• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Pos oleh
  • page. 141
Pos oleh :

Tutup Layang: Manifestasi Kebersamaan Masyarakat Brondong, Lamongan, Jawa Timur

Tesis Thursday, 20 May 2010

Judul: TUTUP LAYANG (Manifestasi Kebersamaan Masyarakat Brondong, Lamongan, Jawa Timur)

Penulis: Budi Ashari (CRCS, 2006)

Kata-kata Kunci : Pluralitas, Brondong, Tutup Layang, organisasi keagamaan, kebersamaan, harmoni sosial, dan ideologi disembunyikan.

Abstrak:

 

Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa pluralitas pemahaman keagamaan dalam sebuah masyarakat tidak selalu melahirkan konflik atau ketegangan. Perbedaan dapat juga melahirkan saling pengertian dan pemahaman yang tercermin dalam sebuah ritual Tutup Layang di kelurahan Brondong. Multikulturalitas dan pluralitas dapat menumbuhkan sikap toleran dan kebersamaan dalam masyarakat. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana konteks masyarakat Brondong? Bagaimana pula sejarah dan proses ritual Tutup Layang? dan Mengapa ritual tersebut mampu memanifestasikan kebersamaan mesyarakat? Permasalahan pokok penelitian adalah mengapa dalam sebuah masyarakat yang memiliki banyak organisasi keagamaan berbeda-beda tetapi dapat menciptakan suasana harmonis, toleran, saling kerjasama, dan tidak terlalu menghiraukan perbedaan ideologis? Kerangka teori penelitian ini menggunakan teori Andrew Beatty tentang slametan di Bayu. Slametan menjadi arena multivokalitas. Slametan memunculkan harmoni sosial. Slametan mampu menyembunyikan pemahaman ideologis pesertanya. Metode penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Data penelitian ini diperoleh melalui observasi, wawancara, dan partisipasi langsung. Teknik analisis data penelitian dilakukan dengan cara (a) pereduksian data; (b) eksplorasi data; (c) verifikasi data; dan (d) analisis dan penyimpulan data.

Makna dan Ritual Bersih Desa serta Respons di Kalangan Masyarakat Desa Sekoto, Pare Kediri

Tesis Thursday, 20 May 2010

Judul: MAKNA DAN RITUAL BERSIH DESA SERTA RESPONS DI KALANGAN MASYARAKAT DESA SEKOTO, PARE, KEDIRI

Penulis: Efa Ida Amaliyah(CRCS, 2007)

Kata-kata kunci: ritual bersih desa, makna, fungsi, dan respons

Abstrak:

 

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mengerti bahwa Kediri mempunyai keanekaragaman tradisi atau ritual yang hingga sekarang ada dan tetap dipertahankan oleh masyarakat khususnya warga masyarakat Desa Sekoto, Pare, Kediri, yaitu ritual bersih desa. Bersih desa adalah ritual turun temurun yang dilaksanakan tiap tahun di bulan Suro (Muharram) sebagai ungkapan penghormatan dan terima kasih kepada danyang yang telah membabat desa. Pluralitas masyarakat Sekoto dengan adanya beragam organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Sapto Darmo, dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia membuat ritual bersih desa mendapat respon dari kalangan masyarakat yang berbeda organisasi tersebut.

Priyambudi Sulistiyanto: Pilkada, Kontestasi Demokrasi dengan Beragam Identitas

Wawancara Tuesday, 18 May 2010

Bagaimana masa depan demokrasi Indonesia, khususnya dalam pelaksaan Pilkada 2010? Bagaimana peran partai politik Islam dalam Pilkada dan berbagai kendala dalam demokrasi di Indonesia yang baru berjalan hampir satu dekade? Pewawancara CRCS, Hatib Abdul Kadir, menemui Priyambudi Sulistiyanto, salah seorang dosen di Flinders Asia Center, Flinders University, Australia. Kedatangan Priyambudi kali ini selain dalam masa liburan juga untuk mengisi bedah buku Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada) (2009), dimana ia menjadi editor bersama Maribeth Erb.

Priyambudi Sulistiyanto: The Democratic Contestation with Other Identities

Interview Tuesday, 18 May 2010

How the future of democracy, particularly Pilkada 2010 (Direct Elections for Local Leaders) process, in Indonesia? How the role of Islamic political parties in local elections and its constraint of democracy in Indonesia, which has been running for nearly a decade? The interviewer from CRCS in the person of Hatib Abdul Kadir met Priyambudi Sulistiyanto, a lecturer at Flinders Asia Center, Flinders University, Australia at a book review, where he was the speaker, for Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada) (2009) which he is the main editor with Maribeth Erb.

Melanie Budianta: Sustainability Gender and Multiculturalism in Indonesia

Interview Tuesday, 18 May 2010

Interview with Melanie Budianta

 


CRCS: How far can the narrative voice give power to people who are discriminated, especially women, in Indonesia?

 

Melani: The real narrative is all around us, but it is still voiceless. “Narration” could be buried alone. There are mothers who kept diary, or kept records about their daily experiences in their heart. Nevertheless, minorities are more capable in keeping their own self-censoring. However, the narrative contains knowledge that perhaps could fill the big narratives of the state. Therefore, it is important to find their narrative and voice. If the person does not have a position to voice out, it is important to find someone else to help his or her voice heard. For example, my elder sister, Ibu Yunita, if she is invited to speak in a seminar about her research about farming, he often brought along a farmer to the campus. Then the farmer speaks in the academic forum. Oftentimes, it touches many people because so far people often hear topics only from the researchers.

Melanie Budianta: Sustainabilitas Gender dan Multikulturalisme di Indonesia

Wawancara Tuesday, 18 May 2010

Berikut ini adalah wawancara Team Website CRCS dengan Melanie Budianta

 


CRCS: Sejauh mana kekuatan narasi itu mampu memberikan kekuatan suara kepada orang-orang yang terdiskriminasi khususnya kaum perempuan di Indonesia?

 

Melani: Jadi sesungguhnya narasi mereka itu ada di sekitar kita, tapi belum tersuarakan. Dia bisa dipendam saja. Ada ibu-ibu yang menyimpan dalam buku harian, atau dalam hati saja mengenai pengalaman mereka sehari-hari. Tapi kaum minoritas mempunyai kemampuan lebih dalam menyensor diri mereka sendiri. Padahal narasi itu berisi pengetahuan yang mungkin justru bisa mengisi narasi-narasi besar yang ada dari negara. Jadi penting untuk menemukan narasi dan menyuarakannya. Jika orang tersebut tidak punya posisi untuk menyuarakan, maka penting untuk menemukan orang lain untuk membantu suara mereka terdengar.

1…139140141142143…190

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju