Agama Leluhur dan Kemajuan Besar Demokrasi Indonesia
Robert W. Hefner
Pardee School of Global Affairs, Boston University
— Tulisan ini disampaikan sebagai pidato pembuka pada International Conference on Indigenous Religions di UGM, 1 Juli 2019
Konferensi kita hari ini adalah sesuatu yang istimewa, bahkan di luar dugaan orang, termasuk saya, beberapa tahun yang lalu saja. Namun harus saya tegaskan juga bahwa konferensi kita ini ialah suatu konferensi yang dari sisi pembentukan pelayanan sosial terhadap komunitas penghayat dan agama leluhur baru dimungkinkan oleh sebuah proses besar yang telah diperjuangkan selama lebih dari sepuluh tahun, kalau tidak lebih lama lagi, dengan upaya-upaya dari masyarakat penghayat dan agama leluhur sendiri, didampingi dan didukung oleh organisasi seperti Yayasan Satunama dan penelitian dan advokasi oleh banyak lembaga, di antaranya Yayasan Donders, LKiS, dan teman saya di CRCS di sini.
Tentu saja, seluruh proses ini dipercepat dan diperkuat oleh dikeluarkannya UU Administrasi Penduduk (No. 23/2006) dan, sebelas tahun kemudian, keputusan Mahkamah Konstitutsi (MK) mengenai UU tersebut yang mengakui hak warga negara Indonesia yang menganut agama atau kepercayaan yang belum diakui, untuk menulis “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” di kolom agama di KTP. Keputusan MK ini adalah langkah awal yang diikuti oleh sekian banyak peraturan dan kebijakan lain, baik di Kementerian Dalam Negeri maupun di Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Tradisi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama.
Dengan kata lain, konferensi kita hari ini dimungkinkan oleh sinergi negara dan masyarakat, termasuk kelompok-kelompok lintas agama. Dan sinergi ini adalah bagian dari yang saya berani gambarkan – dengan penuh kesadaran terhadap kritik yang pasti muncul dari beberapa pengamat Indonesia luar negeri – sebagai kebesaran/greatness demokrasi Indonesia kini. Sinergi ini menunjukkan bahwa pengakuan penghayat dan agama leluhur adalah sebuah keberhasilan istimewa yang terkadang terlupa, baik oleh pengamat luar negeri maupun terkadang pengamat dalam negeri, juga ketika mempertimbangkan kualitas demokrasi di Indonesia sekarang ini.
Untuk menghargai capaian ini kita harus kembali dan mengamati pelbagai perkembangan secara lebih terperinci. Putusan MK itu sendiri mencerminkan beberapa perkembangan lain dan lebih kompleks yang menyangkut Kepercayaan terhadap Tuhan YME beserta masyarakat adat dan kalangan pemerintah. Tapi keputusan ini juga tidak mungkin terjadi dan diwujudkan tanpa pelayanan dan pendampingan terhadap masyarakat yang sering kali dipinggirkan atau dimarginalkan itu, pelayanan dan pendampingan oleh organisasi sosial seperti Yayasan Donders dan Pater Mikael Keraf di Sumba atau LKiS di Jawa Tengah ini, serta yayasan sosial yang saya muliakan, Satunama, dan kerja samanya dengan Program Peduli di TAF.
Pendek kata, walaupun keputusan MK itu mencerminkan pertimbangan yuridis dan wacana internal MK kini, ia adalah juga sebuah hasil dari pelayanan dan advokasi sosial yang sudah lama berjalan di komunitas penghayat dan agama leluhur ini, dan mempunyai akar ke dalam kebudayaan dan etika politik bangsa Indonesia era Reformasi ini. Advokasi dan pelayanan itu berhasil melampaui batas-batas negara-masyarakat dan menghubungkan keduanya. Advokasi dan pelayanan itu mencerminkan kultur, etika dan kewargaan yang berdasar pada prinsip terindah dari dua landasan etis kenegaraan dan kewargaan Indoensia, yaitu Pancasila dan UUD 45; namun sekaligus juga berhasil menafsirkan dan menerapkan keduanya secara dalam dan setara untuk masyarakat yang sampai kini belum sempat menikmati keindahannya.
Penafsiran itu bertititik tolak dari sebuah komitmen konkret terhadap prinsip yang paling mulia dari Pancasila dan UUD 45: afirmasi etis terhadap kesetaraan sosial lintas suku, etnisitas, agama, kepercayaan, dan adat. Secara formil, prinsip-prinsip ini semua dijamin dan dijanjikan oleh UUD 45 dan Pancasila. Namun, secara konkret, realitas prinsip itu baru mulai diwujudkan secara lebih luas pada era Reformasi ini. Dan penafsiran dan tindakan yang diupayakan lebih inklusif itu mencerminkan sebuah aspek yang paling suci dari perjalanan bersama-sama yang berlandaskan pada apa yang disebut kebangsaan dan demokrasi Indonesia.
Pasti ada pengamat politik yang ragu ataupun skeptis terhadap pernyataan dan pujian saya terhadap capaian kewargaan ini. Tentu saja, dimana-mana di dunia kita, realitas sosial, politik, dan etika yang ada di sekitar kita selalu lebih kompleks bahkan terkadang lebih buruk dari cita-cita etika publik dan kewargaan yang kita acu dan perjuangkan. Tidak hanya di Indonesia, di sebagian besar dari negara yang mau dianggap demokratis, ada semakin banyak orang yang cenderung kecewa bahkan bosan dengan demokrasi dan gagasan kebangsaan dan kewargaan yang ada di tengah realitasnya. Selisih (jarak) antara cita-cita yang hendak direalisasikan dan realitas konkret terkadang amat besar. Di negara saya sendiri, Amerika Serikat, kami punya sejarah yang menunjukkan realitas ini – yaitu, penindasan terhadap warga keturunan Afrika, yang sampai sekarang ini belum diberikan kesempatan untuk menikmati hak kewargaan secara penuh. Apabila hal seperti ini bisa terjadi di negara yang membayangkan dirinya sebagai negara demokratis selama lebih dari 200 tahun, tidak mengherankan jika di negara demokratis lain, di antaranya Indonesia, bisa saja orang merasa kecewa terhadap realitas demokrasi yang belum selaras dengan cita-cita awalnya.
Namun, seperti kita ketahui, melalui kegiatan Satunama, Komnas Perempuan, Lakpesdam, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), serta lembaga-lembaga lain, dan pelayanan dan pendampingan terhadap warga penghayat dan agama leluhur, selisih antara cita-cita dan realitas konkret ini semestinya tidak hanya menciptakan kekecewaan, pesimisme, atau apati/ketakacuhan saja. Selisih antara norma yang dimuliakan dan realitas yang belum berhasil terwujudkan ini secara efektif justru bisa menjadi sumber idealisme untuk menipiskan atau mengatasi selisih itu melalui tindakan, advokasi, dan kerja sama baru. Proses-proses sejenis ini adalah bagian signifikan dari demokrasi dan kewargaan Indonesia kini, tidak kurang terkait dengan komunitas penghayat dan agama leluhur.
Keistimewaaan kebangsaan dan kewargaan Indonesia itu terletak, antara lain, dalam realitas bahwa komunitas yang dibayangkan – imagined community ala Ben Anderson itu – tidak berangkat dari sebuah etnisitas yang seragam dan monolitik, seperti sebagian besar dari imagined communities kebangsaan Eropa Barat. Bahkan sebaliknya, cita-cita kebangsaan Indonesia mencakup seluruh masyarakat yang sedemikian bineka dan beragam di Nusantara itu, dan menjanjikan agar kebangsaan Indonesia itu menjadi milik bersama-sama, sebuah harapan inklusif yang berdasarkan pada pengakuan kesetaraan dan keadilan. Dalam perkataan lain, dan kalau boleh saya pinjam sebuah gagasan dari filsuf Iris Marion Young, kebangsaan Indonesia berlandasan atas kewargaan yang tak terdiferensiasikan (terbedakan) menurut ras, agama, kepercayaan, adat, atau kesukuan dan menawarkan hak-hak dan pengakuan/rekognisi sosial yang setara. Dalam hal ini, hak kewargaan masyarakat kepercayaan dan agama leluhur yang diperjuangkan oleh saudara-saudara semua merupakan realisasi dari cita-cita Pancasila dan pendiri Indonesia yang sudah lama dinantikan, tepat waktu, dan betul-betul indah.
Mayoritas, mayoritarianisme, dan kewargaan yang setara
Ada implikasi lain dari prestasi ini. Dari segi cita-cita kebangsaan Indonesia ini, realitas politik yang paling pokok di Indonesia bukankah realitas demografis dan statistik tentang siapa yang mayoritas dan siapa yang minoritas. Dalam demokrasi di manapun—India, Belanda, Perancis, Amerika Serikat, ataupun Indonesia—menyamakan demokrasi dengan kekuasaan mayoritas adalah salah tafsir yang mendasar dari demokrasi dan kebangsaan yang ada dalam sistem politiknya. Lebih buruk lagi, kesalahan tafsir ini melahirkan kebijakan dan tindakan politik yang diskriminatif dan tidak adil karena bertentangan dengan inti dari demokrasi dan kebangsaan demokratis.
Apa yang saya maksudkan dengan klaim ini? Tentu saja demokrasi bertitik tolak dari beberapa prosedur politik yang menyangkut musyawarah dan pemilihan umum yang menggunakan suara mayoritas dan segalanya. Aspek mayoritas dan minoritas dari sisi prosedur ini tentu ada dalam sistem demokrasi mana pun. Namun prosedur ini pun dimungkinkan oleh sebuah realitas etika yang lebih bermakna: yaitu bahwa inti moral dari masyarakat itu bukankah mayoritas dan minoritas, melainkan kewargaan dan janjinya terhadap partisipasi dan pengakuan/rekognisi politik yang berlandasan atas kesetaraan dan keadilan. Dari sisi filsafat etika politik, realitas demokrasi yang paling mendasar bukankah mayoritarianisme itu tadi, melainkan perjalanan bersama-sama sebagai warga negara yang setara dalam kepemilikan haknya dan dalam pengakuan atau rekognisi sesama warga negara, sebagai manusia yang tidak hanya “setara” secara formil, tetapi juga setara dalam martabatnya sebagai sesama makhluk Tuhan. Pemahaman semacam ini – yaitu inti dari kewargaan yang tak terdiferensiasi – adalah aspek dari perjanjian kebangsaan dan kewargaan Indonesia yang paling dimuliakan warga Indonesia sendiri.
Tentu saja, selalu ada kendala atau halangan dalam pewujudan cita-cita yang sedemikian istimewa itu. Di antaranya, sepanjang sejarah perjalanan bersama-sama kebangsaan Indonesia itu, ada kelompok yang tidak setuju dengan gagasan kewargaan yang tak terdiferensiasikan. Kelompok itu lantas cenderung memilih atau memperjuangkan suatu politik yang mencerminkan nilai-nilai mayoritas/mayoritarian ketimbang cita-cita kesetaraan. Di wilayah tertentu, dan terutama pada awal pendirian Republik Indonesia, ada tokoh – beberapa diantaranya didukung oleh penjajah Belanda – yang lebih senang memprioritaskan kesukuan atau etnisitas daripada kewargaan yang inklusif, yang merangkul semua suku, ras, agama, gender, dan lainnya. Tapi sikap ekslusif dan kesukuan itu ditolak oleh pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Dan jangan kita anggap bahwa kelompok yang cenderung seperti ini ialah dari satu etnisitas atau kelompok agama saja: ada Kristen, ada Muslim, dan, walaupun sedikit, karena jiwa nasionalisme inklusif yang kuat, beberapa orang Hindu yang cenderung mengedepankan sebuah kewargaan yang berlandasan atas sebuah komunitas agama yang dianggap lebih penting, lebih pokok, dan lebih tepat daripada komunitas yang lain. Kelompok ini mengajukan suatu supremasi sosial atas dasar identitas agama mereka, ketimbang kesetaraan dan inklusivisme yang lintas agama yang berdasar atas kewargaan yang tak terdiferensiasi.
Belakangan ini sikap seperti yang saya gambarkan ini sepertinya muncul dengan skala yang agak lebih besar, dalam beberapa gerakan sosial yang menuntut agar komunitas yang merupakan mayoritas mendapatkan hak-hak yang lebih luas daripada warganegara lain. Sekali lagi, fenomena ini tidak terbatas pada satu komunitas keagamaan saja – atau terjadi di Indonesia saja. Fenomena seperti ini merupakan perkembangan politik yang ironis dan buruk yang notabene terjadi dalam demokrasi modern di cukup banyak negara belakangan ini. Di India dengan naiknya gerakan Hindutva, di Myanmar dengan penduduk Rohingnya yang tertindas sedemikian parah akibat keislamannya, dan di Perancis, di Jerman, dan, sayangnya, di negara saya sendiri, Amerika Serikat – di semua negara ini tumbuhnya populisme nativis dan ekslusif mengajukan tuntutan agar kelompok yang mayoritas diberikan supremasi atas orang yang beda agama, suku, etnisitas, ras, atau ciri sosial yang lain, supaya orang lain disebut sebagai golongan “minoritas.” Dengan terpilihnya kembali Presiden Modi di India atau Donald Trump di negara saya, agaknya arus supremasi atau kewargaan yang terdiferensiasi itu semakin kental dan merupakan sebuah ancaman serius terhadap kebangsaan dan kewargaan yang setara, seperti yang diupayakan di Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945-nya.
Pendek kata, aspirasi menuju kewargaan yang terdiferensiasi dan sebuah “demokrasi” yang sesungguhnya mayoritarian bukan fenomena aneh ataupun kecil di dunia kita. Bahkan, sebaliknya, ia adalah fenomena yang sangat umum bahkan diperkuat dengan beberapa perkembangan “late modern”, di antaranya bersama dengan meningkatnya penggunaan media sosial, penyempitan dan pengelompokan interaksi sosial menurut identitas (identity politics), dan pemberdayaan sentimen-sentimen eksklusif.
Agama di ruang publik: realitas dan tantangan
Ada tiga hal yang hendaknya kita utamakan ketika berbicara mengenai tantangan mayoritarianisme itu, agar tidak disalahtafsirkan. Pertama, khususnya di beberapa negara sekuler di Eropa Barat, kerap kali yang disalahkan ketika ada perkembangan kultur mayoritarian ini adalah agama dan perannya di ruang publik, yaitu nilai-nilai dan organisasi agama yang memiliki hak untuk masuk ke ruang publik dan berperan di situ. Asumsi di belakang perspektif ini adalah seolah-olah apabila agama bisa diprivatisasi, mayoritarianisme tidak mungkin terjadi. Namun politik dunia saat ini memperlihatkan bahwa kelompok sekuler juga kadang tergoda oleh sikap mayoritarianisme dan ekslusif. Akar dari mayoritarianisme itu tidak terletak di dalam sentimen atau organisasi agama, melainkan dalam penolakan terhadap kewargaan setara sebagai landasan etika dari demokrasi, dan penggantiannya dengan nilai-nilai mayoritarian dan eksklusif.
Hal yang kedua sedikit lebih rumit secara intelektual dan menyangkut bagaimana cara menanggapi aspirasi kewargaan yang terdiferensiasi jika aspirasi itu dianggap berdasar atas prinsip-prinsip agama atau tradisi ilahiah. Jika ada orang yang menganggap bahwa surpremasi agama mereka berdasar atas landasan teologis atau ilahiah, haruskah pendirian dan tafsiran ini diterima sebagai hak mereka dengan alasan bahwa itu menyangkut keimanan dan kebebasan agama mereka?
Untuk menanggapi argumen itu, kita tidak perlu terjun ke dalam debat teologis, karena isu-isu keimanan adalah hak kewargaan yang dijamin oleh UUD 45 dan Pancasila, beserta beberapa deklarasi HAM internasional. Secara yuridis dan etis, kita mesti menerima hak kelompok-kelompok eksklusif itu untuk menganut pandangan bahwa agama mereka harus lebih diunggulkan dalam ranah sosial dan politik.
Namun, penerimaan kita ini juga harus ditambah dengan pengakuan yang penting juga, yaitu bahwa walaupun pendirian itu diterima sebagai hak agama atau kepercayaan warga masing masing, di lain pihak realitas dan ruang yang kita miliki bersama-sama tetaplah berdasarkan pada hak kewargaan yang setara. Hak kewargaan ini menciptakan dan menjamin sebuah ruang publik dan pertemuan antara warga yang berlandasan pada UUD 45 dan Pancasila beserta HAM. Ruang publik meletakkan perbedaan teologis di dalam sebuah wadah sosial dan menyalurkan perbedaan itu menjadi tindakan atas dasar kesetaraan, yang kemudian berdialog dan bekerja bersama-sama secara sosial dan politik, melintasi perbedaan iman dan teologi.
Prinsip-prinsip kesetaraan kewargaan dan kesetaraan sebagai ciptaan Tuhan itulah yang menjadi dasar aspirasi Yayasan Satunama, Yayasan Donders, dan pendamping kelompok masyarakat adat dan Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk melayani dan membela hak sivik warga kelompok “minoritas” (istilah ini harus diletakkan dalam tanda kutip) yang, akibat realitas sejarah dan kemasyarakatan yang beda menurut wilayah, terkadang tidak diberi kesempatan untuk menjalankan hak kewargaannya secara penuh.
Klientelisme atau kolaborasi etis untuk kesetaraan?
Nah, realitas terakhir itu membawa kita ke poin ketiga. Di mana-mana di dunia ini, termasuk di negara yang secara resmi atau yuridis menjamin kesetaraan kewargaan, realitas perbedaan kelas, misalnya, secara nyata berdampak pada lebih terpenuhinya hak orang yang lebih mampu secara ekonomi. Sama juga dengan perbedaan gender, di mana di hampir semua negara masih ada perbedaan dalam perwujudan hak warga menurut jenis kelamin atau gender.
Dalam lingkaran Indonesian studies belakangan ini, ada kencenderungan di kalangan sarjana penganut perspektif ekonomi-politik untuk menyatakan bahwa kelemahan terbesar dalam kewarganegaraan Indonesia – dan, umumnya, realitas kewarganegaraan di semua negara di dunia modern – terkait realitas perbedaan kelas. Dan realitas ini terkait dengan fenomena klientelisme politik yang cukup umum menjadi fenomena sosial di hampir semua negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Bahkan, Indonesianis yang sangat terkenal, diantaranya teman yang saya muliakan seperti Gerry van Klinken, Ed Aspinall, dan Ward Berenschot cenderung menggambarkan demokrasi Indonesia sebagai demokrasi patronase atau perlindungan. Dan, menurut perspektif ekonomi-politik itu, dalam demokrasi berpatronase kemampuan seseorang untuk meraih atau merealisasikan haknya sebagai warga negara terbatas karena tergantung pada ikatan informil antara para patron dan klien atau makelar/perantaranya, dan bukan pada janji yuridis-politik seperti yang dipaparkan dalam UUD 45 dan Pancasila.
Menurut saya, pandangan semacam ini terhadap realitas kewargaan memang betul dan signifikan. Fenomena klientalisme tidak bisa dibantah, apakah itu di Indonesia, Thailand, India, ataupun sebagian besar dari negara-negara demokrasi termasuk di Amerika Serikat. Namun, menurut saya, pandangan tersebut harus dibatasi, yaitu asumsi bahwa oleh karena fenomena klientelisme itu cukup umum di negara yang mengalami demokratisasi, maka nilai-nilai etika kewargaan sama sekali tidak berperan di dunia politik – bahkan, ia adalah cita-cita kosong saja. Menurut saya, asumsi ini merupakan sebuah kesimpulan reduktif yang harus kita tolak, agar kita mampu melihat realitas kewargaan dan kebangsaan yang lebih kompleks serta perspektif tentang demokrasi di Indonesia dan negara lain yang lebih riil dan, kalau boleh saya katakan, sedikit lebih optimis.
Apa yang saya maksudkan dengan sikap anti-reduktif ini, dan apa relevansinya dengan konferensi tentang masyarakat adat, agama leluhur, dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini? Kalau kita kembali sesaat ke Putusan MK tahun 2017 tentang KTP penganut kepercayaan dan agama leluhur, dapat kita amati secara langsung sebuah proses dalam pembentukan etika dan praksis politik Indonesia yang sangat signifikan, yang semestinya tidak direduksikan kepada klientelisme atau “demokrasi perlindungan”.
Putusan MK itu mencerminkan sebuah penafsiran ulang yang dalam terhadap prinsip-prinsip pendiri Republik Indonesia, prinsip-prinsip yang mempunyai makna dan keindahan tersendiri. Di tengah prinsip-prinsip itu ada pengakuan atau rekognisi terhadap sesama warga negara sebagai manusia yang tidak hanya setara secara formil tetapi juga setara dalam martabatnya. Saya kira kita tahu bahwa keyakinan kesetaraan martabat (dignity) ini tidak hanya berdasar pada Pancasila dan UUD 45, tetapi juga, bagi sebagian besar warga Indonesia, pada unsur-unsur agama dan kepercayaan yang kemudian dielaborasi dan ditegaskan dalam prinsip kebangsaan Indonesia.
Akibat faktor etika politik ini, Putusan MK tersebut bukan hanya merupakan hasil dari diskusi internal para hakim. Ia juga mencerminkan hasil dari sebuah kolaborasi kompleks dan “tritunggal” antara pelbagai yayasan sosial yang penuh dengan idealisme kesetaraan kewargaan, masyarakat kepercayaan dan agama leluhur, dan beberapa bagian dari negara (di antaranya Mahkamah Konstitusi, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Dalam Negeri). Kalau boleh saya bebicara sebentar sebagai seorang sosiolog, saya bisa katakan bahwa kerjasama ini bukan merupakan tindakan yang bisa direduksi pada faktor klientelisme, melainkan sebuah “total social fact” (Marcel Mauss) yang menyangkut agen, kepentingan, dan nilai etika-politik yang lebih kompleks. Yang lebih menonjol dan lebih penting di sini adalah keberadaan sebuah kolaborasi lintas kelompok, lintas agama, lintas komunitas, lintas keahlian, dalam upaya untuk mewujudkan suatu negara dan masyarakat yang lebih inklusif. Yang lebih menonjol dalam kolaborasi etika ini adalah kerja sama untuk menjamin hak kaum “minoritas” karena secara moral eksistensi mereka bukanlah sebagai “minoritas” tapi warga negara yang diakui setara sebagai warga negara Indonesia.
Alih-alih mencerminkan sebuah klientelisme, Putusan MK dan semua yang memungkinkannya adalah proses sosiopolitik yang mencerminkan sebuah kolaborasi tanpa klientelisme, bahkan kolaborasi etis menuju sebuah Indonesia yang lebih setara, lebih inklusif, dan selaras dengan Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar kesepakatan kewarganegaraan yang setara, inklusif, dan tak-terdiferensiasi.
Kolaborasi etis sebagai hasil intelektualisasi kebijakan publik
Kurang lebih 30 tahun yang lalu, antropolog Indonesia yang bernama Zamakhsyari Dhofier kembali ke Indonesia setelah lulus dari Australian National University, dan sepanjang hidupnya bekerja di Departemen Agama. Ia menulis sebuah artikel tentang “intelektualisasi administrasi agama di Indonesia”. Di dalam artikel itu, Pak Dhofier menegaskan bahwa ada proses di Departemen Agama yang layak digambarkan sebagai “intelektualiasi” kultur dan programnya. Yang dimaksudkannya adalah perkembangan di lingkaran Depag yang berupaya untuk menjadi lebih terdidik, lebih beragam, lebih inter-disipliner, dan lebih empiris karena berangkat dari cita-cita Islami yang sangat kental dan diwujudkan melalui upaya-upaya intelektual dan praktis berdasarkan studi empiris dan komitmen ilmuwan, bukan hanya berdasarkan dogma. Tiga puluh tahun kemudian kita dapat melihat hasil proses cemerlang ini, dengan perwujudan sistem UIN-IAIN yang, menurut saya, termasuk dalam sistem pendikan Islam yang terbaik di dunia.
Nah, saya mengamati, ada proses intelektualisasi dan idealisme empiris serupa di perguruan tinggi, dalam pendidikan ilmu sosial, dalam pendidikan hukum, dan dalam lingkungan pelayanan sosial dan masyarakat sipil di Indonesia pada zaman Reformasi ini. Yaitu upaya-upaya untuk menerapkan instrumen ilmu sosial dan ilmu pengetahuan pada umumnya guna memperbaiki kebijakan negara, pelayanan sosial, dan sumber daya manusia.
Proses semacam ini mewujudkan sebuah intelektualisme dan empirisisme, bukan dogmatisme, terhadap tafsiran hukum, tafsiran Pancasila dan UUD 45, dan eksistensi masyarakat agama leluhur dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akibat konvergensi itu, lahirlah sebuah kolaborasi yang tak berdasar atas klientelisme atau oportunisme politik saja, tapi berdasar atas sebuah kolaborasi bersama-sama untuk mewujudkan perjalanan bersama-sama yang disebut kewargaaan secara lebih etis, inklusif, dan setara. Konvergensi inilah yang memungkinkan Putusan MK, pelayanan Yayasan Satunama dan mitranya di beberapa daerah, dan sebuah perwujudan hak warganegara untuk masyarakat penghayat dan masyarakat agama leluhur yang sebelum keputusan MK ini sering kali dipinggirkan. Ini juga merupakan satu contoh dari a greatness in Indonesian democracy sekarang ini, sebuah capaian yang kerap kali diabaikan oleh pengamat politik Indonesia.
Salah satu hal yang sempat saya amati selama 10 tahun terakhir adalah fenomena semacam ini. Inti dari fenomena ini ialah konvergensi dan kerja sama lintas institusi negara dan masyarakat menuju sebuah realisasi etis Pancasila dan UUD 45 secara lebih komprehensif; dan konvergensi dan kerja sama ini tidak hanya berjalan di lingkungan masyarakat “minoritas” atau pendampingnya di LSM dan di kalangan akademisi. Di Kementerian Agama, di Kemendikbud, di Biro Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi, saya sering kaget bertemu dengan orang yang sedemikian berkomitmen pada perwujudan sebuah negara dan realitas kebangsaan yang lebih adil, lebih inklusif, dan memprioritaskan martabat yang setara yang dimiliki semua warga Indonesia.
Hal seperti itulah yang kita temukan juga di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017. Putusan MK ini tidak mencerminkan suatu demokrasi yang untuk dijual (democracy for sale), suatu demokrasi klientelis, tetapi hasil dari konvergensi menuju realisasi nilai-nilai demokratis berdasarkan UUD 45 dan Pancasila. Fenomena ini adalah bagian dari proses intelektualisasi dan implementasi etika kehidupan bangsa dan diperkaya oleh perkembangan sosial, politik, dan intelektual pada zaman Reformasi ini, di antaranya melalui penerapan ilmu sosial baru dalam menghadapi tantangan kewargaan yang sampai kini sulit ditangani.
Itulah intinya, saya kira, dari yang kita rayakan dalam konferensi kita selama tiga hari ini. Yang kita rayakan dalam konferensi ini ialah sebuah kemajuan yang sangat bermakna dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita kewargaan Indonesia dalam bentuk yang lebih inklusif, lebih setara, dan lebih adil. Langkah-langkah ini adalah bagian dari sebuah kemajuan dan pendewasaan signifikan dalam upaya-upaya untuk mewujudkan secara lebih inklusif kebangsaan Indonesia dan demokrasinya. Perjalanan bersama-sama itu menjadi lebih indah lagi karena ia sekarang berbelok kepada warga penghayat, masyarakat adat, dan warga agama leluhur sambil menyambut, “Monggo, mari, silakan. Ikut bangsa kita juga, bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara sekalian. Anda juga adalah anggota setara dalam perjalanan kita, perjalanan kebangsaan dan kewargaan Indonesia.” Undangan inilah yang kita rayakan dalam konferensi ini. Undangan ini merupakan realisasi kebangsaan dan demokrasi Indonesia yang telah lama ditunggu kalangan kepercayaan dan agama leluhur, dan betul-betul indah.[]
_______________
Penulis, Robert Hefner, menyampaikan terima kasih kepada panitia konferensi agama leluhur ini, Pak Zainal Abidin Bagir, Bang Samsul Maarif (Anchu), Pater Mikhael Keraf & Yayasan Donders, Team for Peduli Merapu (kongres tahun 2019 di Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, mewarnai komentar di tulisan ini), dan Yayasan Satunama.
Unduh laporan terbaru CRCS (2019): Merangkul Penghayat Kepercayaan Melalui Advokasi Inklusi Sosial