Analisis Wacana Kritis: Ilmu Sosial Kuantum?
Rezza Prasetyo Setiawan – 21 Agustus 2023
“Saya itu tidak ada—yang ada hanya wacana.”
Ujaran itu diulang hampir setiap minggu oleh Prof. Frans Wijsen, dosen pengampu mata kuliah Discursive Study of Religion (Studi Diskursif tentang Agama). Namun, yang justru kerap terlintas dalam pikiran saya malah Prinsip Ketidakpastian Heisenberg, salah satu prinsip yang populer dan berpengaruh dalam diskursus fisika kuantum.
Kesannya memang tidak nyambung. Akan tetapi, tidak sedikit akademisi yang sudah membangun jembatan pengetahuan antara fisika kuantum dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Karen Barad dalam bukunya, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (2007), menggunakan prinsip-prinsip fisika kuantum seperti difraksi dan keterikatan kuantum (quantum entanglement) untuk melawan esensialisme dalam pola pikir modern. Dalam artikel lain, Ben Klemens (2020) menyoroti keterbatasan ilmu sosial dalam mengukur aspek-aspek yang harus diperhatikan sehingga model-model penelitian tidak akan pernah sepenuhnya tepat. Dari sini, senyampang prinsip ketidakpastian dalam fisika kuantum menemukan kesejajarannya dengan ranah keilmuan sosial.
Dalam semangat yang sama, tulisan ini akan menyandingkan teori fisika kuantum dengan salah satu pendekatan interdisipliner dalam ilmu sosial, yaitu analisis wacana kritis. Metode analisis wacana kritis ini ternyata juga memperlihatkan ketertautan keilmuan seperti yang digali oleh Karen Barad, tetapi dengan pendekatan yang lebih konkret. Untuk itu, tulisan ini mula-mula akan menjelaskan sekelumit tentang fisika kuantum dan prinsip ketidakpastian Heisenberg, lalu bergeser pada penjelasan singkat tentang metode analisis wacana kritis Fairclough. Pemikiran Barad akan menjadi simpul yang merajut keduanya.
Dari Heisenberg …
Fisika kuantum jauh berbeda dengan fisika klasik, ilmu fisika yang biasa kita pelajari di bangku SMP dan SMA. Fisika klasik mengamati objek-objek yang perilakunya mematuhi hukum-hukum yang dapat dipahami melalui pengamatan biasa. Hukum-hukum dalam fisika klasik cenderung teratur dan pasti. Misalnya, tekanan udara makin ke atas makin berkurang atau seperti salah satu hukum Newton, setiap ada gaya aksi selalu ada gaya reaksi yang besarnya sama tetapi arahnya berlawanan. Secara umum, fisika klasik membagi benda-benda yang ada di alam semesta dalam dua kategori terpisah, yaitu partikel dan gelombang elektromagnetik.
Sebaliknya, ilmu fisika kuantum mengamati hal-hal dalam ukuran sangat kecil (skala atom dan subatom) yang susah diamati. Dalam dunia fisika kuantum, hukum-hukum fisika klasik tidak lagi berlaku. Salah satunya, seperti temuan Max Planck, partikel dalam fisika kuantum juga berperilaku sekaligus sebagai gelombang (Phillips, 2003: 13). Partikel-partikel ini bisa muncul dari ketiadaan dan menghilang begitu saja (Lamb dan Retherford, 1947). Ia bisa berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain dalam sekejap, bahkan berada dalam waktu yang bergerak mundur (Feynman, 1949). Keteraturan dan kepastian dalam jagat fisika klasik dibantah dan berubah menjadi sebuah papan dadu kosmik.
Dalam fisika kuantum, semua objek material dibentuk dari paket-paket energi yang disebut ‘kuanta’ atau quanta (Phillips, 2003: 1). Seperti yang telah disebut sebelumnya oleh Planck, paket-paket energi ini berbentuk sebagai gelombang-gelombang energi yang berlalu-lalang, berinteraksi, dan berinterferensi pada berbagai medan kuantum di seluruh jagat raya (Maggiore, 2005). Hasil interferensi inilah yang kemudian menyusun seluruh partikel dan gaya (force) di alam semesta. Karena pembentuk dasar alam semesta adalah gelombang-gelombang energi, maka semuanya selalu dinamis dan bergerak. Di sinilah Heisenberg menyadari bahwa momentum sebuah partikel tidak dapat secara pasti diketahui bersamaan dengan posisi dari partikel itu (Walker, dkk., 2014). Untuk mengetahui posisi yang pasti dari sebuah partikel, setiap paket gelombang energi harus diketahui interaksinya dengan satu sama lain. Padahal, setiap gelombang memiliki momentumnya masing-masing. Pada akhirnya, Heisenberg menyimpulkan bahwa semakin jelas momentum sebuah partikel, semakin posisi partikel itu tidak dapat diketahui secara jelas karena setiap partikel adalah gabungan dari yang berbagai paket energi dengan momentum yang berbeda-beda. Inilah yang disebut dengan Prinsip Ketidakpastian Heisenberg. Penjelasan ini tentu saja tidak akan memadai untuk merangkum seluruh kerumitan fisika kuantum. Akan tetapi, secuil konsep ini cukup untuk mengantar kita kepada pemikiran Fairclough dan metode analisis wacana kritisnya.
… Hingga Fairclough
Laiknya prinsip fisika kuantum, Norman Fairclough berpendapat bahwa pemikiran setiap individu terbentuk dari gabungan dari berbagai proses produksi dan reproduksi wacana yang ia saksikan atau alami di masa lalu (Fairclough, 1992). Dengan kata lain, seperti gelombang energi, ia terus bergerak dan dinamis. Pada titik ini perlu disadari juga bahwa manusia terpapar tidak hanya oleh satu wacana, tetapi oleh banyak wacana yang jumlahnya tidak terhitung sepanjang hidupnya (Fairclough, 1992, Bab 4)—dari wacana besar dan umum seperti keagamaan, ekonomi, dan politik, hingga yang lebih sempit dan khusus seperti denominasi agama, usaha ekonomi mikro, dan pemilu. Kesemuanya memengaruhi wacana yang kita produksi sebagai individu. Fairclough menyebut ketersalingkaitan tersebut sebagai intertekstualitas (intertextuality) dan keinterwacanaan (interdiscursivity). Lebih dalam lagi, Fairclough menyadari adanya kejamakan suara (polyphony) dalam sebuah teks. Ini artinya, ada banyak konteks yang dapat melatari sebuah teks. Konsep-konsep ketergabungan inilah yang bersesuaian dengan fisika kuantum.
Menanggapi keragaman ini, Barad mengistilahkannya sebagai sebuah difraksi (2007). Setiap hubungan yang berbeda akan menghasilkan sebuah “warna” yang berbeda pula. Makna tidak dapat dipahami hanya melalui satu jalan sebagaimana pikiran-pikiran modern yang berusaha menyeragamkan pemaknaan melalui pemahaman yang esensialis—yang “pasti” dan hanya satu karakteristik tentang segala sesuatu. Sebagaimana difraksi menyadarkan bahwa cahaya matahari tidak hanya berwarna putih tetapi terdiri dari berbagai warna, demikian juga analisis wacana kritis menyadarkan kita akan keragaman yang dihasilkan oleh keinterwacanaan.
Dalam bingkai keinterwacanaan inilah ungkapan “saya itu tidak ada” menjadi lebih mudah dipahami. ‘Saya” sebagai individu hanya ada dalam proses produksi wacana yang menyatakan keberadaan saya sebagai seorang individu, sebagai gabungan dari berbagai wacana. Dengan demikian, bagaimana sesuatu menjadi nyata (secara ontologis) sangat ditentukan oleh bagaimana cara sesuatu itu dipahami (secara epistemologis). Alur logika yang sama dapat dikenakan juga pada hal-hal yang lain seperti agama, kebudayaan, kelembagaan negara, dan entitas-entitas apapun yang kita anggap “ada”.
Hal ini disadari juga oleh Barad. Dalam fisika kuantum, sebuah alat atau metode pengukuran akan memengaruhi hasil pengukurannya. Ini artinya alat yang berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda pula. Misalnya, ketika mengukur panjang sebuah kertas, ukuran kertas tersebut dapat mengembang atau menyusut sesuai dengan penggaris yang digunakan. Meminjam paradigma fisika kuantum ini, Barad mengkritik pemisahan ontologi dan epistemologi dalam filsafat Barat (Barad. 2007). Menurutnya, ontologi dan epistemologi saling terhubung dan tidak terpisahkan. Ia menyebut metodenya sebagai onto-epistemologi.
Sehubungan dengan itu, Fairclough berbeda dengan Michel Foucault yang melihat analisis wacana secara lebih luas dan abstrak. Secara konkret, Fairclough menggagaskan analisis wacana yang berpusat pada teks. Karenanya, metode analisis wacana kritis Foucalt juga dikenal dengan Text Oriented Discourse Analysis (TODA). Melalui TODA, wacana-wacana yang hinggap dan disebarkan oleh setiap individu dapat dianalisis melalui analisis linguistik. Analisis ini dilakukan dalam tiga dimensi: (1) dimensi tekstual yang mendalami unsur-unsur linguistik dalam teks baik dalam hal tata bahasa, pemilihan, dan susunan kata; (2) dimensi wacana yang menelusuri proses pembentukan wacana dari proses produksi, distribusi, hingga konsumsi wacana tersebut; dan (3) dimensi sosial-budaya yang menjadi konteks kata, kalimat, dan wacana yang telah ditelusuri itu bersesuaian (Fairclough, 1992, Bab 3).
Pada praktiknya, metode TODA membuat kita dapat memahami kesalingterhubungan berbagai wacana dalam suatu teks secara mendalam, dari tingkat individual (mikro) hingga kemasyarakatan (meso dan makro). Dengan mengupas lapisan demi lapisan wacana yang membentuknya, penelusuran sebuah kalimat atau bahkan sebuah kata dapat menjadi sangat mendalam. Dalam bingkai ketidakpastian Heisenberg, sebagaimana satu partikel yang merupakan gabungan dari banyak gelombang, karakteristik seorang individu tidak dapat ditentukan secara pasti hanya melalui stereotip yang diberlakukan pada sebuah identitas tertentu. Sifat seseorang tidak dapat dipastikan hanya dari kesukuannya, kepribadian seseorang tidak dapat dipastikan hanya dari keputusan politiknya, perilaku seseorang tidak dapat ditentukan hanya dari status keagamaannya, dan seterusnya. Semakin dekat kita memastikan yang satu, semakin kita tidak bisa memastikan yang lain karena beragamnya keinterwacanaan yang saling berinteraksi dalam seorang individu.
Fisika Kuantum dan Usaha Memahami Manusia
Dalam usaha memahami manusia, sumbangsih Heisenberg dan Fairclough harus ditempatkan dalam sebuah kesejajaran yang saling menjembatani. Laiknya partikel yang merupakan gabungan dari banyak frekuensi gelombang energi, manusia merupakan gabungan dari banyak wacana yang saling berinteraksi. Karen Barad, yang menghubungkan prinsip fisika kuantum dengan kajian ilmu sosial, memadankan keberagaman makna tersebut laiknya sebuah difraksi. Barad juga menekankan, seperti proses pengukuran dalam eksperimen fisika kuantum, cara kita memahami keberadaan sesuatu (epistemologi) akan memengaruhi keberadaan hal itu sendiri itu (ontologi). Seperti keberadaan fisika kuantum yang mengkritisi sekaligus merevolusi paradigma fisika klasik, metode analisis wacana kritis Fairclough menampik pandangan esensialis yang menyatakan bahwa setiap orang dapat dipahami dalam sebuah ketunggalan. Fairclough menunjukkan, sebagaimana partikel dalam fisika kuantum, setiap individu bersifat sekaligus sebagai individu dan masyarakat. Setiap individu dan teks-teks yang dihasilkan merupakan hasil gabungan dan interferensi banyak gelombang keinterwacanaan. Dengan kata lain, gambaran yang ideal dan sempit tentang manusia; gambaran yang kaku tentang iman, agama dan ketuhanan; dan gambaran yang enggan menerima keragaman merupakan paradigma-paradigma usang yang gagap dalam mengukur eksistensi kemanusiaan.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.