarkan konsep konversi metodologis dan hermeneutik diatopikal. Melalui yang pertama, seorang fenomenolog dengan empatinya dapat memiliki setidaknya dua posisi di saat yang sama, yaitu horisonnya dan horizon subyek kajiannya, tanpa ada kontradiksi inheren di dalamnya. Dengan demikian, studi agama dapat memperoleh kedalaman yang baru dan sekaligus autentisitas dalam seluruh pencarian akademisnya tanpa terjebak pada bias horisonnya maupun horizon subyek kajiannya. Hal ini dapat dimungkinkan melalui hermeneutik diatopikal yang memberi ruang bagi studi agama untuk melakukan penangguhan penilaian (suspension of judgement)—dengan tidak menganggap horisonnya sebagai yang lebih benar dari horizon subyek kajiannya karena dianggap terlalu mitologis misalnya. Dalam hal ini, seorang akademisi dapat berdiri di ruang antara horizon pribadinya dan subyek kajiannnya. Dengan begitu, akademisi akan mampu menangkap makna dari sebuah pengalaman religius dengan mengakui adanya dunia terbuka (open universe) yang realitasnya dapat ditangkap dengan cara-cara yang beragam atau multidimensional.
Cox mencontohkan, ketika berusaha memahami agama-agama tradisional Afrika, ia harus keluar dari perspektif saintifik Barat yang dipegangnya, dan bersikap terbuka pada perspektif orang Afrika mengenai roh-roh leluhur. Dalam hal ini, ia tidak begitu saja meninggalkan perspektifnya dan secara tidak kritis menerima pandangan orang Afrika. Namun, pada posisi ruang antara itulah seorang akademisi dapat menemukan titik temu dari perspektif keduanya yaitu sebuah horizon baru untuk memahami pengalaman religius orang Afrika. Bukan melalui bahasa saintifik yang menjadi perspektif pribadinya, melainkan melalui tukar-menukar perspektif secara kreatif dan dinamis.
Dalam konteks hari ini misalnya, paradigma ekologis dapat menjadi titik temu masyarakat adat dan masyarakat yang menganggap dirinya “modern”. Kepercayaan-kepercayaan masyarakat adat yang dianggap tidak rasional, bahkan sesat, cenderung sukar diterima oleh masyarakat “modern” karena dinilai dari satu horizon secara eksklusif. Namun, nilai intrinsik dan signifikansi alam bagi kehidupan manusia dapat membantu melampaui stigma-stigma dan asumsi yang menganggap masyarakat adat menyembah pohon atau laut.
Untuk menghindari bentuk-bentuk kesalahpahaman, Cox mencoba menguraikan kompleksitas konstruksi mitos dalam usaha memahaminya. Cox dalam hal ini menggunakan dua istilah untuk mempertajam subyek bahasan kajian ini; mythemes (mitos dalam bentuk artikulasi akademik yang dibuat akademisi, dalam buku/jurnal hasil penelitian misalnya) dan mythologumena (cara penyampaian mitos, melalui cerita oral misalnya). Ketika sebuah mitos telah ditulis oleh peneliti dan menjadi mythemes, maka ia bukan lagi mitos itu sendiri. Dalam hal ini, mitos tidak dapat disamakan dengan, dan dengan demikian tidak dapat juga direduksi, menjadi sekedar konstruksi akademis. Lagipula, sebagaimana dijelaskan Levi-Strauss, sebuah konstruksi akademis tentu tidak akan mampu menangkap dan merepresentasikan kompleksitas struktur mitos. Dengan demikian, mythemes mesti dilihat sebagai tangkapan akademisi terhadap mitos-mitos yang disampaikan dengan beragam bentuk (mythologumena), yang dikonstruksi untuk kepentingan akademis—penguraian makna misalnya. Namun, baik mythemes itu sendiri maupun makna yang diidentifikasi darinya tetaplah merupakan kontruksi akademis si peneliti.
Pada akhirnya, tawaran definisi operasional mitos dari Klass patut diperhitungkan. Menurutnya, mitos merupakan berbagai tangkapan atau deskripsi yang merefleksikan sebuah sistem kultural tertentu dan nilai-nilai yang dianut. Dalam konteks hari ini, mitos semakin menemukan signifikansinya di tengah krisis ekologis yang semakin mengglobal. Mitos yang dianggap tidak faktual, dan dalam garis sejarah sering dianggap sebagai produk dunia primitif, justru semakin nyata signifikansinya dalam krisis peradaban modern. Sebagaimana dikatakan Armstrong, dunia hari ini membutuhkan mitos-mitos yang membantu kita mengenali sesama ciptaan dan bukan hanya manusia. Melalui mitos, pengenalan tersebut melampaui pragmatisme ekonomi yang melihat ciptaan lain hanya sejauh komoditas produktif dan menguntungkan bagi kepentingan manusia. Kita juga membutuhkan mitos yang dapat merestorasi spiritualitas kita sehingga mampu melihat nilai-nilai transenden yang melampaui rasionalitas.
“(kita membutuhkan mitos yang)…memuliakan bumi sebagai yang sakral seperti sebelumnya, bukan sekedar menggunakannya sebagai ‘sumber daya.’ Semuanya ini sangat krusial, karena hanya dengan sebuah revolusi spiritual yang dapat mengimbangi kecerdasan teknologis kita, kita dapat menyelamatkan planet kita.” (Armstrong, 2004).
Dengan demikian, anggapan bahwa mitos itu cuma “mitos” adalah juga “mitos”.
______________________
Krisharyanto Umbu Deta adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Umbu lainnya di sini.
Ilustrasi tajuk artikel ini diolah dari lukisan “The Creation of Adam” (1511) oleh Michelangelo