Antara Protestantisme dan Kapitalisme: Membaca Ulang Weber
Ronald Adam – 19 Februari 2021
Siapa atau apa saja yang berperan dalam sejarah perubahan masyarakat merupakan salah satu pertanyaan besar dalam perdebatan sosiologi klasik. Di antara tokoh ternama yang terlibat dalam diskursus ini ialah Max Weber (1864-1920) dengan karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1930) yang memberikan pemahaman bahwa, walau bukan penentu satu-satunya, ide berperan penting dan efektif dalam gerak sejarah masyarakat. Karya ini menjadi karya sosiologi yang fenomenal sekaligus serumpun dengan karya sosiologi agama Weber lainnya seperti The Religion of China: Confucianism and Taoism (1951), Ancient Judaism (1952), dan The Religion of India: the Sociology of Hinduism and Buddhism (1958).
Selain sebagai sebuah tanggapan serius atas penjelasan-penjelasan yang sudah ada mengenai kapitalisme modern di Eropa yang menekankan pada perkembangan teknologi, emas, populasi, perluasan produksi, perdagangan, perbankan, maupun penjelasan evolusionisme dari transisi agraria atau feodalisme menuju merkantilisme dan kapitalisme modern, karya ini ditujukan sebagai kritik mendasar untuk pandangan yang mapan pada saat itu, yaitu Marxisme deterministik yang menganggap bahwa perkembangan kapitalisme modern di Eropa sebagai akibat dari faktor-faktor ekonomi (yakni, relasi, alat, dan mode produksi).
Ekonomi dalam konteks Marxisme deterministik diperlakukan sebagai ‘basis’ yang sepenuhnya mempengaruhi ‘suprastruktur’ yang terdiri dari nilai, ideologi, politik, dst. Weber berpandangan lain. Menurutnya, nilai atau ide (yang dalam Marxisme deterministik ditempatkan pada suprastruktur) juga bisa mempengaruhi perubahan ekonomi (yakni, mode produksi) masyarakat.
Perlu dicatat bahwa Marxisme deterministik, meskipun merupakan ide yang menjamur pada saat itu, bukan satu-satunya aliran Marxisme yang menjelaskan perubahan masyarakat. Ini menjadi penting mengingat karya Etika Protestan Weber hanya akan memiliki relevansi kritik apabila disandingkan pada pembacaan sejarah kapitalisme modern di Eropa yang deterministik itu. Kritik Weber tidak menemukan relevansinya bila disandingkan dengan varian Marxisme yang lain, seperti Marxisme yang mengacu pada metodologi dialektis Marx sebagai pembacaan sejarah perubahan masyarakat, yang saat itu juga berkembang (walau tidak dominan) sebagai kritik terhadap Marxisme deterministik.
Satu alasan mendasar mengapa penting untuk membaca karya Weber itu, lebih-lebih bagi sarjana Studi Agama, ialah metodologinya—misalnya, konsep pendekatan interpretatif dan subjektif—yang nantinya menjadi salah satu prosedur dasar ilmu sosial dalam memahami fenomena keagamaan. Metodologi ini menjadi ciri khas sosiologi Weber yang juga merupakan sebuah kritik terhadap sosiologi positivistik yang menekankan dunia objektif atau data yang melekat pada objek secara independen dari si subjek dan bisa diukur ataupun dikuantifikasi secara objektif.
Karya Weber itu juga memiliki kontribusi besar pada teori-teori seputar tindakan sosial yang secara paradigmatik menempatkan individu sebagai agensi aktif yang penting ketimbang, sebagaimana paradigma fungsionalisme strukturalis, sebagai agensi yang pasif – yang pada taraf paling radikal bahkan menempatkan individu sebagai benda (a thing)—dalam relasi maupun struktur sosial. Ini misalnya dapat kita lihat ketika Weber menteorikan bahwa etika Protestan (sebagai “ide”) dapat mengubah struktur masyarakat dengan menumbuhkembangkan kapitalisme modern di Eropa.
Etika Protestan
Yang dimaksud Weber sebagai etika Kristen Protestan, khususnya dari kelompok puritan seperti Calvinis, Pietis, Metodis, dan Baptisan, ialah satu etos kerja yang berorientasi pada dunia, yang meliputi kerja keras untuk meminimalisasi penggunaan keuntungan sembari mengejar akumulasi profit dan investasi keuntungan. Menurut Weber, etos ini diderivasi dari doktrin Protestan yang kurang lebih terangkum dalam tiga ajaran: konsep the calling (panggilan), doktrin predestinasi, dan asketisme duniawi.
Dalam tradisi Protestan, konsep panggilan pada dasarnya mengacu pada gagasan bahwa bentuk tertinggi dari kewajiban moral individu adalah memenuhi kewajibannya di dunia. Menurut Weber, konsep ini belum ada baik di zaman Antiquity maupun dalam teologi Katolik abad pertengahan. Konsep ini murni merupakan produk dari Reformasi Protestan. Konsep ini memproyeksikan perilaku religius individu ke dalam dunia sehari-hari, dan berlawanan dengan cita-cita Katolik tentang konsep kehidupan monastik. Meskipun konsep ini sudah ada dalam doktrin Luther, menurut Weber, konsep panggilan berkembang pesat di berbagai kelompok puritan, dan lebih khusus lagi kaum Calvinis, yang mendapat sebagian besar sorotan dalam analisis Weber.
Konsep panggilan itu sekaligus membawa pada ajaran kedua, yakni doktrin predestinasi Calvinisme: suatu keyakinan bahwa Tuhan telah menentukan nasib dan status keselamatan seseorang di akhirat kelak. Setiap orang tidak mengetahui status keselamatan mereka itu. Orang yang saleh sekalipun tidak pernah benar-benar bisa mengetahui apakah mereka termasuk di antara orang-orang yang diselamatkan atau bahkan orang yang dikutuk. Ketidakpastian yang dihasilkan dari doktrin ini pada gilirannya melahirkan kecemasan psikologis di Eropa—khususnya di Inggris—abad keenam belas dan ketujuh belas, melalui satu pertanyaan, “apakah saya termasuk orang yang diselamatkan?”
Karena orang-orang tidak mengetahui status predestinasi mereka, Richard Baxter (1615-91), seorang Presbyterian, penerus puritanisme dari John Calvin, mengembangkan ajaran predestinasi Calvin agar memungkinkan umat untuk memahami atau setidaknya mengetahui ciri-ciri orang yang diselamatkan di akhirat kelak. Baginya, akumulasi kekayaan dan investasi ulang keuntungan yang dilakukan seseorang untuk kemajuan Komunitas Tuhan merupakan bentuk nyata bahwa orang tersebut termasuk di antara orang-orang pilihan yang sudah ditakdirkan. Tuhan hanya akan memberikan anugerah yang berlimpah kepada orang-orang yang diselamatkan-Nya. Hal ini kemudian membawa pada kesimpulan bahwa produksi kekayaan yang besar oleh seseorang untuk suatu komunitas dapat dilihat sebagai tanda bahwa Tuhan berkenan pada individu ini. Dengan begitu ia merupakan orang yang ‘terpilih’.
Pengembangan ajaran itu termanifestasi menjadi doktrin bahwa kekayaan seseorang di dunia menjadi bukti keselamatan mereka di akhirat. Implikasinya, orang-orang saleh harus bekerja lebih keras agar menghasilkan keuntungan dan kekayaan untuk memastikan diri mereka bahwa mereka termasuk bagian dari orang-orang yang diselamatkan itu. Bekerja keras untuk mendapatkan kekayaan menjadi satu etos yang tertuang dalam prinsip-prinsip Protestan seperti, “setiap jam yang tidak digunakan untuk bekerja adalah satu jam yang hilang untuk pelayanan bagi kemuliaan Tuhan”, atau “waktu adalah uang sehingga tidak boleh disia-siakan”. “Membuang waktu pada prinsipnya adalah dosa yang paling mematikan”. Bahkan kehilangan waktu karena bersosialisasi, kongkow-kongkow, atau tidur melebihi yang diperlukan secara medis layak mendapatkan kecaman moral. Di sinilah, menurut Weber, momen ketika kerja duniawi menjadi tindakan spiritual yang dianjurkan, dan sebagai konsekuensinya monastisisme ditentang.
Maka pada era itu, menginvestasikan kembali laba dan surplus menandakan kesetiaan pada rancangan agung Tuhan (predestinasi) sekaligus kesaksian bahwa semua kekayaan berasal dari tangan Tuhan dan harus digunakan untuk membangun kerajaan Tuhan yang makmur. Oleh karena itu, meskipun kekayaan telah didapatkan dalam skala besar, menikmatinya justru menjadi perbuatan yang tercela. Kekayaan secara etis menjadi buruk apabila membawa seseorang pada kehidupan mewah atau untuk kesenangan diri sendiri. Gaya hidup yang mewah dianggap menghalangi tujuan untuk menciptakan kerajaan Tuhan. Semakin besar kekayaan, semakin berat seseorang menanggung beban godaan itu. Karenanya, orang yang saleh akan berlatih berhemat dan menabung dalam jumlah banyak. Mereka akan membatasi konsumsi (terutama barang mewah) atau tidak akan mengeluarkan uang lebih besar dari hutang yang mereka miliki. Preferensi untuk hidup sederhana tersebut mencirikan suatu pandangan asketisis (ajaran ketiga) dari kalangan puritan. Mereka mengejar kekayaan bukan sebagai sarana untuk kepuasan atau memenuhi kebutuhan materialnya, melainkan spiritualitasnya.
Semangat Kapitalisme
Etika protestan tersebut membentuk satu gaya hidup aksetis yang khas dan diterapkan oleh beberapa kelompok puritan, terutama Presbyterian, Metodis, Baptis, dan Quaker, dan menyebar ke beberapa komunitas di New England (Amerika Serikat), Belanda, dan Inggris sejak abad keenam belas. Ketika gaya hidup pembatasan konsumsi digabungkan dengan pencarian kekayaan, hasil praktis yang tak terelakkan adalah akumulasi modal terus menerus.
Menurut Weber, asketisme khas Protestan itulah yang menjadi faktor penting dalam tumbuhnya semangat kapitalisme. Semangat ini, menurut Weber, memberikan dorongan penting dalam perubahan struktur masyarakat. Weber menunjukkan seberapa kuat pengaruh etika Protestan-Calvsinis itu dengan keberhasilan Belanda dan Inggris dalam menguasai perekonomian dunia abad 18-19.
Bagi Weber, meluasnya pengaruh pandangan puritan itu membawa pada perkembangan kehidupan ekonomi borjuis yang rasional. Ini adalah dampak paling penting bagi Weber karena berimplikasi pada lahirnya ekonomi modern di Eropa. Ini yang juga merupakan elemen fundamental dari semangat kapitalisme modern—sekaligus budaya modern—di Eropa yang, menurut Weber, berbeda dari tempat-tempat lain.
Kontra-determinisme
Karya Etika Protestan Weber adalah langkah pertama dalam skema besar Weber untuk menyelidiki sebab-sebab tumbuh kembangnya kapitalisme modern Eropa dengan menelusuri keterkaitan kapitalisme dengan puritanisme. Dengan karya itu Weber juga menteorikan tindakan sosial yang dapat dipengaruhi oleh kekuatan non-ekonomi, yang dalam konteks ini adalah agama. Weber memang tidak mengklaim bahwa etika Kristen Protestan merupakan satu-satunya faktor signifikan yang membedakan perkembangan ekonomi antara di Barat dan di Timur. Dalam karya sosiologi agama lainnya, ia membuka kemungkinan sejumlah faktor sosial-ekonomi lainnya yang membedakan pengalaman masyarakat Eropa dari masyarakat di India dan Cina dan sama penting perannya dalam melahirkan kapitalisme modern.
Terlepas dari kontroversi dan banyaknya kritik yang dialamatkan pada karya ini, kita perlu mencatat bahwa Weber tidak bermaksud untuk menetapkan analisis idealistik sepihak atas penjelasan sejarah sebagai pengganti analisis “materialistik” yang juga sepihak. Weber justru ingin keluar dari determinisme itu—baik itu materialisme maupun idealisme. Baginya keduanya sama-sama mungkin bekerja bersamaan. Kedua sisi harus diperlihatkan dan determinisme sepihak, baik yang hanya fokus pada aspek material atau berkonsentrasi pada sisi ideal belaka, mesti dihindari.
______________
Ronald Adam adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Adam lainnya di sini.