• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Ancaman Modernitas

Ancaman Modernitas

  • Perspective
  • 6 September 2018, 12.13
  • Oleh: Admin Jr
  • 1

Ancaman Modernitas

Trisno S Sutanto – 6 Sept 2018

Apa itu modern? Pertanyaan itu tidak lahir dari mahasiswa filsafat atau sosiologi. Pertanyaan itu terlahir dari pergulatan eksistensial yang amat konkret.

Halim baru saja disunat dan dengan itu ia jadi “orang Bajau dewasa yang modern”. Namun, bagi Andar, ayahnya, peristiwa itu justru menghadirkan persoalan yang pelik. Sebab, ia sadar, dunia modern yang akan dimasuki Halim sesungguhnya menantang seluruh cara berada maupun perikehidupan suku Bajau yang selama ini dijalani.

Itulah alasannya mengapa Andar menanyakan pertanyaan tadi: apa itu modern? Bagi Andar, dunia modern hadir dengan membawa batasan-batasan imajiner yang sesungguhnya tidak ada, tetapi dipercayai oleh banyak orang.

Mulanya batasan yang sangat konkret: teritori yang memisahkan wilayah kedaulatan satu negara dengan negara lain. Batasan itu jelas imajiner, tak kasatmata, tetapi sekaligus sangat riil. Orang tidak dapat menyeberangi batasan yang ada tanpa segala macam surat atau dokumen lain yang diperlukan. Di atas batas-batas teritorial negara-bangsa itulah, seperti kita tahu sejak Perjanjian Westphalia, perikehidupan dunia modern didirikan.

Namun, seperti dikatakan Andar, batasan-batasan yang dibawa dunia modern itu makin abstrak. Itulah batasan-batasan yang memisahkan “agama dengan tradisi”, “leluhur dengan keturunan”, dan “masyarakat dengan lingkungan”. Dunia modern membawa pembatasan dan pemisahan itu, yang mengancam eksistensi orang Bajau. Karena itu, kata Andar berharap, jika batasan-batasan ini merupakan ”roh kepercayaan modern, aku berharap anakku memilih kepercayaan Bajau”.

Domestikasi Bajau

Harapan yang diucapkan Andar merupakan adegan yang menutup film Our Land is the Sea, sebuah film dokumenter etnografis memukau yang digarap oleh Kelli Swazey dan Matt Colaciello, hasil kerja sama CRCS-UGM, CSEAS Hawaii, dan The Global Workshop. Film berdurasi kurang dari setengah jam itu tak saja menyajikan pengambilan gambar yang ciamik, yang membuat orang mengenal ”air tanah” Bajau, tetapi sekaligus pergulatan dan ambiguitas kehidupan mereka.

Soal harapan Andar tadi, misalnya. Apakah harapan itu bisa dipenuhi bahwa Halim akan tetap memilih kepercayaan Bajau di tengah terpaan angin modernitas? Itu juga yang diharapkan Saipa, istri Andar. Ia berharap Halim akan menempuh pendidikan tinggi dan sukses, lalu kembali ke Sampela dan “percaya pada Sandro”, si ahli waris dan penjaga tradisi turun- temurun dari nenek moyang orang Bajau.

Baik Andar maupun Saipa sadar bahwa harapan mereka terlalu naif. Perikehidupan orang Bajau, yang menganggap laut lepas tanpa batas merupakan wilayah “kerajaan” mereka—setidaknya itulah anggapan Andar—akan makin hilang digangsir oleh dunia modern yang hadir melalui banyak perangkat. Salah satunya lewat institusi sekolah, yang tentu saja harus berdiri di daratan dengan seluruh kultur dan nilai-nilai yang kerap kali bertentangan dengan perikehidupan Bajau.

”Pertarungan” itu berlangsung di dalam keluarga Andar dan Saipa. Lisa, ibu Saipa, merasa sedih karena tidak mewarisi tradisi ayah-ibunya sehingga tidak bisa mengajarkan tradisi itu kepada anak-anaknya yang sudah mengecap bangku sekolah. Soal yang sama berulang pada generasi berikutnya. Salma, putri Andar dan Saipa, misalnya. Ia sudah bersekolah di daratan dan belajar agama Islam. Karena itu, ia “tidak percaya Sandro”. Begitu juga Tarsan, adik Saipa, yang sudah belajar sampai perguruan tinggi. Ia malah menuduh orang-orang di desanya yang masih berpegang pada cerita-cerita lama sebagai “belum move on”.

Akan tetapi, sesungguhnya, kehidupan komunitas Bajau, paling tidak mereka yang tinggal di Sampela—daerah sekitar Taman Nasional Waikatobi yang dipotret Kelli dan Matt— sudah lama mengalami domestikasi oleh negara. Jauh sebelum konsep negara-bangsa ada, komunitas ini merupakan pengembara yang hidup nomaden, sebagai pengelana laut yang hidup dan menyusuri laut lepas di sekitar kepulauan barat daya Filipina, Sulawesi, Timor Leste, Papua, dan Salomon.

Lautan lepas itulah “kerajaan” mereka. Di situ, mereka tinggal dan hidup mengikuti irama laut, bergantung sepenuhnya pada sumber daya
laut yang melimpah bagi kehidupan mereka. Laut pula yang menjadi landasan keberadaan mereka.

Perikehidupan nomaden seperti itu sama sekali bertentangan dengan konsep negara- bangsa yang punya batas-batas teritori yang jelas. Sejak Indonesia merdeka, orang Bajau yang berada di wilayah Indonesia dipaksa harus menetap pada suatu wilayah tertentu demi tertib administrasi sebagai “warga negara”. Dan, perlahan-lahan, perikehidupan mereka pun berubah.

Cerita orang kalah

Film dokumenter ini, yang dipersiapkan untuk Konferensi Internasional Our Ocean di Bali, Oktober nanti, berhasil memotret pergulatan yang kompleks tersebut dengan nada lirih. Juga melankolis.

Sebab, yang disajikan sesungguhnya adalah cerita tentang orang-orang yang kalah, rekaman tentang perikehidupan yang suatu waktu akan lenyap disapu arus modernitas. Andar sadar itu. Dalam 14 tahun terakhir hidupnya, ia menyaksikan perubahan yang begitu dahsyat. Apalagi kini laut tak lagi mampu menghidupi orang- orang Bajau. Untuk mencari ikan, mereka harus pergi ke wilayah yang lebih jauh. Begitu juga karang-karang yang kini hancur dan ancaman perubahan iklim yang makin mendekat.

Pada suatu titik, mungkin mereka harus sama sekali meninggalkan laut, mencari kerja di daratan yang dirasa lebih menjanjikan. Namun, hal itu juga berarti kepunahan tradisi Bajau dengan seluruh kekayaannya, termasuk ”pengetahuan rahasia” yang diturunkan oleh nenek moyang mereka.

Dalam banyak hal, cerita tentang keluarga Andar ini mencerminkan cerita kita sebagai bangsa yang tertatih-tatih berhadapan dengan ancaman modernitas. Cerita mereka patut dikenang di tengah perayaan gegap gempita Proklamasi Kemerdekaan negara ini.

____________

Esai ini pertama kali dimuat di halaman opini KOMPAS, 30 Agustus 2018

Tentang film Our Land is the Sea, baca di sini.

Tags: bajau

Leave a Reply to Tikno Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Comment (1)

  1. Tikno 6 years ago

    Bukan hanya suku Bajau, tapi saya kira hampir di semua suku dan bangsa di dunia ini juga mengalami degradasi nilai-nilai luhur nenek moyang mereka.
    Generasi milenial jaman modern sudah terbiasa dengan interkoneksitas jaringan internet yang menembus batas negara.
    Kehidupan anak muda jaman modern banyak dimudahkan oleh kemajuan teknologi. Mereka tidak perlu repot-repot mencari wartel / telepon umum coin hanya untuk bicara dengan seseorang. Atau menulis surat lalu pergi ke kantor pos hanya untuk mengirim pesan. Semua yang diinginkan ada dalam genggaman tangan (smart phone). Mulai WhatsUp, email, Gojek, Pesan tiket pesawat / hotel, belanja online, dll.
    Mereka terbiasa dengan hal-hal yang simpel, praktis, dan modern, jadi tradisi leluhur yang ribet / merepotkan, cenderung dianggap kuno, tidak praktis, dan cenderung ditinggalkan.

    Reply

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju